Sentimen
Undefined (0%)
15 Jul 2025 : 13.51
Informasi Tambahan

Institusi: UGM

Tokoh Terkait

Redemokratisasi Negara

15 Jul 2025 : 13.51 Views 23

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Redemokratisasi Negara

Bayangkan sebuah kapal besar bernama "Indonesia" yang telah mengarungi lautan reformasi sejak 1998. Pada awal pelayaran, arah kapal ditentukan oleh kompas bernama demokratisasi dan desentralisasi. 

Harapan masa itu adalah bahwa setiap daerah akan punya kendali atas haluan dan dayungnya sendiri. Setiap daerah memiliki otonomi untuk mengelola sumber daya, menyusun kebijakan, dan menentukan prioritas pembangunan. 

Setelah lebih dari dua dekade, arah pelayaran kapal itu tampaknya telah bergeser. Kompas itu kini mengarah kembali pada pelabuhan lama, sentralisasi kekuasaan.

Desentralisasi yang menjadi salah satu tonggak utama reformasi justru mengalami kemunduran dalam satu dekade terakhir. 

Alih-alih memperkuat kapasitas daerah dan memperluas partisipasi publik, berbagai kebijakan negara justru mengonsolidasikan kembali kekuasaan ke tangan pusat. 

Selama satu dekade terakhir, negara ini memperlihatkan gejala nyata resentralisasi melalui penarikan kembali kewenangan yang dulu diberikan kepada daerah. 

Pemerintah daerah—provinsi, kabupaten/kota, dan desa—lebih sering tampil sebagai pelaksana kebijakan nasional daripada sebagai entitas otonom yang memiliki kedaulatan dalam pengambilan keputusan. 

Resentralisasi kekuasaan tidak datang dengan gegap gempita. Pola hadir perlahan-lahan dan tersembunyi melalui instrumen-instrumen hukum yang disebut sebagai soft law (Mccharty dkk, 2016).   

Peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), dan peraturan menteri (permen) menjadi instrumen utama negara untuk mengatur ulang relasi kekuasaan antara pusat dan daerah. 

Tidak seperti undang-undang yang membutuhkan persetujuan parlemen dan perdebatan publik yang luas, soft law sering kali diterbitkan dengan cepat dan minim partisipasi publik.

Dalam banyak kasus, pendekatan ini menjadi cara negara menghindari konfrontasi politik terbuka sembari memperkuat kontrol dari atas. Sektor sumber daya alam menjadi salah satu medan utama proses resentralisasi ini. 

Alih-alih memperkuat kewenangan daerah seperti yang diharapkan sebelumnya, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah justru menarik kembali kendali atas sektor-sektor sumber daya alam strategis, seperti pertambangan, kehutanan, kelautan, dan perikanan ke tangan pemerintah pusat. 

Dengan dalih efisiensi dan standardisasi kebijakan, daerah kehilangan wewenang untuk menentukan arah pembangunan wilayah. Hal yang sama terjadi dalam konteks transisi energi. 

Regulasi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan semuanya mencerminkan pendekatan sentralistik.

Pemerintah daerah kini kerap diposisikan tidak lebih dari sekadar pelaksana administratif dan pemberi legitimasi atas kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. 

Ruang gerak mereka untuk menentukan arah pembangunan di wilayah sendiri menjadi semakin sempit. Kondisi ini semakin mengemuka ketika suatu wilayah ditetapkan sebagai bagian dari proyek strategis nasional (PSN) yang secara otomatis mengharuskan pemerintah daerah tunduk sepenuhnya terhadap arahan pemerintah pusat. 

Dalam konteks tersebut, pemerintah daerah kehilangan kapasitas deliberatif untuk menyampaikan aspirasi, menegosiasikan kepentingan lokal, maupun mempertimbangkan dampak kebijakan secara komprehensif.

Resentralisasi kebijakan ini tidak berjalan sendiri. Proses ini berjalan beriringan dengan penguatan institusi koersif negara. Kejaksaan, Kepolisan Negera Republik Indonesia (Polri), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan peran yang semakin besar dalam memastikan proyek-proyek pembangunan berjalan sesuai rencana pusat. 

Penguatan institusi koersif melalui revisi berbagai undang-undang dilakukan. Pada tahun 2021, revisi Undang-undang Kejaksaan dilakukan dengan sejumlah ketentuan yang menuai kontroversi. 

Beberapa di antaranya mencakup perluasan peran kejaksaan dalam mengawasi ruang media, sebagaimana juga tercermin dalam revisi Undang-undang TNI dan Rancangan Undang-undang Polri, lemahnya mekanisme pengawasan internal terhadap institusi kejaksaan, serta penambahan fungsi intelijen yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan. 

Selain itu, pemberian wewenang kepada jaksa untuk menghentikan perkara atas nama restorative justice (RJ) juga dinilai membuka celah bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Penguatan institusi koersif berlanjut dengan perubahan Undang-undang TNI yang semakin menegaskan kembalinya peran dwifungsi militer dalam kehidupan sipil serta memperluas cakupan kewenangan TNI di luar kerangka pertahanan negara. 

Dalam waktu dekat, pemerintah bersama parlemen mendorong revisi terhadap Undang-undang Polri yang menuai kritik tajam dari berbagai kelompok masyarakat sipil karena dianggap memperluas kekuasaan aparat tanpa disertai mekanisme akuntabilitas yang memadai.

Langkah-langkah ini menunjukkan pola konsisten negara untuk memperkuat institusi koersif sebagai strategi utama dalam memastikan keberlangsungan agenda pembangunan yang sentralistik. 

Dengan mengonsolidasikan kendali atas lembaga penegak hukum dan keamanan, negara memperluas kemampuan untuk mengawasi, menertibkan, bahkan menekan segala bentuk dinamika lokal yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan pembangunan nasional.

Di tengah arus balik desentralisasi menuju resentralisasi, serta dalam bayang-bayang menguatnya kontrol negara atas berbagai aspek kehidupan publik, kita perlu memikirkan ulang gagasan tentang redemokratisasi negara. 

Redemokratisasi berarti merestorasi negara dari alat kuasa menjadi alat dengar, dari penguasa menjadi pelayan. Redemokratisasi negara bukan sekadar soal membuka ruang partisipasi.

Redemokratisasi negara adalah mendesak negara untuk melepaskan cengkeraman otoritarianisme terselubung, menata ulang relasi antara pusat dan daerah, serta membangun kembali institusi-institusi yang berpihak pada kepentingan publik, bukan elite semata.

Redemokratisasi menuntut beberapa langkah penting. Pertama, merevisi berbagai kebijakan sentralistik yang menggerus otonomi daerah serta memperluas ruang bagi partisipasi publik dalam perumusan kebijakan. 

Kedua, memperkuat kapasitas pemerintah daerah agar mampu mengelola wilayah secara efektif dan adil. Ketiga, menata ulang fungsi institusi koersif agar tunduk pada prinsip hak asasi manusia dan supremasi sipil. 

Keempat, memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, selalu melalui proses deliberasi yang demokratis.

Jika langkah-langkah ini tidak segera dilakukan, demokrasi hanya akan menjadi  dekorasi. Demokrasi kita akan terus mengalami penyusutan dan proyek pembangunan hanya akan memperlebar ketimpangan serta konflik sosial. 

Pelayaran kapal besar bernama Indonesia ini akan terus menjauh dari pelabuhan keadilan sosial dan kedaulatan rakyat. Saatnya kita membaca ulang peta reformasi bukan sekadar sebagai dokumen sejarah, tetapi sebagai kompas moral yang pernah menyalakan harapan akan demokrasi, desentralisasi, dan keadilan sosial. 

Dalam dunia yang terus bergerak, ketika negara kian menjauh dari rakyat, kita diingatkan bahwa kekuasaan sejatinya bukan untuk menguasai, tetapi untuk melayani. 

Negara harus kembali menjadi milik rakyat, bukan sekadar atas nama mereka, tapi bersama mereka. Redemokratisasi bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan dan jalan pulang menuju republik yang berpihak, yang mendengar, dan yang membuka ruang bagi semua.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 Juli 2025. Penulis adalah mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada) 

Sentimen: neutral (0%)