Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM
Kab/Kota: Karet
Kasus: PHK
Tokoh Terkait
HEADLINE: UMP 2023 Naik Maksimal 10 Persen, Pemda Bakal Tunduk?
Liputan6.com Jenis Media: Ekonomi
Kenaikan UMP 2023 sebesar 10 persen rupanya tidak membuat buruh dan pengusaha puas. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J Supit, menilai pemerintah tidak banyak mempertimbangkan pengusaha atau pemberi kerja dalam putusan kenaikan upah minimum, atau UMP 2023 maksimal 10 persen.
"Menurut saya yang tidak bijaksananya, peraturan ini tidak mengacu kepada kepentingan pencari kerja," ujar Anton kepada Liputan6.com
Anton mengeluhkan, pemerintah cenderung melihat dunia usaha dari kacamata sempit dalam menetapkan aturan upah minimum 2023, yakni pada sektor-sektor yang sedang meraup keuntungan besar seperti sawit, batu bara, dan nikel.
"Beberapa sektor sekarang justru lagi kesulitan, seperti garmen. Itu order dari luar negeri turun rata-rata 30 persen. Kalau sepatu turunnya 50 persen. Permintaan karet pun turun," ungkapnya.
Saat permintaan atas produksi barang tersebut turun, ia menambahkan, pengusaha garmen, sepatu dan karet juga mempekerjakan orang yang tidak sedikit.
"Bayangkan saja, kalau pabrik sepatu dibilang ada 10.000 pekerja itu kecil, karena ada yang 100.000 (orang). Dengan 10.000 (pekerjak saja, kalau gaji rata-rata Rp 5 juta, kali aja, itu sebulan Rp 50 miliar musti bayar," paparnya.
"Kalau pabrik tidak ada pekerjaan, you sanggup tahan berapa lama?" singgung Anton.
Oleh karenanya, ia berpikir perhitungan kenaikan upah minimum 2023 yang tercantum dalam Permenaker 18/2022 masih belum tepat dan bijaksana. Selain itu, aturan tersebut juga diasumsikannya seakan hanya ingin memenuhi kelompok kepentingan tertentu saja, yakni sebagian buruh formal.
"Jadi saya tidak mau mengatakan setuju atau tidak setuju, tapi sangat memprihatinkan kebijakan yang keluar itu, karena kebijakan ini harus ada yang bayar ongkos. Siapa yang bayar ongkos, adalah para pencari kerja," tegasnya.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai, kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2023 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022, terkesan membingungkan.
"Partai buruh dan serikat buruh menyayangkan rumus yang dipakai ngejelimet dan ruwet. Seharusnya, tidak perlu seperti itu," kata Said Iqbal dalam pesan tertulis.
Dalam hal ini, ia coba memberikan dua alternatif. Pertama, kenaikan upah minimum sama dengan inflansi plus pertumbuhan ekonomi. Menurut dia, itu lazim berlaku di seluruh dunia, dimana kenaikan UMP mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi Januari-Desember pada tahun berjalan.
Sedangkan alternatif kedua, menghitung standar biaya hidup atau living cost.
"Di mana untuk Indonesia standard biaya hidup tersebut dinamai kebutuhan hidup layak (KHL), yang terdiri dari 64 item KHL mulai dari harga daging, beras, baju, dan seterusnya. Hasil survei kebutuhan hidup layak ini lah yang dirundingkan di Dewan Pengupahan untuk dikrekomendasikan kepada bupati/walikota maupun gubernur," sebutnya.
Ia pun menyoroti isi Permenaker 18/2022, khususnya pada salah satu poin yang menyebut kenaikan upah minimum maksimal 10 persen.
"Kalimat tentang maksimal 10 persen ini menimbulkan kebingungan dan pengertian yang keliru tentang upah minimum. Upah minimum itu minimum, tidak ada kata maksimum," kata Said Iqbal.
Menurutnya, upah minimum di dalam konvensi ILO Nomor 133 atau UU Nomor 13 Tahun 2003 adalah jaring pengaman (safety net) agar buruh tidak absolut miskin. Karena itu, ia mendesak negara harus melindungi masyarakat yang akan memasuki dunia kerja dengan menetapkan kebijakan upah minimum.
"Upah minimum kan safety net. Kenapa harus menjadi maksimum? Oleh karena itu, seharusnya tidak ada definisi maksimal 10 persen," tegas kata Said Iqbal.
Organsiasi serikat buruh menyerukan agar setiap daerah dengan dasar hukum Permenaker 18/2022 tadi, Dewan Pengupahannya berjuang minimal kenaikan upah minimum 10 persen. Jika lebih dari 10 persen, itu adalah hasil dari perundingan.
"Maka organisasi serikat buruh menyerukan, agar UMK di tingkat kabupaten/kota dan UMP di tingkat provinsi berjuanglah minimal naiknya 10 persen," tegas dia.
"Kalau ditanya sikap Partai Buruh dan organsiasi serikat buruh, sikap kami tetap naik 13 persen. Kami berharap sekali dapat dikabulkan adalah 13 persen dengan menghitung inflasi dan pertumbuhan ekonomi," pintanya.
Win-Win Solution
Namun demikian, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, menilai kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2023 tak lebih dari 10 persen merupakan solusi terbaik untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja atau PHK massal.
Kendati pun besaran tersebut masih lebih kecil dibanding tuntutan kaum buruh yang meminta kenaikan upah minimum sebesar 13 persen.
"Ini kan win-win solution. Kalau 13 persen mungkin pada perusahaan jangan-jangan agak berkeberatan. Berarti kan kalau inflasinya 5 persen minta 13 persen, itu berarti kan dua kalo lipat dari inflasi. Mungkin, jangan-jangan menurut saya, perusahaan berkeberatan," ujarnya kepada Liputan6.com.
"Malah justru menurut hemat saya, kalau dinaikan sekian, perusahaan tidak sanggup membayar, kemudian terjadi PHK, siapa yang rugi?" tegas Tadjudin.
Menurut dia, pemerintah pasti sudah mempertimbangkan matang-matang kenaikan UMP maksimal 10 persen. Terlebih situasi ekonomi tahun depan diprediksi masih akan sulit, mengingat dana moneter internasional (IMF) hingga Bank Dunia yang merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi global.
Adapun kenaikan upah minimum maksimal 10 persen ini pun sudah jauh lebih tinggi ketimbang pada 2022, yang secara rata-rata berada di kisaran 1,09 persen. Tadjudin pun percaya, UMP 2023 tetap bisa meredam laju inflasi bila sampai tembus 6 persen.
"Jadi harus dipikirkan juga, jangan kenaikannya terlalu gede banget. Saat ini sudah lebih baik lah dibanding tahun yang lalu. Artinya, nilai upah yang diterima pekerja tidak tergerus, bahkan lebih tinggi 4 persen daripada inflasi," ungkapnya.
"Kalau nanti katakan tahun 2023 inflasi sekitar 5-6 persen kan masih ada 4 persen longgar. Mudah-mudahan tahun 2023 tidak terjadi inflasi (tinggi)," kata Tadjudin.
Sentimen: netral (57.1%)