Sentimen
Undefined (0%)
14 Jul 2025 : 22.27
Informasi Tambahan

Institusi: Oxford

Kab/Kota: bandung, Solo

Fair Play Ekonomi Mikro di Balik Piala Presiden

14 Jul 2025 : 22.27 Views 21

Espos.id Espos.id Jenis Media: Ekonomi

Fair Play Ekonomi Mikro di Balik Piala Presiden

Esposin, SOLO—Piala Presiden 2025 telah menunjukkan pada kita bahwa turnamen olahraga bukan sekadar hiburan, melainkan juga penggerak ekonomi rakyat. Dalam tiga laga awal saja, misalnya, dari sedikitnya 110 UMKM yang dilibatkan, omzet harian para pedagang yang tercatat, menurut Ketua Steering Committee, Maruarar Sirait, mencapai Rp2 juta–Rp5 juta.

Sekarang, mari kita bayangkan: apabila nilai tersebut dikalikan dengan durasi dan jumlah pertandingan, maka angkanya sangat mungkin menjadi setara dengan pendapatan bulanan mereka yang bekerja di sektor formal. Tidakkah itu angka yang besar?

Pertanyaannya, dari 110 UMKM yang terlibat, bisakah pemerintah mengembangkannya menjadi 200, 300 UMKM, atau bahkan lebih pada masa mendatang? Atau, bisakah lebih banyak event nasional, khususnya olahraga, yang mengintegrasikan UMKM dalam kegiatan mereka sejak dari perencanaan agar hasilnya lebih maksimal?

Lalu, dimulai dari Piala Presiden sebagai inspirasi fair play ekonomi untuk usaha mikro, dapatkan nantinya pelibatan UMKM ini menjadi regulasi? Pun, dari sisi keberlanjutan, bisakah posisi UMKM ini nantinya menjadi bagian integral dalam event-event olahraga nasional maupun internasional-di luar sponsor-supaya efeknya tidak hilang begitu saja begitu pertandingan usai?

Masih mengenai dampak ekonomi Piala Presiden, yang juga menggembirakan, menurut Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dikutip dari Antara, terasa pula hingga sektor perhotelan, transportasi, dan akomodasi. Efek domino turnamen pramusim internasional yang diselenggarakan di Jakarta dan Bandung dengan menghadirkan dua klub luar negeri, Oxford United dan Port FC ini, berhasil membuat hotel-hotel penuh, stadion disewa, serta transportasi hilir-mudik berkat kehadiran wisatawan asing, Nusantara, maupun penduduk lokal.

Ini artinya, bukan hanya 100 keluarga yang mendapatkan penghasilan dan bertahan hidup dari sebuah turnamen, melainkan juga para pekerja formal yang selama ini menghadapi tantangan berat akibat kebijakan efisiensi anggaran negara. Sport tourism—terutama sepak bola—terbukti memiliki daya hidup yang besar, termasuk di dalamnya menghidupkan ekonomi informal.

Jadi, sekali lagi, jika dampak ekonomi sebesar ini bisa muncul dari sebuah event olahraga, kenapa belum ada desain kebijakan nasional yang mengintegrasikan sektor mikro ke dalam perencanaan resmi-bukan hanya menempatkan mereka sebagai tambahan/tempelan? Sebab, jika mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2021, sebenarnya sudah ada kewajiban bagi pemerintah untuk mengalokasikan 30% ruang publik bagi UMKM. Ruang publik yang dimaksud ini adalah stasiun MRT, stasiun kereta, terminal, oelabuhan, jalan tol, rest area, hingga, bandara.

Masih berbasis PP tersebut, bisakah ke depan ruang publik ini tidak hanya dimaknai sebagai ruang fisik, melainkan juga ruang peristiwa-termasuk acara-acara besar yang sudah ditetapkan dalam kalender event nasional: baik itu acara olahraga seperti Piala Presiden, maupun perayaan seni, budaya, keagamaan, teknologi, hingga forum-forum publik? Harapannya tentu saja keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha mikro dapat menjadi lebih konkret-bukan dari seberapa sering mereka diperbolehkan hadir, melainkan dari apakah mereka sudah dirancang sebagai bagian dalam siklus acara tersebut.

Minimal setengah tahun sebelum turnamen berikutnya, kementerian terkait semestinya sudah bisa membangun kolaborasi-sebagai contoh antara Kemenparekraf dengan Kemenkop UKM memiliki database pelaku usaha mikro di seluruh daerah. Data ini bisa dijadikan dasar kurasi dan zonasi UMKM di tiap kota tuan rumah. Koordinasi dengan panitia, pemda, dan kementerian juga harus dirancang sebagai satu-kesatuan sistem, bukan saling tunggu dan berjalan paralel tanpa sinkronisasi.

Pentingnya sistem seperti ini semakin terlihat nyata apabila kita melihat kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional. Catatan Kemenkop UKM menunjukkan bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah menyumbang lebih dari 61,07% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada 2024. Angka ini setara dengan Rp8.573,89 triliun. Bukan jumlah yang kecil.

Masih mengacu catatan Kemen UMKM, jumlah UMKM di Indonesia saat ini diperkirakan juga telah menembus 64,2 juta unit usaha. Sektor ini berhasil menyerap sekitar 97% dari total tenaga kerja di Indonesia, menjadikannya sebagai pilar utama dalam menciptakan lapangan kerja.

Catatan penting lainnya adalah sekitar 64% UMKM dikelola oleh perempuan. Data tersebut menunjukkan bahwa sektor UMKM memberikan peluang yang signifikan bagi wanita untuk berwirausaha. Tantangan yang muncul kemudian adalah meskipun banyak perempuan terlibat dalam UMKM, mereka seringkali menghadapi tantangan tambahan seperti akses pada permodalan dan dukungan jaringan yang lebih terbatas dibandingkan dengan pria. 

Maka, dengan membaca statistik-statistik ini, sudah saatnya ada langkah konkret menempatkan UMKM dalam event-event nasional di Tanah Air. Mari kita jadikan UMKM sebagai inti, bukan hanya sebagai pelengkap. Sebab, turnamen rakyat sudah seharusnya menghidupi ekonomi rakyat juga.

Ketika UMKM diberi tempat dalam sistem, pemerintah sejatinya tidak hanya menumbuhkan ekonomi secara umum, namun juga mengurangi ketimpangan relasi gender yang menjadi persoalan klasik negeri ini. Piala Presiden adalah panggung nasional. Jadi, sudah saatnya panggung ini tidak hanya menampilkan pertunjukan olahraga, melainkan juga pertunjukan strategi kebijakan antarkementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk menyejahterakan rakyat tanpa terkecuali: laki-laki dan perempuan. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sentimen: neutral (0%)