Raden Mohammad Marty Muliana Natalegawa

Informasi Umum

  • Jabatan: Menteri Luar Negeri RI Kemenlu RI (2009-2014)
  • Tempat & Tanggal Lahir: Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia, 22 Maret 1963

Karir

  • 1. Staf Badan Litbang Kemenlu RI (1986-1990)
  • 2. Staf/Kasubbid Politik II PTRI New York (1994-1997)
  • 3. Kepala Bidang Politik II, Perwakilan Tetap RI PBB (1997-1999)
  • 4. Kepala Subdirektorat Organisasi Internasional Deplu RI (2000-2001)

Pendidikan

  • 1. Duta Besar RI untuk Inggris KBRI Inggris (2005-2007)
  • 2. Wakil Tetap RI untuk PBB PBB (2007-2009)
  • 3. Menteri Luar Negeri RI Kemenlu RI (2009-2014)
  • 4. SD Kris Jakarta (1969-1974)

Detail Tokoh

Marty kecil punya hobi yang jarang dilakukan anak kecil lain: melahap surat kabar langganan oleh orang tuanya tiap hari. Berita-berita dan tulisan lain yang dibacanya nampak begitu menarik karena kian meningkatkan kemampuan membacanya dan membuat ia tahu banyak hal. Marty paling suka membaca berita luar negeri, soal pariwisata, budaya, sejarah, pendidikan, ekonomi, bahkan ketika usianya makin bertambah, ia suka juga membaca perihal politik luar negeri. Ia belum sepenuhnya mengerti apa keterkaitan satu berita dengan berita lain yang kerap ia baca. Namun, saking sukanya dengan berita-berita itu, ia mengguntingnya lalu dikliping untuk dibaca lagi kapan-kapan. Kebiasaan itu makin hari makin sering dilakukannya. Rupanya itu adalah persentuhan awalnya dengan politik luar negeri. Puluhan tahun kemudian, si anak pengkliping itu dipilih Presiden Keenam Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Nama lengkapnya: Marty Natalegawa. Selama 5 tahun, sejak 2009 hingga 2014, tugas menjadi Menteri Luar Negeri dijalani dengan baik. Sebelum menjadi Menlu, Marty dikenal sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri sejak 11 November 2005 hingga 5 September 2007. Lalu dipercaya menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Inggris. Ia merupakan duta besar termuda, apalagi untuk pos dubes penting seperti Inggris, AS dan Jepang. Setelah dipercaya menjadi Duta Besar RI untuk Inggris, pria kelahiran Bandung 22 Maret 1963, ini kemudian diangkat menjadi Wakil Tetap Republik Indonesia (RI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di PBB, kiprah Marty Natalegawa cukup menonjol. Salah satu sikapnya (mewakili Indonesia) yang cukup menonjol tatkala dia menjadi satu-satunya yang bersikap abstain ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa sepakat menjatuhkan sanksi baru bagi Iran, terkait dengan masalah sengketa atom. Resolusi DK No. 1803 itu diambil lewat voting di Markas Besar PBB, New York, Selasa 4 Maret 2008 (WIB). Dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, 14 negara menyetujui, hanya Indonesia satu-satunya yang bersikap abstain. Marty menjelaskan alasannya mengacungkan tangan menunjukkan sikap Indonesia. Tujuan dari strategi resolusi sebelumnya sudah tercapai. Iran telah bekerjasama dengan Badan Energi Atom Internasional IAEA. Pada titik ini, pemberian sanksi baru bukanlah langkah terbaik menurutnya. Keberanian bersikap abstain dan kepiawaian berdiplomasi menuai pujian bukan oleh bangsa Indonesia saja, melainkan juga para diplomat dunia. Hal itu terbukti tatkala pada saat hampir bersamaan, 28 Februari 2008, Marty (Indonesia) terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi periode 2008. Pemilihan ini dilakukan pada sesi pertama sidang Komite tanggal 28 Februari 2008 yang dipimpin oleh Sekjen PBB, Ban Ki-Moon. Komite Khusus Dekolonisasi, atau dikenal juga sebagai Komite 24 (dari jumlah negara yang menjadi anggota komite ini pada masa awal pendiriannya), merupakan badan yang diberi kewenangan untuk melakukan implementasi Deklarasi Pemberian Kemerdekaan bagi Wilayah-wilayah Jajahan dan Penduduknya. Dalam sambutannya, Marty mengatakan, Indonesia sangat terhormat dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat internasional melalui pemilihannya sebagai Ketua Komite Khusus Dekolonisasi secara aklamasi itu. Kepercayaan semakin tinggi diberikan kepadanya, dengan mengangkatnya menjadi Wakil Tetap Republik Indonesia (RI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sejak 5 September 2007. Dia mengoptimalkan peran Indonesia di PBB dengan jabatan itu. Pada bulan November 2007, Marty mendapat kepercayaan penting sebagai Presiden Dewan Keamaan PBB. Kemudian, dia pun terpilih sebagai Ketua Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi periode 2008. Pemilihan ini dilakukan pada sesi pertama sidang Komite tanggal 28 Februari 2008 yang dipimpin oleh Sekjen PBB, Ban Ki-Moon. Komite Khusus Dekolonisasi, atau dikenal juga sebagai Komite 24 (dari jumlah negara yang menjadi anggota komite ini pada masa awal pendiriannya), merupakan badan yang diberi kewenangan untuk melakukan implementasi Deklarasi Pemberian Kemerdekaan bagi Wilayah-wilayah Jajahan dan Penduduknya. Marty sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar hingga mencapai gelar doktor, sudah berada dalam pergaulan dunia. Dia pernah duduk di bangku SMP, Singapore International School, Singapura, 1974, sebelum pindah ke SMP, Ellesmere College, Inggris, 1978. Kemudian dia masuk SMA, Concord College, Inggris, pada 1981. Marty mengakui bahwa pendidikan yang dijalaninya itu tidak sepenuhnya dipilih sendiri. Peran orang tua tentu menjadi yang dominan. Orang tuanya mengarahkan Marty untuk mengejar kesempatan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Meskipun harus bersusah payah beradaptasi dengan lingkungan baru, Marty akhirnya bisa lulus dengan prestasi yang membanggakan. Setelah lulus SMA, ia meraih gelar BSc, Homour, in International Relations, London School of Economics and Political Science, University of London, 1984 dan Master of Philosophy in International Relations, Corpus Christi College, Cambridge University, 1985. Jadi sejak sekolah menengah pertama hingga menamatkan S2, Marty selalu bersekolah di Inggris. Gelar doktornya (Doctor oh Philosophy in International Relations) diraih di Australian National University, 1993. Setelah menyelesaikan studi dan kembali ke Indonesia, Marty langsung merapat ke Departemen Luar Negeri. Dia memulai karir sebagai Staf Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang), Deplu, sejak 1986-1990. Marty mengaku sempat mengalami cultural shock di awal memasuki lingkungan birokrasi Deplu RI, sehingga harus banyak menyesuaikan diri. Misalnya, dia melihat urusan gampang dibuat jadi susah, dilempar kiri-kanan. Oleh karena itu, sejak hari pertama masuk Deplu ia mengatakan tidak akan membiarkan diri terbawa arus yang tidak selalu positif ini. Setelah beberapa tahun menjadi staf Badan Litbang, 1986-1990, dia ditugaskan menjadi staf di Perwakilan Tetap RI (PTRI) pada PBB, New York. Kemudian menjadi kepala seksi, lalu kasubdit, dan kepala bidang, yang tahapannya selalu menjadi pelaksana. Setelah menampakkan kemampuan sebagai Kepala Bidang Politik II, Perwakilan Tetap RI pada PBB, New York, 1997-1999, dia pun ditarik menjabat Kepala Subdirektorat Organisasi Internasional, Deplu, sejak 2000-2001. Tidak berapa lama, dia diangkat menjabat Direktur Organisasi Internasional, Deplu, 2001-2002. Tak lama setelah itu juga, dia dipercaya menjabat Kepala Biro Administrasi Menlu sekaligus merangkap Juru Bicara Deplu, 2002-2004. Dalam posisi itu, dia pun dipercaya menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN/Juru Bicara Deplu, 2003-2005.

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait tokoh ini.