Sentimen
Undefined (0%)
26 Jul 2025 : 18.22
Informasi Tambahan

Event: Perang Dunia II

Kab/Kota: Solo

Tokoh Terkait

Seniman asal Taiwan Pentaskan Monolog Angkat Cerita Bengawan Solo di TBJT

26 Jul 2025 : 18.22 Views 1

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Seniman asal Taiwan Pentaskan Monolog Angkat Cerita Bengawan Solo di TBJT

Esposin, SOLO — Seniman asal Taiwan, Li Wen-Hao, menggelar pertunjukan monolog bertajuk “SOLO” dalam program On Stage ke-24 yang digelar Studio Plesungan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Kota Solo, Jumat (25/7/2025) malam. 

Karya Li merangkum perjalanan lagu keroncong gubahan Gesang Martohartono berjudul Bengawan Solo. Lagu yang diciptakan pada 1940 itu sampai ke negara-negara Asia lainnya dengan beragam versi. 

Pertunjukan malam itu dimulai dengan suara ombak laut di lepas pantai. Di tengah suara itu, Li yang berpakaian seperti seorang pelaut muncul sambil menyusun perahu kertas. Ia menyusunnya berjajar sampai ke depan penonton.

Kamudian ia mengambil satu lagi perahu kertas yang ia taruh di mangkuk besar berisi air. Tidak selang lama, ia duduk di kursi dan mulai menceritakan kisah fiksi tentang orang-orang yang pergi melalui pada masa pengujung Perang Dunia II.

Ketika itu, Taiwan oleh orang-orang Eropa disebut sebagai Ilha Formosa, yang berarti pulau yang indah. Taiwan pada masa lalu sering didatangi oleh para pelaut dari Portugis, Spanyol, bahkan Belanda yang sedang berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah.

Pada bagian ini, Li menunjukkan titik temu Hindia Belanda (Indonesia) dan Taiwan yang sama-sama pernah menjadi koloni Kerajaan Belanda lewat perusahaan dagang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Bahkan pada dekade 1940-an, kedua negara sama-sama diduduki Jepang sebelum akhirnya kekaisaran timur itu kalah perang.

Li menceritakan itu dalam kisah fiksi tentang orang-orang Taiwan dan Jepang yang pergi melaut atau dekat dengan laut. Salah satunya adalah Yosuke, orang Jepang yang bertugas di Hindia Belanda ketika masa perang. Pada adegan lain, ia memerankan A-Guan dari Taiwan.

Li mengambil latar cerita dari mulai Batavia atau Jakarta hingga Yokohama. Dalam pertunjukan, ia merekam bagaimana lagu Bengawan Solo dinyanyikan di atas kapal untuk menghibur tentara yang sedang berperang.

Melodi magis lagu Bengawan Solo mudah diingat kepala, meski tidak begitu mengerti liriknya dalam bahasa Indonesia. Li menyanyikan lagu itu dalam berbagai versi bahasa, Indonesia, Hokkien, Jepang, hingga Inggris. Sentuhan nada dan vokalnya mirip, meski nuansa di setiap versi terasa berbeda.

Misalnya pada versi Jepang yang terasa lebih pop. Liriknya sedikit ada penyesuaian. Termasuk pelafalan “Solo” yang lebih terdengar seperti “Soro”. Hal ini karena lidah orang Jepang sulit melafalkan huruf l.

Kemudian pada versi Mandarin, lagu itu berubah nuansa menjadi lebih romantis. Liriknya sedikit berubah menggambarkan seakan Bengawan Solo dipenuhi kisah cinta. Misalnya terjemahan liriknya dalam Bahasa Inggris: Bengawan Solo/ River of love, behold/ Where the palms are swaying low/ And lovers that so's enthralled//.

Bengawan Solo Versi Jepang

Pertunjukan Li berlanjut dengan menceritakan kekalahan Jepang setelah dua kota, Nagasaki dan Hiroshima, hancur karena bom atom Amerika Serikat. Kekaisaran Jepang menyerah dan mengaku kalah. 

Tentara Jepang di beberapa negara, termasuk Indonesia ditarik mundur. Para serdadu itu pulang, lagu Bengawan Solo pun ikut dibawa. 

Hal ini bisa dilihat dari rilisan penyanyi Jepang bernama Toshi Matsuda sekitar 1947 atau 1948, yang menerjemahkan lagu milik Gesang dalam bahasa Jepang. Lagu itu rilis dengan judul Bengawan Soro

Kemudian setelahnya, di Jepang, juga muncul beberapa film yang menggunakan Bengawan Solo sebagai soundtrack. Lantaran ada kaitan historis antara Taiwan dan Jepang, lagu Bengawan Solo juga dikenal oleh orang-orang di Taiwan.

Lagu itu juga diadaptasi dan muncul di film garapan sutradara lokal. Pertunjukan yang berlangsung selama sekitar 60 menit itu, berhasil merangkum perjalanan lagu Bengawan Solo yang ikut terbawa arus perang hingga populer di negara penjajah dan negara bekas jajahan.

Dalam sesi diskusi seusai pertunjukan, Li mengatakan pertunjukan “SOLO” memulai debutnya di Taipei pada November 2024. Meski begitu, ia mengaku ingin mengunjungi Kota Solo, tempat Gesang berasal dan tinggal, dan mementaskan pertunjukan tersebut.

“Saat saya membuat pertunjukan ini tahun lalu, semuanya hanya dari Google Maps. Saya belum pernah ke Solo, belum pernah melihat Sungai Bengawan Solo, dan tidak tahu seperti apa kehidupan di sekitarnya,” katanya, Jumat.

Karena itulah, ia merasa harus datang langsung ke Solo. Kesempatan itu akhirnya datang melalui undangan pementasan dari Studio Plesungan. 

“Saya merasa sangat tersentuh ketika menyadari bahwa saya benar-benar bisa datang dan tampil di sini. Saya merasa sangat terhormat, karena jika dilihat dari perjalanan lagu ini, rasanya lagu ini hanya lewat saja di Taiwan,” katanya 

Awal Mula Mengenal Gesang

Li mulai perkenalannya dengan karya Gesang dari  film. Ia mendengarkan lagu Bengawan Solo versi bahasa Inggris yang ada di film karya sutradara Wong Kar-wai, berjudul In the Mood for Love.

Kemudian ia penasaran dan mulai melakukan pencarian di mesin pencari Google. Dari situ, ia baru tahu bahwa lagu yang ada di film ternyata berasal dari Indonesia.

“Semakin saya mencari di Google, semakin banyak yang saya pelajari. Saya menyadari lagu ini telah diadaptasi ke dalam begitu banyak versi, termasuk versi asli Indonesia. Bahkan di Jepang, memiliki banyak sekali versi,” jelasnya.

Li melakukan riset sejak 2022. Ia mengaku sangat terpesona dengan bagaimana lagu “Bengawan Solo” bermigrasi dan menempuh perjalanan selama hampir 50 tahun, dari versi aslinya pada 1940 hingga versi lain yang ia temukan dari pada 1998. Migrasi budaya inilah yang menjadi inti risetnya.

Ia mendalami setiap era, instrumen yang digunakan, teknik vokal, hingga cara penyanyi menafsirkan lagu di setiap versi. Dari riset itu, ia kemudian menciptakan karakter fiksi untuk memperkuat narasi sejarah di pertunjukannya.

“Mereka semua adalah karakter yang seolah-olah keluar dari lagu itu sendiri. Setiap karakter berasal dari bagian-bagian lagu yang saya teliti,” tuturnya.

Bagi Li, riset tentang Bengawan Solo adalah cara untuk memecah batasan sejarah yang kaku dan sering kali terbatas pada narasi negara-bangsa. Menurutnya, lagu itu sendiri tidak peduli dari negara mana pendengarnya atau bahasa apa yang mereka gunakan.

“Lagu ini terus mengalir. Seseorang menyukainya, mereka akan menafsirkannya, dan ia terus mengalir melintasi batas-batas negara,” katanya.

Pada akhirnya, baginya pertunjukan “SOLO” menjadi refleksi tentang sejarah, migrasi, identitas, dan budaya yang semuanya terinspirasi oleh aliran sungai Bengawan Solo.

Sentimen: neutral (0%)