Masa Depan Buku, Teknologi, dan Sentuhan Spiritual
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Di tengah arus digitalisasi yang semakin deras, muncul pertanyaan penting: apakah buku—cetak atau fisik—akan tergeser oleh PDF dan e-book? Jawaban sederhananya tentu saja tidak.
Di balik jawaban itu terdapat realitas yang lebih dalam, menyangkut sejarah, budaya, psikologi manusia, bahkan spiritualitas. Sejarah mencatat bahwa buku cetak telah melalui perjalanan panjang.
Buku cetak mengalami transformasi dari gulungan papirus di Mesir kuno, manuskrip di perkamen pada abad pertengahan, hingga penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada abad ke-15. Semua menandai tonggak revolusioner penyebaran ilmu.
Kehadiran buku kertas ini menjadi simbol peradaban intelektual tercipta. Pada abad ke-21, kita menyaksikan revolusi baru di hampir semua lini industri, termasuk digitalisasi buku.
Portable document format atau PDF dan electronic book atau e-book hadir menawarkan kemudahan, portabilitas, dan efisiensi. Dengan satu perangkat, ribuan judul buku bisa dibawa ke mana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun.
Amazon dengan Kindle, Google Books, hingga perpustakaan berbasis digital dapat kita akses dengan mudah dan itu semua adalah bukti kuat bahwa dunia digital sudah merangsek ke ranah literasi.
Meski PDF dan e-book menawarkan kemudahan dalam mengkases bahan bacaan yang murah dan mudah, buku cetak tetap berdiri kukuh. Mengapa? Pertama, manusia bukan sekadar makhluk rasional, tapi juga makhluk indrawi.
Penelitian Naomi S. Baron, profesor linguistik dari American University, menunjukkan bahwa mahasiswa dan pembaca dewasa tetap memilih buku cetak karena kenyamanan membaca, fokus yang lebih baik, dan hubungan emosional yang lebih kuat terhadap materi bacaan (Words Onscreen, 2015).
Kedua, sentuhan fisik terhadap buku cetak menciptakan keterlibatan yang lebih dalam. Sensasi memegang buku dengan segala bentuk, berat serta ukuran, membalik halaman dengan karakteristik tekstur kertas, bahkan ada sekte yang gemar mencium aroma kertas yang khas, semuanya menghadirkan pengalaman membaca yang lebih ”hidup” dibandingkan menatap layar datar.
Lebih dari itu, seperti saya yang tumbuh di lingkungan pesantren, di kalangan santri dan warga pesantren secara umum hubungan dengan buku fisik jauh lebih sakral.
Kitab kuning yang digunakan untuk belajar ilmu agama yang kadang diwariskan turun-temurun bukan hanya sarana belajar, melainkan objek keberkahan (barokah).
Keyakinan ini lahir dari tradisi panjang bahwa ilmu yang ditimba dari kitab fisik yang langsung disentuh, dipegang, dan diajarkan oleh guru akan membawa kebaikan yang meluas, tidak hanya bagi pembaca, tetapi juga untuk lingkungan sekitar.
Dalam tradisi pesantren, mencium buku, menghormati tulisan, dan tidak meletakkan kitab di sembarang tempat adalah bagian dari etika menuntut ilmu.
Hal ini tak bisa dipindahkan ke layar gawai berupa kitab PDF yang tentu kurang memiliki energi yang mendorong pembacanya untuk takzim.
Bagi saya pribadi, membeli buku cetak juga berarti mendukung kerja keras penulis dan seluruh ekosistem literasi yang terlibat seperti editor, layouter, penerbit, hingga percetakan.
Pada era ketika pembajakan digital semakin marak, membeli buku cetak adalah bentuk nyata penghormatan terhadap intelektualitas dan jerih payah para penulis. Buku cetak menciptakan rantai nilai yang adil dan manusiawi.
Seperti dikatakan Neil Gaiman, a physical book is a souvenir of your mind. Buku bukan sekadar informasi, tapi juga jejak dari perjalanan intelektual dan emosional pembacanya.
Kita tidak sedang menyusun dikotomi antara buku cetak dan digital. Keduanya memiliki tempat dan fungsi masing-masing. PDF dan e-book tentu saja menawarkan alternatif berupa efisiensi dan aksesibilitas, sedangkan buku cetak menghadirkan kedalaman, keintiman, dan keberkahan yang tak tergantikan.
Pada era saat ini keduanya seakan-akan saling mengisi dengan segmen masing-masing. Satu hal pasti dari buku kertas adalah akan terus memiliki penikmat dan tidak akan pernah musnah.
Selama manusia masih membutuhkan sentuhan, kedalaman, dan tradisi intelektual berupa penghormatan terhadap ilmu, buku cetak akan tetap hidup.
Lebih dari itu, buku cetak akan menjadi unsur peradaban yang terus hadir dan mengisi ruang-ruang kosong dari generasi ke generasi.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 Juli 2025. Penulis adalah anggota staf Solopos Publishing)
Sentimen: neutral (0%)