Sentimen
Positif (100%)
25 Mei 2023 : 11.00
Informasi Tambahan

Event: Rezim Orde Baru

Partai Terkait

Golkar dan Agenda Politik 2024

25 Mei 2023 : 18.00 Views 3

Detik.com Detik.com Jenis Media: Metropolitan

Golkar dan Agenda Politik 2024
Jakarta -

Kurang dari sepuluh bulan lagi kita akan menyambut pesta demokrasi Pemilu 2024. Pada Februari tahun depan, partai-partai akan bersaing memperebutkan suara rakyat dalam pileg. Sementara pada saat yang sama, para tokoh terbaik bangsa akan berkompetisi dalam pilpres untuk merebut kepemimpinan nasional secara demokratik.

Sebagai partai yang kenyang "asam-garam" sejarah perjalanan bangsa, Partai Golkar melihat proses dan dinamika pemilu sebagai sesuatu yang harus disambut dengan riang-gembira. Di mana rakyat harus memiliki ruang seluas-luasnya untuk menentukan pilihannya terhadap partai dan capres, tanpa tekanan pihak mana pun.

Secara normatif, Golkar berkepentingan untuk memastikan Pemilu 2024 mendatang sebagai hajatan politik yang harus lebih baik daripada 2019. Terutama untuk mengakhiri keterbelahan sosial di masyarakat --cebong vs kampret-- menuju amanat Sila Ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia.

Ini tugas sejarah yang mendesak dilakukan, mengingat tantangan pasca 2024 sangatlah berat. Bangsa Indonesia harus mampu merespons situasi regional dan global yang terus bergejolak. Ekonomi dunia yang tidak stabil juga memerlukan kecerdasan dari para pemimpin untuk bagaimana membawa Indonesia selamat dalam melewati berbagai guncangan itu.

Oleh karenanya, Golkar berkepentingan untuk menghadirkan pemilu yang partisipatif dan berkualitas, sehingga parlemen yang terbentuk nantinya akan lebih kuat, valuable, dan mampu menjawab setiap tantangan --baik nasional maupun global-- untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

-

-

Meski demikian, saya sadar bahwa pastinya akan muncul pertanyaan operatif, bagaimana mewujudkan itu semua dalam situasi hari ini? Bagaimana Golkar berjuang untuk meningkatkan dukungan rakyat di parlemen? Siapa tokoh yang akan diusung Golkar sebagai capres dan cawapres? Deretan pertanyaan itu harus dijawab, karena semuanya juga merupakan anak tangga yang harus dipijak satu demi satu, untuk mewujudkan Indonesia masa depan yang lebih baik, sebagaimana di awal tulisan ini.

Adaptif

Pertama, terkait dengan pileg, target Golkar di setiap pemilu adalah selalu meningkatkan dukungan rakyat seoptimal mungkin. Sejak pemilu perdana pasca reformasi, 1999, alhamdulillah Golkar selalu mendapatkan dukungan pemilih dalam jumlah yang signifikan. Secara umum posisi Golkar tidak pernah keluar dari tiga besar. Bahkan pada Pemilu 2004, Golkar yang saat itu mendapat tekanan politik luar biasa --karena dikaitkan dengan Orde Baru-- justru muncul sebagai pemenang.

Ini menunjukkan bahwa rakyat senantiasa merindukan Golkar untuk berkiprah dalam politik Indonesia. Setiap upaya untuk menghabisi partai ini terbukti gagal. Termasuk keluarnya sejumlah tokoh kunci yang di kemudian hari membentuk partai baru, tidak serta-merta membuat Golkar limbung. Justru yang terjadi sebaliknya, Golkar semakin menjadi jangkar bagi demokrasi di negara ini, serta mampu beradaptasi dengan reformasi itu sendiri.

Dengan modal tersebut, maka pada 2024 nanti seluruh kader partai Golkar meyakini bahwa kita bisa mendapatkan suara melebihi 2019.

Kedua, pada perhelatan pilpres, Golkar sejak awal telah memulai tradisi baru, yaitu membangun koalisi sejak dini. Menengok ke belakang, cikal bakal Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) sudah dimulai sejak pertengahan 2021. Rasionalisasinya, kerja sama politik atau aliansi antarparpol sebaiknya dilakukan jauh-jauh hari, sehingga tercipta kesepahaman antaranggota koalisi.

Lebih dari itu, dengan waktu yang panjang, maka masing-masing partai dapat merumuskan visi bersama, termasuk menyepakati tokoh yang akan didukung bersama. Dalam jangka panjang, melalui strategi ini, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto ingin mengajak publik terlibat dalam diskursus pemilu (termasuk capres) sehingga masyarakat terbiasa dengan perbedaan.

Ini linear dengan tujuan demokrasi, tak lain untuk pendidikan politik melalui pelibatan publik dalam pengambilan keputusan. Tujuan tersebut sedikit banyak tercapai, karena bila kita amati dua tahun terakhir, tema diskusi di warung kopi, kafe, maupun mall tak lagi seputar sepak bola, movies, dan tren terkini saja. Sebaliknya keriuhan capres/cawapres dan manuver para elite juga menjadi konsumsi anak muda.

Ini tentu menggembirakan, paling tidak mereka (kalangan milenial) mulai peduli terhadap politik. Dengan semakin dalam publik terlibat, maka akan memunculkan pendewasaan kolektif, di mana masing-masing orang menganggap perbedaan sebagai keniscayaan, sehingga mengurangi potensi keterbelahan yang tidak produktif.

Pada konteks national leadership mendatang, Golkar sesuai dengan amanat Musyawarah Nasional (Munas) 2019 dan Rapimnas, Maret 2021 memutuskan Ketua Umum Airlangga Hartarto sebagai bacapres Partai Golkar. Ini merupakan amanat dari forum tertinggi organisasi, yang selanjutnya dijalankan oleh seluruh kader. Sampai hari ini Golkar masih berpegang pada hasil Munas dan Rapimnas tersebut. Kalau pun ada opsi lain, semua itu diserahkan kepada Ketua Umum.

Posisi yang demikian membuat Golkar tidak tergopoh-gopoh untuk merespons setiap perkembangan yang terjadi. Misalnya ketika ada koalisi partai lain yang sudah menetapkan bacapres, bagi kami itu adalah hal yang biasa. Pasalnya batas yang ditetapkan KPU sebagai penyelenggara pemilu masih cukup lama, September 2023, di mana dalam politik waktu lima bulan lebih dari cukup untuk memikirkan setiap langkah.

Meski demikian, kami menghormati teman-teman partai lain yang memilih jalan berbeda, karena masing-masing memiliki argumen dan kalkulasi politiknya sendiri-sendiri.

Ketiga, saat ini salah satu anggota KIB, yaitu PPP telah mendukung Ganjar Pranowo. Bagi kami hal itu juga sah-sah saja, mengingat KIB bukanlah organisasi, melainkan lebih tepatnya sebagai konfederasi. Masing-masing anggota memiliki independensi sendiri untuk satu hal, namun akan bersama-sama dalam tujuan yang lebih besar, yaitu cita-cita Indonesia yang lebih baik.

Dengan basis pemikiran yang demikian, maka Golkar tidak melihat dukungan PPP ke Ganjar sebagai keretakan koalisi. Pasalnya bisa saja nanti Golkar, PPP, dan PAN akan bertemu di satu titik, termasuk dalam calon presiden yang akan didukung. Sebab klaim dukungan yang muncul hari ini barulah klaim subjektif, sampai pada masanya nanti didaftarkan ke KPU.

Lebih dari Dua

Keempat, Ketua Umum Airlangga meyakini bahwa upaya membangun Indonesia yang lebih baik, tidak bisa dilakukan sendirian. Termasuk dengan teman di kabinet saat ini, maupun dengan partai-partai oposisi. Itu dibuktikan dengan kelincahan komunikasi politik Airlangga dengan bertemu hampir semua tokoh dari semua partai untuk mencari sebanyak mungkin titik temu, dan bukan memperlebar jarak politik.

Silaturahmi adalah koentji, demikian keyakinan kami. Itu pula yang dilakukan para founding fathers kita di masa lalu, yang bisa bertemu setiap saat, meskipun memiliki perbedaan dalam cara membangun negara.

Kelima, Golkar terbuka terhadap semua analisis koalisi yang saat ini digaungkan oleh sejumlah elite parpol. Sejauh ini pengelompokan politik yang muncul mengerah ke tiga bacapres, yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan. Namun demikian, ada juga pihak yang berkeinginan membangun koalisi besar, sehingga end of the day-nya akan menghasilkan dua pasang kandidat. Semua kemungkinan itu masih bersifat simulasi, sampai pada waktunya nanti ditetapkan oleh KPU.

Terhadap opsi-opsi tersebut, kami kembali ke tujuan awal bahwa kita ingin Pilpres 2024 lebih baik dari 2014 dan 2019 yang telah mengakibatkan devided society. Dengan demikian, maka ijtihad politik terbaik adalah menghadirkan lebih dari dua pasang calon presiden dan wakil presiden, sehingga dapat memperkecil konflik diametral. Bahkan secara matematis, bukan hanya tiga pasangan yang bisa terbentuk, melainkan empat.

Dengan calon lebih dari dua, maka akan mengurangi tensi persaingan yang tidak produktif, seperi politik identitas dan SARA. Untuk selanjutnya digantikan dengan pertarungan gagasan antarpasangan capres/cawapres, sehingga menghasilkan narasi yang lebih sehat dan relate dengan isu-isu yang dibutuhkan rakyat. Bukankah partai politik memang didirikan demi memperjuangkan kepentingan rakyat?

Dr Ahmad Doli Kurnia Tandjung Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar

(mmu/mmu)

Sentimen: positif (100%)