Sentimen
Undefined (0%)
15 Agu 2025 : 01.00
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Andalas

Kab/Kota: Cirebon, Pati, Semarang

Partai Terkait
Tokoh Terkait

Ramai Daerah Naikan PBB, Warga Protes, Pemda Cari Jalan Efisiensi

15 Agu 2025 : 01.00 Views 1

Espos.id Espos.id Jenis Media: News

Ramai Daerah Naikan PBB, Warga Protes, Pemda Cari Jalan Efisiensi

Esposin, JAKARTA – Di tengah ancaman pemangkasan anggaran transfer pusat ke daerah, sejumlah pemerintah daerah (pemda) menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga ratusan bahkan ribuan persen. Kenaikan ini dimaksudkan untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi memicu protes warga.

Ketergantungan daerah terhadap dana pusat cukup tinggi. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, dari total realisasi pendapatan daerah Rp648,16 triliun, sekitar 64,39% atau Rp417,38 triliun berasal dari transfer pusat. Sisanya, 31,4% atau Rp204,17 triliun, berasal dari PAD. Salah satu daerah yang terdampak adalah Kabupaten Pati, yang baru-baru ini menjadi sorotan publik.

Kenaikan Tarif PBB di Beberapa Daerah

Bupati Pati, Sudewo, menaikkan tarif PBB-P2 hingga 250% untuk mempercepat pembangunan daerah. “Beban kami pembangunan infrastruktur jalan, pembenahan RSUD RAA Soewondo, pertanian, perikanan, semuanya membutuhkan anggaran yang sangat tinggi,” ujarnya.

Namun keputusan itu berbuntut panjang. Warga menolak kebijakan tersebut dan menggeruduk kantor Bupati dan DPRD pada 13 Agustus 2025. Tuntutan yang awalnya hanya menolak kenaikan PBB berkembang menjadi dorongan untuk memakzulkan Bupati Sudewo.

Tak hanya Pati, Kota Cirebon bahkan menaikkan tarif PBB hingga 1.000%, empat kali lipat dari Pati, yang memicu aksi protes publik menuntut pembatalan Perda No.1/2024. Sementara kabupaten lain, seperti Semarang, sempat disebut menaikkan tarif hingga 400%, meski dibantah Pemkab setempat.

Efisiensi Anggaran Pusat dan Implikasinya ke Daerah

Fenomena ini muncul saat pemerintah pusat gencar melakukan efisiensi anggaran melalui PMK No.56/2025. PMK itu menjadi pedoman teknis pelaksanaan efisiensi, termasuk pemotongan belanja kementerian/lembaga senilai Rp256,1 triliun dan TKD senilai Rp50,59 triliun.

Wakil Ketua Umum Apkasi, Masinton Pasaribu, menyoroti perlunya klasterisasi daerah berdasarkan kemampuan keuangan untuk menghindari pemangkasan TKD yang tidak proporsional. Menurutnya, pemda dengan PAD rendah, menengah, dan tinggi harus diatur secara adil. Masinton juga menekankan penyempitan kewenangan pemda dalam mengelola sumber daya lokal, termasuk laut, pertambangan, dan hutan, yang berpotensi menambah PAD.

Kewenangan Daerah dalam Penentuan Tarif Pajak

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menegaskan bahwa kebijakan menaikkan PBB-P2 adalah kewenangan daerah. “Itu kan kewenangan daerah, ya. Jadi, harusnya disesuaikan di level daerah,” ujarnya. Meski demikian, evaluasi tetap berjenjang melalui provinsi dan Kemendagri sebelum Kemenkeu ikut menilai.

Pengamat ekonomi Universitas Andalas, Prof. Syafruddin Karimi, mengingatkan pemerintah daerah untuk proaktif menyikapi PMK No.56/2025. Efisiensi transfer ke daerah akan berdampak pada proyek infrastruktur dan rantai pasok lokal, sehingga perencanaan APBD perlu lebih hati-hati.

Kisah di Pati dan Cirebon menjadi cermin tantangan pengelolaan keuangan daerah di tengah tekanan efisiensi. Sementara pemda mencari jalan menambah PAD, masyarakat menuntut transparansi dan keadilan, menunjukkan konflik klasik antara pembangunan dan kepentingan publik.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul "Ramai Daerah Kerek Tarif Pajak, Tambal Sulam Siasati Efisiensi?".

Sentimen: neutral (0%)