Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Kasus: covid-19
Politik Hukum Penundaan Pemilu 2024
Jitunews.com Jenis Media: Nasional
Sejak tahun 2022, jagad politik Indonesia dipertontonkan dengan wacana penundaan Pemilu
Aspek Politik
Sejak tahun 2022, jagad politik Indonesia dipertontonkan dengan wacana penundaan Pemilu sebagai fenomena khusus dan kontroversial dalam kontestasi demokrasi rutin 5 tahunan di Indonesia. Disebut sebagai fenomena khusus karena isu penundaan Pemilu ini baru pertama kali di Indonesia yang secara rutin dan konstitusional menyelenggarakan Pemilu secara rutin setiap 5 tahun sekali. Kelompok –kelompok pendukung penundaan Pemilu ini tidak tanggung-tanggung dimotori secara kolektif oleh tokoh nasional sekali berketua Partai politik dan menteri anggota kabinet. Wacana yang dilemparkan oleh para tokoh nasional itu dapat disebut sebagai “testing the water" kepada masayarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan riunitas demokrasi 5 tahunan sesuai dengan amanat konstitusi.
Pada Bulan Januari 2022, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyampaikan kepada public bahwa pengusaha menginginkan Pemilu 2024 ditunda. Sementara itu Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, juga mengusulkan Pemilu 2024 ditunda karea dianggap mengganggu pemulihan ekonomi. Ketua Umum Partai Amant Nasional (PAN) Zulkfli Hasan mendukung penundaan Pemilu karena tingginya kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi, masih berlangsungnya pandemic Covid-19 yang memerlukan perhatian khusus, kondisi perekonomian yang belum stabil, perkembangan situasi global konflik Rusia dan Ukraina yang menyebabkan belum menentunya minyak dunia dan membengkaknya anggaran Pemilu. Namun demikian dukungan terhadap penundaan Pemilu yang diberikan oleh Zulkifli Hasan ini belakangan dianulir dengan alasan tidak sesuai dengan realitas politik yang tidak memungkinkan dan lemahnya dukungan politik di parlemen.
Ajak Semua Parpol Melawan Jika PT Putuskan Pemilu 2024 Ditunda, Yusril Ingatkan Hakim Tak Boleh Tepengaruh Kritik
Di lain pihak wacana penundaan Pemilu 2024 juga mendapatkan kritikan, penolakan dan bahkan potensi ancaman untuk turun ke jalan dari berbagai lapisan masayarakat dari berbagai aliran di masyarakat baik termasuk partai politik dan organisasi kemasayarakatan. PDIP melalui sekretaris Jenderalnya Hasto Kristiyanto secara tegas menolak penundaan pemilu 2024, dengan alasan Mahkamah Konstitusi telah menolak judicial review terhadap perpanjangan masa jabatan Presiden. Penundaan Pemilu mestinya juga merujuk kepada pasal ini. PDIP menganggap gagasan penundaan Pemilu sebagai keputusan inkonstitusional. Oleh karena itu PDIP mendorong KPU untuk terus mempersiapkan pelaksanaan Pemilu 2024 agar tepat waktu. Ketua Umum Partai Gerindra dan Ketua Umum Partai NasDem memandang wacana penundaan Pemilu 2024 sebagai sebuah gagasan yang tidak arif dan tidak masuk akal.
Sejalan dengan pernyataan para politisi itu, salah satu Ormas Islam terbesar Muhammadiyah juga menilai segala upaya untuk menunda Pemilu Serentak 2024 bertentangan dengan konstitusi dan cacat hukum. Untuk itu Muhammadiyah memberikan dukungan sepenuhnya kepada upaya–upaya perlawanan secara hukum terhadap penundaan Pemilu 2024. Respons yang lebih keras disampaikan oleh kelompok-kelompok Islam garis keras PA 212, FPI dan juga Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama terhadap keputusan PN Jakarta pusat yang memerintahkan KPU untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024. Kelompok yang dikenal aktif turun ke jalan menyuarakan berbagai aspirasi ini bahkan menganggap isu Penundaan Pemilu 2024 sebagai kudeta konstitusional (Constitutional coup) dari politisi-politisi oligarki. Kelompok ini bahkan menyerukan kepada masayarakat untuk melakukan perlawanan konstitusional (constitutional resistence) terhadap keputusan PN Jakarta Pusat yang mereka anggap telah berlawanan dengan prinsip ideologi Pancasila dan UUD 1945. Kongtroversi ini menunjukkan bahwa persoalan Pemilu 2024 merupakan persoalan krusial bagi partai politik, bangsa Indonesia dan juga yang sudah mantap dengan pilihan sistem demokrasi dalam kehidupan bernegara. Maka sangat masuk akal kalau berbagai hal terkait dengan Pemilu sangat berpotensi memberikan gejolak politik.
Aspek Hukum
Percobaan politik yang mengangkat isu penundaan Pemilu pada tahun 2022 yang menimbulkan kontroversi itu tampaknya berlanjut ke tahun 2023 ini. Berbeda dengan wacana yang diangkat pada tahun 2022 yang bernuansa hukum, pada tahun 2023 kira-kira 1 tahun sebelum dilaksanakan Pemilu serentak 2024, upaya penundaan Pemilu juga dilakukan secara hukum. Upaya penundaan Pemilu secara hukum ini sebagai implikasi dari keputusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan menunda lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Hakim PN Jakarta Pusat yang terdiri dari Tengku Oyong, H. Bakri, dan Dominggus juga meminta KPU untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 500 juta kepada Partai Prima. Jika putusan ini dimenangkan dalam tingkat banding dan kasasi Pemilu baru akan dilaksanakan pada tahun 2025 artinya mundur atau ditunda. Keputusan PN Jakarta Pusat ini juga mengandung kontroversi, sekalipun keputusan itu menjadi diskresi hakim. Dari berita media yang bisa ditangkap, kebanyakan respons menolak keputusan tersebut. Yusril Ihza Mahendra menyalahkan keputusan PN itu sebagai masalah perdata tetapi digunakan sebagai keputusan melawan penguasa. Ketua Komisi 2 Ahmad Doli Kurnia menilai hakim PN Jakarta Pusat yang memutuskan perkara Partai Prima dan berimplikasi terhadap penundaan Pemilu sebagai, telah melampaui kewenangannya. Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik Muhammadiyah (LHKP) menilai bahwa keputusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Prima dan berimplikasi terhadap penundaan Pemilu bertentangan dengan konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Komentar yang lebih menyeramkan terhadap implikasi PN Jakarta Pusat disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD yang mengingatkan bahwa keputusan PN Jakarta Pusat itu membahayakan kehidupan bangsa dan negara, karena jika Pemilu 2024 diundur atau ditunda akan terjadi kekosongan pemerintahan.
Saat ini masyarakat menunggu upaya banding yang diajukan KPU atas putusan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan tuntutan Partai Prima yang oleh banyak orang dianggap janggal. Apakah Pengadilan Tinggi Jakarta akan mengabulkan gugatan KPU atau menolaknya. Jika mengabulkan gugatan KPU berarti tidak ada penundaan Pemilu. KPU harus melanjutkan tahap-tahapan Pemilu 2024. Namun jika Pengadilan Tinggi menolak gugatan KPU, maka keputusan PN Jakarta akan yang memeritahkan KPU menunda Pemilu berjalan. Sangat mungkin KPU akan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung, jika ini terjadi maka masayarakat sebagai pemilik negara ini akan tersuguhi dengan ketidakpastian yang menjurus kepada ketidakpercayaan kepada otoritas negara khususnya lembaga peradilan. Proses hukum bisa saja terus berjalan. Tetapi keadilan adalah tujuan hukum universal yang mempengaruhi kepercayaan masayarakat. Jika hukum dianggap tidak memberikan keadilan kepada masayarakat, sangat mungkin masyarakat akan menuntut keadilan dengan caranya sendiri, bukan melalui lembaga-lembaga penegak hukum. Pada titik ini masayarakat akan melakukan gerakan-gerakan politik yang mendapat dukungan dari parpol dan ormas yang menolak penundaan Pemilu. Sangat mungkin gerakan sosial masyarakat secara kolosal akan menabrak ketentuan-ketentuan hukum dan bisa jadi diluar kendali aparat penegak hukum.
Penulis: Dr. Sri Yunanto. M.Si, Dosen Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta
Jelang Pemilu, AHY: Hangat Boleh, Tapi Jangan Sampai PanasSentimen: negatif (100%)