Sentimen
Undefined (0%)
30 Agu 2025 : 09.21
Informasi Tambahan

Brand/Merek: Chanel

Hewan: Kambing, Sapi

Institusi: UIN

Kab/Kota: Semarang

Kasus: pembunuhan, teror

Tokoh Terkait

Sepuluh Menit dari Borobudur

30 Agu 2025 : 09.21 Views 10

Espos.id Espos.id Jenis Media: Lifestyle

Sepuluh Menit dari Borobudur

“Hotel ini hanya sepuluh menit dari Borobudur, Merra,” kata Sandra Jeanna sambil mengatur poninya dan meletakkan kacamata hitamnya di atas kepala. Ia menyipitkan mata. Mengamati tamu-tamu restoran di hotel tempat Merra menginap.

“Terdengar seperti koreografi tari Sardono W. Kusumo––Sepuluh Menit dari Borobudur.”

“Aku sempat menceritakannya, dulu, di rumah kontrakanmu. Aku bilang, Sardono menari mengenakan jubah hitam dan berubah seperti Buddha,” demikian kenang Sandra Jeanna.

Merra mematung. Lelaki itu ingat, kalau kebetulan ia sedang tidak meliput, dan Sandra Jeanna pulang dari pertunjukkan tarinya, perempuan itu selalu berkunjung. Sandra Jeanna akan duduk di muka kaca membersihkan wajah sedangkan Merra membantu melepasi jepit biting dari subal dan sanggul tekuk yang tertambat di rambutnya.

Kepadanya pula lelaki itu melepasi kain berlapis yang membebat badan Sandra Jeanna. Mekak bludru, kain penutup dada yang digunakan penari perempuan itu, Merra lepasi. Sumping, hiasan telinga berbahan kulit sapi itu, satu-satu Merra copoti.

Betapa Merra terpikat pantulan punggung putih Sandra Jeanna di dalam kaca. Tanpa cacat. Tanpa jerawat. Jelita tiada tara. Sebab rambutnya yang semula terurai kusut dan bergelombang, yang sebelumnya telah ia sisiri ke bawah, kini digelungnya kecil ke belakang.

Merra lantas melingkarkan tangannya di pinggul sintal Sandra Jeanna, dan lebih dari itu, membelainya. Lalu sedemikian tergesa-gesa perempuan itu mematikan lampu, menarik pergelangan tangan Merra, kemudian merebahkannya terlentang di ranjang.

Begitulah. Seusai badai hasrat, sebelum Sandra Jeanna bersalin pakaian dan pulang, perempuan itu memunguti pakaian tari yang tercecer di lantai dan teronggok di tubir tempat tidur. Kepada wartawan bertato kuda yang bertelanjang dada itu, ia berkata, Jangan tinggalkan aku, Merra. Sebab aku mencintaimu.

Tetapi, itu dulu, berbelas tahun yang lalu. Kesemuanya berubah semenjak Sandra Jeanna dipaksa berjodoh dengan tentara. Ayahnya dan ayah perwira itu sudah lama bersahabat. Ayah perwira itu, terang Ibu Sandra Jeanna, pernah menyelamatkan ayahnya semasa operasi militer dulu dan karenanya perempuan itu tak boleh membantah.

Malam bulan September, bertepatan pesta ulang tahunnya yang ke-28, Sandra Jeanna terpaksa membiarkan perwira tersebut menyematkan cincin pertunangan melingkari jari manisnya.

Merra mencuri dengar riuh suara dan derai tawa sambung-menyambung dari luar palang-silang asrama rumah Sandra Jeanna. Ketika pandita mulai mengucapkan ritus, Merra menangis. Ketika tamu undangan bersorak-sorai, lelaki itu perlahan-lahan pergi.

Sejak itulah Merra mengukuhkan niatnya meninggalkan Borobudur. Berkelana, melarung kesedihan di sepanjang pantai paling utara Pulau Bali hingga bertinggal di Ubud. Dari seorang wartawan surat kabar harian lokal, Merra menjelma pematung ulung, memiliki studio sendiri, dan rutin mengencani turis-turis berparas manis di sejumlah klab blues. Sebab, sesaat sebelum berangkat, terutama selepas malam Waisak, saat Sandra Jeanna mengucapkan ikrar perkawinan di altar pesta kemiliteran, Merra sempat pula beroleh teror disertai ancaman pembunuhan dari sejumlah tentara.

“Kamu memikirkan apa, Merra. Kok diam?”

“Oh, tidak, San. Tidak,” kilah Merra sekenanya. “Ya. Profesor Sardono itu berpakaian serbahitam. Karena hidup, kata Buddha, adalah penderitaan.”

Merra dan Sandra Jeanna bersitatap. Tak tahan menahan tatapan mata Merra, perempuan itu menunduk. Belum berselang menit, mereka sama-sama melihat ke sudut restoran. Sepasang kekasih mengirisi steik, decap mulut, serta denting gelas beradu di meja.

Di gurat wajah riang sepasang kekasih itu, Merra membuka keran masa lalu. Ketika ia berkata pernah mengecup Sandra Jeanna di sebuah restoran China seberang pecinan, perempuan itu memeluknya. Di mana pun Merra berada, kenangan akan Sandra Jeanna selalu menyertainya.

Saat Galungan, misalnya. Ketika menyaksikan Tari Pendet di Balerung, ia terbayang-bayang Sandra Jeanna yang bersih, teramat bersih, tersorot sepuhan lampu. Semisal Merra menghidu aroma gaharu, ia terngiang wangi-wangian tubuh Sandra Jeanna yang menguar harum.

Ini perempuan apa, pikir Merra kala itu, bau tubuhnya saja melebihi kuat aroma gaharu bahkan parfum Chanel No. 19 sekalipun. 

Dan siang ini, dari caranya berdandan, agaknya Sandra Jeanna ingin tampil menawan di hadapan Merra. Ia berpikir bersetelan serbahitam serta berhias anting maupun liontin akan membuat Merra tersanjung. Dan bibir itu, bibir yang disaput merah lipstik itu, meniti riwayat hasrat keremajaan masa lalu, di mana segala desah dan lenguh pernah bergayut di situ.

“Kamu bahagia, San, tinggal di tangsi dan hidup bersuami?” bertanya demikian, Merra menuangkan birnya ke gelas yang belum kosong di depannya.

Sandra Jeanna tersenyum malu. Matanya tenang, memandangi Merra dengan senang. Meski Merra tahu, sangat tahu, dasar batin perempuan itu bergemuruh.

“Sepanjang perkawinan yang berbelas tahun itu, Merra, aku tidak seberapa betah di rumah. Punya rumah, tetapi…,” ia mendengus panjang, “tidak pernah benar merasa pulang,” lanjutnya, menekukkan wajah.

“Sebegitu menyakitkankah rasa sepi itu?” Merra mencondongkan tubuhnya ke depan, meraih dagu Sandra Jeanna, mengangkatnya, lalu kembali bersandar.

“Sepi, Merra. Sepi sekali malah.”

Aku juga, batin Merra. Tetapi tak sampai. Maka ia ganti dengan ucapan:

“Jangan bersedih, San, jangan sedih.” Ucapan itu seolah hendak membelai wajah Sandra Jeanna, seakan pula ingin merenangi sklera matanya yang basah.

Pulang, menurut Sandra Jeanna, menyerahkan diri pada kekosongan. Dan lebih dari itu, ia telah berhenti menari pada bulan pertama menjadi seorang istri––tanpa bunyi tetabuhan sama sekali. Sandra Jeanna juga berhenti bekerja sebagai sekretaris direksi di perusahaan karoseri––tidak ada lagi blus tanpa lengan, rok mini, dan sepatu hak tinggi.

Hari ini, seperti juga hari-hari sebelumnya, ia menjalani hidup laiknya Siddharta Gautama, Sang Buddha, yang memurnikan dukkha sebagai miliknya sendiri. Berserah dan pasrah. Menuju bodhisattva. Selain kenyataan bahwa lelaki yang ia nikahi berlaku kasar dan suka membentak. Lima belas tahun ia kawin, tidak beranak dan tidak berbahagia.

Merra meresapi keseluruhan cerita Sandra Jeanna tanpa berpaling muka. Ia merasa rongga paru-parunya menyempit. Terasa perih. Sebab kesedihan itu cepat menular, pikir Merra. Lalu memandang betapa kepergian begitu menyilaukan.

“Sering aku berpikir, Merra, ingin menyudahi semuanya. Karena...”

“Sandra, taruhlah kamu bercerai, pernahkah membayangkan…,” potong Merra lekas. Lalu, setengah bercanda ia membentuk pistol dengan jari jempol dan telunjuk menodong kepala Sandra Jeanna, dan disusul sederet suara tembakan keluar dari mulutnya.

“Biar!” celetuk Sandra Jeanna nyaris berteriak. Antara kesal dan sentimental. Namun pula diiringi lengkungan senyum. Kata biar itu santer terdengar dan membuat berpasang mata merubungi mereka.

“Kenapa senyum-senyum seperti itu?”

“Karena aku senang, Merra, berbicara berjam-jam denganmu. Menye-nang-kan. Selalu mengesankanku,” terang Sandra Jeanna, tersipu, mengutarakan perasaannya yang mekar merekah. Sungguh, sesuatu yang paling ia senangi ialah berbicara dengan Merra tentang apa saja. Apa pun. Dari humor gelap hingga kilasan masa lalu.

Mendengar komentar itu, Merra ikut bertukar senyum. Ia merasa terhibur.

“Kamu sendiri kenapa kembali ke Borobudur?” tanya Sandra Jeanna beralih obrolan serampung menandaskan berbelas kerang hijau diselingi sekerat kentang yang tinggal separuh itu.

“Selain berurusan dengan proyek patung, San, aku ingin mengunjungi toko-toko tutup yang semasa wartawan sering aku singgahi,” jawab Merra, lalu bicara tentang satai atau tongseng kambing, tentang bersemadi di Vihara dan seterusnya, a-mi-ta-bha, terutama ruang penuh lukisan di Museum Widayat.

Sandra Jeanna tertawa kecil. “Aku merasa akrab dengan semua itu,” simpulnya.

Merra, Sandra Jeanna, terdiam. Mereka bicara tanpa berbicara, mendengar tanpa mendengarkan, hanya denting piano sebuah lagu lama yang sesekali ditingkahi lengking-jerit saksofon. Memicu kesunyian makin panjang. Tak berkesudahan. Sebab, dulu sekali, mereka kerap bertautan tangan menyusuri semuanya. Kini, lelaki itu menziarahi sendiri tilas-tilas masa silamnya.

“Aku harus cepat pulang, Merra, sebelum malam,” ucapnya meminta diri sembari memandangi jam tangan berkali-kali. Berucap demikian, suara Sandra Jeanna terdengar ragu. Sedemikian ragu.

Ucapan itu––entah mengapa––seperti hendak mengulang kejadian berbelas tahun lalu. Terutama pada hari-hari di mana ia pulang sebelum malam, sehabis bersalin pakaian, seusai bercinta. Hanya meninggalkan wangi parfum membekas di seprai dan seisi kamar tidur. Tetapi, Merra mengerti. Malam, selalu saja malam, yang membuat takut Sandra Jeanna.

“Sandra, Sandra… setelah sekian lama, kamu masih takut pada malam.”

Dan untuk kesekian kali Sandra Jeanna kembali menekukkan wajah, termenung agak lama, dan kemudian mengangkat sendiri wajahnya. Ia berkata:

“Begitulah, Merra. Dulu aku takut Ayah. Sekarang aku takut pada suamiku.”

Sandra Jeanna menarik kursi ke belakang, berdiri, dan menyeret kakinya yang berat menjauhi restoran. Dengan tergesa, secepat suara tembakan melesat dari mulut Merra, ia mengeluarkan sehelai syal hitam dari dalam tasnya. Syal itu digunakannya mencadari leher serta wajah––agar tersamar. Betapa menyedihkan.

Di koridor utama hotel, di antara patung-patung dan resepsionis, Sandra Jeanna berhenti. Terkejut. Ditatapnya patung dari dekat, sangat dekat. Ia naikkan alisnya, ia pukul-pukul pahanya, bola matanya menyapu bentuk tubuh dan wajah patung.

Berbalut blus tanpa lengan, patung perempuan berparas ayu berbahan resin atau silikon itu, seramping Sandra Jeanna dulu. Rambutnya yang hitam terurai panjang, mengenakan rok mini dan bersepatu hak tinggi. Berkilau, gemulai, begitu indah.

“Patung itu berjudul Annaej Ardnas V, Bu,” seru resepsionis dari belakang, seturut menjelaskan serangkum kisah dibalik seri patung. Katanya, menurut laporan majalah Visual Arts edisi khusus, karya-karya tersebut sarat akan penderitaan senimannya.

“Seperti kata Buddha?”

“Seperti kata Buddha.”

Tubuh Sandra Jeanna seketika menggigil. Ia berdebar. Bibirnya sedikit terbuka dan tak putus-putus bergetar.

“Kalau yang itu,” tunjuk Sandra Jeanna tanpa berpaling muka, memejamkan mata, beralih pada patung dengan gerak nyempurit, berkalung sampur, lengkap dengan seperangkat aksesori tari membalut tubuh patung.

Belum resepsionis menimpali, perlahan Sandra Jeanna mundur berlangkah kaki, lalu pergi begitu saja meninggalkan lobi.

Di luar, langit mendung. Bergerimis. Ia membuka mobil, masuk, lalu membanting pintu. Sebab ia segera tahu, bahwa Annaej Ardnas itu, kebalikan dari nama Sandra Jeanna. Perempuan itu menepi di pinggir pagar Candi Borobudur, menangis, dan memukuli setir sejadi-jadinya.

2025

Krisnaldo Triguswinri lahir 24 Oktober 1996. Pengajar di Ilmu Politik UIN Walisongo, Semarang. Menulis fiksi dan nonfiksi.

 

Pengumuman Penerimaan Cerpen

Redaksi menerima kiriman cerpen dari para penulis dengan ketentuan sebagai berikut:

Naskah dikirim dalam bentuk file attachment (lampiran), bukan ditulis langsung di badan surel.
Kirim ke alamat surel [email protected].
Panjang naskah 1.200 hingga 1.700 kata.
Kirim satu naskah saja dalam satu kali Kami tidak menerima kiriman beberapa cerpen dalam satu kali kiriman lewat surel.
Pastikan naskah belum pernah dimuat di media lain.
Sertakandata-data sebagai berikut:
-Nama lengkap

-Alamat surel aktif

-Alamat media sosial

-Nomor rekening (beserta nama pemilik rekening) dan NPWP

Sentimen: neutral (0%)