Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Diponegoro
Kab/Kota: Solo, Yogyakarta
Tokoh Terkait
Perjalanan Panjang Wayang Orang di Solo, dari Mangkunegaran sampai Sriwedari
Espos.id
Jenis Media: Solopos

Esposin, SOLO -- Kesenian Wayang Orang Sriwedari (WOS) Solo sudah eksis selama 115 tahun pada 2025 ini. Usia yang cukup panjang untuk satu kelompok seni pertunjukan. Selama lebih dari satu abad itu, WOS menunjukkan resiliensinya menantang perubahan zaman.
Di tengah pasang surutnya perkembangan wayang orang di Indonesia, WOS disebut-sebut sebagai satu-satunya pertunjukan yang mampu bertahan. Hal ini tampak pada konsistensi WOS menggelar pertunjukan hampir setiap hari sampai saat ini.
Guru Besar Sejarah Kebudayaan Universitas Diponegoro, Dhanang Respati Puguh, dalam artikelnya berjudul Wayang Orang Panggung Sebagai Hiburan Massa: Tinjauan dari Perspektif Sejarah, 2023, menuliskan kemunculan WOS tidak bisa dipisahkan dari wayang orang yang tumbuh dan berkembang di Mangkunegaran.
Wayang orang Mangkunegaran kali pertama dipentaskan pada masa pemerintahan Mangkunagoro I (1757-1796). Wayang orang Mangkunegaran Solo dianggap sebagai pengembangan lanjutan beksan wirèng.
Wireng adalah jenis tari keraton yang dilakukan dua orang dan menggambarkan peperangan antara dua tokoh. Wayang orang Mangkunegaran berfungsi sebagai hiburan di kalangan bangsawan istana Mangkunegaran. Berbeda dari wayang orang Kasultanan Yogyakarta hasil karya Sultan Hamengku Buwana I yang berfungsi sebagai ritual kenegaraan.
Wayang orang Mangkunegaran mengalami perkembangan cukup pesat pada era Mangkunagoro IV (1853-1881). Dalam periode ini pertunjukan wayang orang makin rutin digelar, para pemain diberikan pelatihan, dan menjadikan seni ini sebagai atribut kebesaran Mangkunegaran
Saat tampuk kepemimpinan Mangkunegaran dipegang Mangkunagoro V (1881-1896), wayang orang mengalami banyak pembaharuan mulai dari penari, rias busana, lakon, dan fungsi sajiannya. Akan tetapi di era ini juga wayang orang mulai mengalami kemunduran karena terjadi kemerosotan ekonomi.
Hal ini membuat Mangkunegaran tidak mampu menggelar pertunjukan wayang orang karena butuh pembiayaan yang besar. Selain itu, aktivitas abdi dalem pendukung pergelaran berkurang dan memilih beraktivitas di luar Mangkunegaran.
Peran Orang Tionghoa
Momen ini justru ditangkap sebagai sebuah peluang oleh seorang Tionghoa bernama Gan Kam. Dia memiliki ide untuk menggelar wayang orang di luar lingkungan Mangkunegaran sehingga bisa dinikmati masyarakat umum di Kota Solo.
Pada 1895, ia merekrut para pemain wayang orang Mangkunegaran yang diberhentikan untuk membuat mereka kembali tampil. Di tangannya, wayang orang dikemas dengan waktu lebih pendek, lebih menonjolkan dialog daripada tari, dan menyelipkan sisi-sisi hiburan.
Pertunjukan wayang orang panggung kemasan Gan Kam kali pertama digelar di bangunan bekas tempat pembatikan miliknya di selatan Pasar Singosaren. Waktu itu bangunan tersebut sudah didekorasi layaknya suasana kerajaan, hutan, jalanan, hingga candi serta disaksikan 200 penonton.
Kepeloporan Gan Kam ini kemudian memantik para pengusaha Tionghoa dan pribumi lainnya untuk membuat pergelaran wayang orang. Akhirnya pada awal abad XX, banyak sekali bermunculan kelompok wayang orang di Solo seperti Sedya Wandwa, Sono Harsono, Saritama, dan Srikaton.
Singkat cerita, pada masa kepemimpinan Paku Buwono X tepatnya tahun 1910, perkumpulan wayang orang Sriwedari mulai terbentuk. Anggotanya adalah mantan pemain wayang orang panggung dari berbagai perkumpulan di Solo.
Sejak itu, mereka rutin menggelar pertunjukan di Taman Sriwedari yang dibangun pada 1901. Walaupun pergelaran wayang orang ini dibiayai Keraton Solo, untuk menyaksikannya penonton perlu membayar tiket.
Pergelaran sempat tidak rutin digelar pada awal masa kemerdekaan akibat situasi yang tidak kondusif. WOS baru mulai mengalami kejayaan kembali pada periode 1960-1970.
Hal itu disebabkan banyaknya anak muda yang menguasai beragam kesenian, dedikasi para pemain, belum banyaknya alternatif hiburan, hingga adanya pemain ‘bintang’ yang diidolakan. Selain itu, sebagian adegan cerita juga disiarkan melalui radio hingga strategi promosi dengan menyebar pamflet keliling kota dengan mobil berpengeras suara.
Pada saat itu, Wayang Orang Sriwedari Solo melahirkan pemain bintang populer di masyarakat, yaitu Rusman Harjawibaksa (lahir 1926, meninggal 1990), Surana Ranawibaksa (lahir 1929, meninggal 1996), Darsi Pudyarini, dan Sitarini. Keberadaan bintang-bintang tersebut menjadi magnet masyarakat untuk rela membayar tiket pertunjukan.
“Hal ini antara lain dibuktikan dengan fakta, bahwa pada masa kejayaannya, tiket Wayang Orang Sriwedari sering diborong oleh panitia pencari dana untuk membantu pendirian gedung sekolah, korban bencana alam, dan lain-lain,” tulis Dhanang.
Kemerosotan dan Kebangkitan Kembali
Sementara itu Guru Besar Seni Tari Institute Seni Indonesia (ISI) Solo, Sri Rochana Widyastitieningrum, dalam artikelnya berjudul Pelestarian Budaya Jawa: Inovasi dalam Bentuk Pertunjukan Wayang Orang Sriwedari, 2023, menyebut WOS mengalami kemunduran pada medio 1980-1990 dengan jumlah penonton merosot tajam.
Ini disebabkan tidak adanya peremajaan pemain, fasilitas gedung pertunjukan yang kurang memadai, dan tidak adanya pemain bintang yang menarik penonton. Meski dalam keadaan tidak baik-baik saja, WOS tetap tampil berapa pun jumlah penontonnya. Akhirnya pada 2010 asa kebangkitan Wayang Orang Sriwedari Solo muncul kembali tatkala terjadi peremajaan pemain wayang orang.
Geliat perkembangan pertunjukan WOS mulai menggembirakan. Para pemain muda yang sebagian besar jebolan ISI Solo telah memiliki kemampuan dasar sebagai pemain wayang orang, yakni tandang (gesture), tembung (dialog), dan tembang (melantunkan tembang Jawa).
Pemerhati sejarah dari komunitas Solo Societeit, Dani Saptoni, menilai kunci utama WOS bisa terus eksis selama 115 tahun adalah dedikasi para pemainnya. Para pemainnya melakukan pekerjaannya sebagai seorang seniman dengan orientasi utama lebih dari sekadar materi atau uang.
“Waktu saya kecil itu, kebetulan salah satu saudara saya pemain juga di sana bilang ‘Enek sek nonton apa ora, aku tetep main’. Nah dedikasi semacam itu yang sulit ditemukan di wayang orang lainnya,” kata dia kepada Espos, Rabu (23/7/2025).
“Bagaimana bermain wayang orang bagi mereka bukan lagi sebatas pekerjaan, mencari cuan atau nafkah, tetapi sudah dalam taraf dedikasi kepada seni budaya dan penghargaan terhadap hidup seorang seniman,” imbuh dia.
Diberitakan sebelumnya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Solo menggelar serangkaian acara untuk memperingati 115 tahun Wayang Orang Sriwedari di Gedung Wayang Orang atau GWO Sriwedari, Selasa (22/7/2025). Salah satunya, menjamas benda sakral di Gedung Wayang Orang Sriwedari, yakni patung Nyai Denok, Gongso atau gong pemberian PB X, Kiai Bagus.
“Wayang Orang Sriwedari semakin menarik bagi kalangan anak muda. Kami akan perhatikan kesejahteraan pemainnya, fasilitas pendukungnya termasuk tempat duduk menjadi perhatian kami,” kata Wali Kota Solo, Respati Ardi, yang hadir pada acara itu.
Respati menjelaskan perlu upaya lebih untuk mempromosikan pertunjukan di Gedung Wayang Orang Sriwedari. Sementara itu, Kepala Bidang Seni dan Budaya Disbudpar Solo Anies Dyah Oktavianti mengatakan jumlah penonton pertunjukan Wayang Orang Sriwedari lebih dari 100 orang setiap hari.
Jumlah penonton meningkat hingga lebih dari 600 orang pada akhir pekan. Gedung Wayang Orang Sriwedari memiliki kapasitas tempat duduk 700 orang. Anies mengatakan Wayang Orang Sriwedari menggelar pertunjukan setiap Senin sampai Sabtu. Tiketnya Rp20.000 untuk wisatawan nusantara dan Rp50.000 untuk wisatawan mancanegara.
Sentimen: neutral (0%)