Sentimen
Undefined (0%)
18 Agu 2025 : 22.05
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Ambon, Semarang, Solo, Yogyakarta

Tokoh Terkait

Mengenal Slamet Riyadi, Pahlawan dari Solo yang Kondisi Rumahnya Memprihatinkan

18 Agu 2025 : 22.05 Views 17

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Mengenal Slamet Riyadi, Pahlawan dari Solo yang Kondisi Rumahnya Memprihatinkan

Esposin, SOLO — Salah satu pahlawan nasional dari Kota Solo, Brigjen Slamet Riyadi, punya peran krusial dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jasanya begitu besar, terutama ketika peristiwa Serangan Umum 4 Hari atau dikenal juga dengan Pengepungan Solo pada 7-10 Agustus 1949. 

Kini, 80 tahun setelah Indonesia merdeka dan 76 tahun semenjak peristiwa Pengepungan Solo itu, perhatian dan penghargaan terhadap jasa dan peninggalan Brigjen Slamet Riyadi masih jauh dari memadai. Bahkan, kondisi rumahnya saja kini meprihatinkan.

Mengutip artikel yang diterbitkan Jurnal Senja: Sejarah dan Humaniora, berjudul Peran Letnan Kolonel Slamet Riyadi Dalam Serangan Empat Hari Di Solo  karya Ely Armawati dari Universitas Negeri Semarang, Ignatius Slamet Riyadi lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 26 Juli 1927.

Ia sudah bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak usia yang masih sangat muda. Sejak muda, ia sudah menunjukkan sifat kepemimpinan. Hal itu bisa dilihat dari kontribusinya memelopori pembentukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang kelak menjadi satuan elit.

Kemampuan kepemimpinan dan organisasinya semakin tampak, ketika ia membentuk sebuah batalion yang terdiri dari para pemuda terlatih yang merupakan mantan anggota Peta, Heiho, dan Kaigun.

Batalion ini berperan penting dalam upaya merebut kembali kendali militer di Solo dan Yogyakarta dari Belanda, yang berusaha untuk kembali mendirikan pemerintahan kolonial mereka setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945.

Selama kariernya di dunia militer, Slamet Riyadi memimpin Batalion Resimen I Divisi X, kemudian Batalion XIV, terlibat dalam berbagai pertempuran gerilya untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.

Sayangnya, hidupnya berakhir terlalu cepat. Pada tahun 1950, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan di Makassar dan Republik Maluku Selatan (RMS). 

Saat memimpin operasi melawan pemberontak RMS di Ambon pada 4 November 1950, ia tertembak. Meskipun segera dilarikan ke rumah sakit, ia meninggal dunia dalam perjalanan akibat luka parah.

Slamet Riyadi bahkan wafat sebelum genap berusia 24 tahun. Meski masa hidupnya sangat singkat, ia meninggalkan warisan yang penting, terutama ketika berhasil menghentikan serangan di Solo.

Serangan Empat Hari di Solo

Serangan itu sering disebut sebagai "Serangan Umum Solo" atau Serangan Empat Hari di Solo, yang berlangsung pada 7 hingga 10 Agustus 1949. Pertempuran ini merupakan respons langsung terhadap Agresi Militer Belanda II, di mana pasukan Belanda kembali memasuki Solo untuk kembali menduduki Indonesia.

Menyadari ancaman itu, para pemimpin militer, termasuk Slamet Riyadi, merencanakan serangan balasan berskala besar. Pada usia yang baru menginjak 23 tahun, Slamet Riyadi memprakarsai dan memimpin serangan besar ini. Serangan yang dimulai saat fajar pada 7 Agustus tersebut melibatkan berbagai batalion, termasuk korps Tentara Pelajar.

Serangan awal begitu sengit dan memaksa pasukan Belanda yang bersenjata lengkap untuk mundur. Ini memungkinkan pejuang Indonesia menguasai kota. Sebagai Komandan Pertempuran Panembahan Senopati, Slamet Riyadi tidak hanya memberi komando di lapangan, tetapi juga memotivasi prajurit lain.

Pada hari kedua pertempuran, strateginya berfokus pada pemutusan jalur komunikasi dan pasokan antarpos Belanda. Strategi ini ternyata cukup efektif.

Pada 10 Agustus, ia mengeluarkan Perintah Siasat untuk "Serangan Perpisahan". Pasukan Slamet Riyadi waktu itu menyerang habis-habisan. Penyerangan itu melibatkan pasukan bantuan dari luar kota.

Serangan itu ternyata berhasil memberikan tekanan besar pada pasukan Belanda. Keberhasilan ini memaksa Belanda duduk di meja perundingan. Kolonel Van Ohl, yang mewakili Belanda, bertemu dengan perwakilan Indonesia, termasuk Letkol Slamet Riyadi, di Stadion Sriwedari. 

Mereka menyepakati gencatan senjata dan penyerahan pemerintahan secara resmi kepada Indonesia. Atas jasa-jasanya itu, Slamet Riyadi  dianugerahi beberapa medali dan gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2007.

Rumah Slamet Riyadi Memprihatinkan

Jejak kehidupan Slamet Riyadi masih bisa ditemukan di Solo. Selain diabadikan dalam bentuk patung dan nama jalan protokol, masih ada bekas rumahnya di Kelurahan Danukusuman, Serengan, Kota Solo.

Tampak depan kediaman Pahlawan Nasional Brigadir Jenderal (Brigjen) Slamet Riyadi di Jl Tejonoto, Danukusuman, Serengan, Solo tampak kurang terawat dan memprihatinkan. Bahkan saat hujan rumah ini bocor di beberapa titik. Pihak keluarga berharap ada perhatian dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Foto diambil Sabtu (9/8/2025). (Solopos/Candra Septian Bantara)
Tampak depan kediaman Pahlawan Nasional Brigadir Jenderal (Brigjen) Slamet Riyadi di Jl Tejonoto, Danukusuman, Serengan, Solo tampak kurang terawat dan memprihatinkan. Bahkan saat hujan rumah ini bocor di beberapa titik. Pihak keluarga berharap ada perhatian dari Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Foto diambil Sabtu (9/8/2025). (Solopos/Candra Septian Bantara)

 

Namun kondisi rumahnya sudah sangat memprihatinkan. Bangunannya sudah mengalami kerusakan. Pada Jumat (15/8/2025), sejumlah anggota DPRD Kota Solo berkunjung ke rumah Slamet Riyadi.

Pada kunjungan tersebut, perwakilan FPDIP DPRD Solo yaitu YF Sukasno (Ketua) dan Suharsono (Sekretaris) didampingi tokoh masyarakat Danukusuman, Paulus Haryoto, disambut kerabat Brigjen Slamet Riyadi, Gunawan.

"Kedatangan kami ke rumah pahlawan nasional Brigjen Slamet Riyadi ditugaskan oleh Pak Rudy. Kami diminta melihat kondisi rumah dan memperjuangkan kebutuhan anggarannya," ujar Sukasno saat diwawancarai Espos.

Untuk itu mereka berkeliling melihat kondisi rumah yang dinilai cukup memprihatinkan. "Yah kondisinya sangat memprihatinkan ya. Apalagi ini adalah rumah pahlawan nasional Brigjen Slamet Riyadi," urainya.

Sukasno menambahkan rumah itu dibangun atau direhabilitasi tahun 1937. Hal itu merujuk kepada penanda di pintu rumah. FPDIP bertekad memperjuangkan anggaran untuk renovasi rumah itu.

"Mestinya, kami dan Pak Gunawan akan koordinasi dengan keluarga pahlawan Brigjen Slamet Riyadi. Ini sebagai bentuk penghargaan kita kepada pahlawan nasional dari Solo, Brigjen Slamet Riyadi," tuturnya.

Bahkan, menurut Sukasno, bila keluarga berkenan, rumah itu bisa dijadikan museum atau rumah juang. Sebab sejak kecil sampai bersekolah, Slamet Riyadi tinggal di situ bersama keluarganya.

"Sejak kecil sampai sekolah, Bapak Ignatius Slamet Riyadi di sini dengan kakak perempuan dan orang tuanya. Kalau melihat foto keluarga, ternyata dulu ayah dari Slamet Riyadi juga prajurit Keraton," katanya.

Sentimen: neutral (0%)