Sentimen
Undefined (0%)
23 Jul 2025 : 14.46
Informasi Tambahan

Hewan: Anjing

Kasus: korupsi, mafia tanah, Tipikor

Tokoh Terkait

Makin Banyak Anjing Masuk Rumah

23 Jul 2025 : 14.46 Views 24

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Makin Banyak Anjing Masuk Rumah

Lakon teater berbahasa Jawa karya Andy Sri Wahyudi berjudul Mak, Ana Asu Mlebu Ngomah! (2008) saya rasa masih kontekstual dan relevan dengan kondisi rumah kita bersama hari-hari ini. Rumah kita, ya, tak lain dan tak bukan Indonesia tercinta.

Judul lakon itu berangkat dari teriakan seorang bocah kepada ibunya karena rumah mereka kemasukan anjing. Tentu bukan anjing piaraan keluarga itu. Inspirasi naskah itu adalah peristiwa sengketa hak milik tanah yang berakhir dengan kekalahan sang pemilik sesungguhnya.

Sebanyak 25 keluarga yang tinggal di tanah itu harus pergi. Di tanah itu segera dibangun sebuah perumahan. Proses perebutan tanah itu sangat kotor. Banyak intrik dan manipulasi. Pemodal dan elite pemegang otoritas juga bermain ala mafia tanah. 

Warga resah karena setiap hari diteror preman-preman. Dalam buku Sana dan Sini: Ingatan Teater, Masyarakat, dan Seni (Penerbit JBS, September 2024), Andy menjelaskan kasus seperti itu terjadi di banyak daerah. 

Berdasar pemaknaan kasus perebutan tanah oleh pemodal besar itu, ia kemudian tergerak menulis naskah teater. Naskah teater tersebut sebenarnya sebuah pernyataan pribadi tentang kekalahan dan kehilangan. 

Naskah yang dalam versi digital setebal 32 halaman itu tidak mempertontonkan konflik antara pemilik tanah dan pemodal, tentang ketergusuran, secara realis. Naskah itu mengingatkan bahwa setelah kekalahan dan kehilangan hidup terus berlangsung. 

Manusia boleh saja sejenak kehilangan orientasi, tapi tidak boleh mati. Harus terus bergerak. Hidup harus terus dijalani. Naskah teater itu mengisahkan sebuah kampung yang tak dikenal sama sekali.

Di kampung itu tinggal hidup enam orang yang melawan ribuan ekor anjing yang datang berduyun-duyun. Penduduk lainnya telah berubah menjadi anjing. Turut menyerang enam orang yang tersisa itu.

Enam orang itu gagal bertahan. Semua tumpas. Mati diserang rombongan anjing. Walakin, mereka berenam, sebelum mati, berhasil menyelamatkan batu nisan penanda kuburan Mbah Karto. 

Mbah Karto adalah cikal bakal kampung itu. Ia veteran, pejuang yang melawan penjajah Belanda dan Jepang. Ia menurunkan ajaran-ajaran mulia dan kearifan untuk bertahan hidup.

Mbah Karto—walau tinggal berupa batu nisan sebagai lambang keberadaannya—adalah simbol nilai-nilai, cita-cita, energi yang selalu menghidupkan. Enam warga terakhir yang tumpas dalam serangan anjing-anjing adalah lambang warga secara umum.

Anjing-anjing bukanlah sekadar begundal atau preman sewaan pemodal yang hendak membangun perumahan. Anjing juga bukan sekadar elite yang mudah disogok yang bersama pemodal bersatu ala mafia menggusur warga.

Anjing-anjing dalam lakon teater berbahasa Jawa itu adalah simbil tangan-tangan, kekuatan, tindakan dari luar yang merusak, merobohkan, menghapus, dan membasmi kearifan lokal, nilai-nilai kemanusiaan, dan bahkan kebudayaan.

Anjing bisa berupa modal besar—jamak disebut investasi—yang berujung menggusur masyarakat lokal, mencerabut warga dari akar kehidupan dan kebudayaan mereka. 

Anjing juga bisa berupa hukum yang dimanipulasi, tajam ke bawah dan tumpul ke atas, yang bisa dimainkan sekehendak yang berkuasa. 

Anjing juga menjelma dalam wujud kekuatan asing yang entah seperti apa wujudnya, tidak ada yang tahu wujudnya. Kekuasan asing yang secara pasti menghapus semua warisan leluhur dan menyebabkan kehidupan warga terasing dari kesejatian mereka.

Enam orang tokoh itu kalah oleh sistem, tergusur secara geografis, dan kemudian pergi menggenggam akal budi, nalar, cita-cita, kebijakan dan kebajikan, serta keberanian. Itu semua tak pernah tergusur.

Di mana pun mereka hidup, akal budi, nalar, cita-cita, kebijakan dan kebajikan, serta keberanian tetap menjadi pedoman mereka. Perjuangan mereka hingga pungkas mempertahankan batu nisan Mbah Karto adalah laku mempertahankan itu semua.

Kala kita menisbahkan kampung yang tak dikenal sama sekali itu dengan rumah kita bersama, Indonesia tercinta, rasanya mudah mengidentifikasi diri kita sebagai anjing-anjing yang menyerbu kampung dan menumpas penghuninya atau sebagai enam warga terakhir yang mempertahankan batu nisan Mbah Karto.

Anjing-anjing itu kini dalam wujud banyak sekali. Ada yang berwujud manipulasi hukum sehingga seseorang yang tidak terbukti memperkaya diri sendiri, tidak terbukti memiliki mens rea (niat jahat), dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dihukum 4,5 tahun penjara.

Mereka juga menjelma dalam wujud menumpulkan hukum sehingga seorang eks ketua lembaga pemberantas korupsi yang berstatus tersangka penerima gratifikasi pada 22 November 2023 ternyata hingga kini tak kunjung masuk ke ruang pengadilan tindak pidana korupsi.

Anjing-anjing itu juga mewujud impunitas di kalangan aparatur negara. Mereka juga mewujud menjadi buzzer yang dibayar pemodal atau penguasa. Tugas para buzzers adalah berduyun-duyun merisak, merundung, dan meneror siapa saja yang mengkritik penguasa atau kroni-kroni penguasa.

Binatang-binatang itu juga mewujud demokrasi seolah-olah. Demokrasi yang mensyaratkan ketaatan pada aturan bermain, etika politik, dan penghormatan atas hak asasi manusia sekadar menjadi prosedur. Lembaga-lembaga demokrasi ada. Pemilihan umum diselenggarakan.

Sayangnya, substansi demokrasi sengaja ditinggalkan. Aturan main dimanipulasi dan direkayasa—sebagaimana memanipulasi hukum yang makin jamak. Etika dalam berdemokrasi disebut,”Ndhasmu!” Artinya sama sekali dianggap tidak penting, tidak perlu.

Penghormatan atas hak asasi manusia tenggelam oleh gegap gempita politik uang yang sebenarnya bersumber dari keburukan akhlak para politikus dan partai politik. 

Mereka hanya menghendaki suara atau dukungan sebanyak-banyaknya tanpa mau bekerja keras mengenali dan bergaul dengan konstituen atau rakyat.

Ketika politik uang makin mahal, penyelesaiannya bukan kembali pada etika dan moral, tapi mengerahkan lagi anjing-anjing yang menggonggong menyalahkan demokrasi langsung lalu menggiring opini perlu kembali ke demokrasi tak langsung. 

Ujungnya adalah ”membegal” demokrasi dan mematikan kedaulatan rakyat. Ketika kekuatan asing selalu disebut sebagai musuh utama, ternyata perlawanan tak muncul saat bernegosiasi dagang dengan kekuatan asing itu. 

Penurunan tarif resiprokal yang ditetapkan kekuatan asing dari 32% menjadi 19% dinarasikan sebagai ”keberhasilan bernegosiasi”, dinarasikan sebagai ”kemenangan besar”, disebut sebagai ”keuntungan bagi Indonesia”, tanpa penjelasan konkret apa dampak bagi rakyat kebanyakan.

Banyak lagi wujud lainnya anjing-anjing itu dalam konteks Indonesia komtemporer dan rasanya makin sebal ketika harus mengidentifikasi makin banyak wujud anjing-anjing yang menyerbu rumah kita itu.

Tantangan terbesar saat ini adalah pilihan membiarkan diri berubah menjadi bagian anjing-anjing penyerbu rumah itu atau bertahan melawan dan memegang nilai-nilai, akal budi, nalar, cita-cita, kebijakan dan kebajikan, serta keberanian sebagaimana enam warga di kampung yang mempertahankan batu nisan Mbah Karto itu.

Sampai di sini saya sepakat dengan ucapan seseorang yang berkuasa dan tekenal,”Indonesia tidak gelap. Kau yang gelap!” ”Kau” dalam konteks ini adalah para penguasa, politikus, dan kroni-kroninya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Juli 2025. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)