Sentimen
Informasi Tambahan
Hewan: Ayam, Kambing
Institusi: UGM
Kab/Kota: Boyolali, Yogyakarta
Tokoh Terkait
Dibedah di Boyolali, Buku Ini Ungkap Aneka Makanan Orang Jawa 1.000 Tahun Lalu
Espos.id
Jenis Media: Solopos

Esposin, BOYOLALI -- Lembaga Sigarda atau Sinau Cagar Budaya menggelar bedah buku bertajuk Gastronomi Jawa Kuno di Petirtaan Cabeankunti, Cepogo, Boyolali, Minggu (20/7/2025). Buku karya guru besar Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Timbul Haryono, itu mengungkap banyak jenis makanan orang Jawa satu milenium atau 1.000 tahun lalu.
Buku berjudul Makanan dan Minuman Jawa Kuno Berdasarkan Sumber Tertulis itu dibedah dan ditanggapi oleh filolog dari Sradha Institute, Rendra Agusta. Dalam paparannya, Prof Timbul mengatakan buku tersebut sebenarnya adalah catatan-catatannya saat belajar.
Buku itu bersumber dari beberapa prasasti abad X seperti Prasasti Sima, Prasasti Taji (901 M), Prasasti Panggumulan (902 M), Prasasti Mantyasih I (907 M), Prasasti Rukam (907 M), Prasasti Watukura I 902 M, Prasasti Linggasutan 929 M, Prasasti Sangguran (928 M).
Kemudian Prasasti Gelung-gelung, Prasasti Jeru-jeru (930 M), Prasasti Alasantan (939 M), Pradah Paradah (943 M), hingga kitab kesusastraan Adiparwa Ramayana. Prof Timbul, dalam bukunya, menjelaskan makanan sebagai budaya memiliki tiga fungsi yaitu domestik atau yang dimakan sehari-hari.
Lalu, makanan yang berfungsi sosial untuk merekatkan satu sama lain misalnya mengumpulkan masyarakat dan hajatan. Terakhir, fungsi religius yaitu untuk upacara keagamaan atau sesajen.
Timbul juga menjelaskan ada dua aspek makanan sebagai budaya yaitu aspek behavioral dan transformasional. Aspek behavioral dimulai dari membuat, memakai, dan deposisi atau ditinggalkan untuk generasi berikutnya. Lalu, untuk aspek transformasional ada karena alam dan budaya.
“Makanan dan minuman kebanyakan perpindahan atau perubahannya banyak karena manusia, transformasi budaya. Terkadang, perubahan makanan itu karena ada dua hal yaitu waktu dan tempat. Makanan juga demikian, makanan yang kita konsumsi sekarang itu kelanjutan masa lampau,” jelas Prof Timbul.
Prof Timbul mengatakan salah satu sumber untuk mengulas makanan kuno adalah prasasti upacara sima. Sima adalah sebidang tanah kebun atau sawah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada keraton atau kerajaan. Daerah dibebaskan dari setor pajak karena dinilai berjasa terhadap kerajaan. Penduduknya diberi kebebasan mengelola tanah tersebut.
Dendeng Ikan
Penetapan menjadi daerah sima dihadiri para pejabat kerajaan, pejabat desa, dan desa tetangga. Upacara penetapan dipimpin sang makudu dengan peserta duduk berkelompok mengelilingi sang hyang watu sima. Lalu, ada pula sesaji. Menurut Prof Timbul, di masyarakat Jawa Kuno ada lima panca upakara atau lima macam sesaji.
Kelimanya yaitu dipa atau sentir penerang, dupa atau kemenyan, lepa atau ureh, bau-bauan atau wewangian, dan kembang atau puspa. Kemudian, perlengkapan upacara sima ada beberapa yaitu batu atau sang hyang susuk kulumpang atau sang hyang brahma.
Perlengkapan kedua ada ayam hireng lanang atau ayam jantan warna hitam atau ayam cemani. Ada juga telur, disebut hantiga sekarang menjadi tigan dan ada awu atau abu. Lalu peserta mengucapkan sumpah kutuk kemudian pemberian pasek-pasek atau hadiah berupa kain atau emas dan pemberian sangunira mulih atau uang saku.
Dalam prasasti tersebut disebutkan berbagai makanan yang disajikan dalam upacara sima. Kemudian, di Prasasti Taji dituliskan beberapa hal yaitu jumlah yang dihidangkan ada beras 57 karung, 7 ekor kerbau, 100 ekor ayam, dan makanan serba asin seperti dendeng, ikan kadiwas, gurami, ikan bilunglung, telur, tuak dari bunga cempaka.
Di Prasasti Mantyasih I juga dituliskan berbagai makanan seperti daging celeng, kijang, dan kambing dibuat serbalezat dan berbagai makanan yang dibakar. Lalu dendeng asin, dendeng tarung, udang, telur, sayur, dan sebagainya.
Kemudian di prasasti Panggumulan dan Rukam tertulis semacam daftar jenis-jenis ikan asin serta dendeng ikan. Beberapa yang disebut di dalamnya adalah kakap, udang, serta ketam. Makanan tersebut masih dikonsumsi masyarakat Jawa sampai sekarang.
“Di Kitab Ramayana disebutkan ada aneka warna laketan atau serbalaket tau lengket seperti ketan tape. Lalu, brem, ikan, dan sebagainya,” kata dia.
Bumbu dan Rempah
Prasasti-prasasti yang mencantumkan nama-nama makanan itu dibuat pada abad X, sehingga bisa disimpulkan makanan tersebut telah ada dan menjadi bagian kuliner masyarakat Jawa 1.000 tahun lalu.
Terkait bumbu apakah yang dipakai pada zaman dulu sama dengan sekarang, Prof Timbul mengatakan belum ada bukti tertulis soal hal tersebut. Namun, ia mengatakan jika bumbu yang dimaksud adalah rempah, itu baru dikenal pada zaman VOC atau penjajahan Belanda.
Menurutnya, makanan bertahan hingga sekarang karena berhubungan dengan manusia. Selama dibutuhkan makanan itu akan tetap dikenal manusia.
Sementara itu, filolog Rendra Agusta mengatakan buku karya Prof Timbul secara garis besar membicarakan makanan dan minuman pada abad IX dan X Masehi. Namun, ia mengatakan buku tersebut belum menyebutkan makanan pada abad selanjutnya di masa Jawa Kuno. “Untuk kritikan di buku ini sebatas editorial penulisan, diakritik dan nasal, semisal harusnya huruf diberi titik di atasnya atau seperti apa,” kata dia.
Rendra juga menambahkan makanan Jawa Kuno abad XV-XVII, beberapa di antaranya ada di naskah Merapi Merbabu (MM) dengan fragmen Kidung Surajaya. Kidung tersebut menceritakan soal jamuan untuk tamu. Sebagai contoh fragmen KS 01.016 yaitu Singamada bertamu ke pertapaan.
“Dituliskan untuk siapkanlah buah-buahan dan makanan sepertinya para tamu sudah lapar. Tak lama, Ki Baru segera melaksanakan perintah tersebut, lalu dihidangkanlah permintaan yaitu nasi bakul dan ayam betutu. Nah, ayam betutu ini bukan seperti yang sekarang, itu hanya ayam yang dibakar, seperti ayam bakar sekarang lah,” kata dia.
Sentimen: neutral (0%)