Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Kab/Kota: Solo
Kasus: korupsi
Tokoh Terkait
Politik dan Ruang Keluarga
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Dunia politik Indonesia acapkali dibaca lewat kaca mata ideologi dan institusi. Sebagaimana diungkapkan antropolog Jepang, Saya Sasaki Shiraishi, dalam Pahlawan-Pahlawan Belia (1997), formasi politik juga lahir dari narasi yang dibentuk di ruang domestik: di rumah, dalam keluarga, melalui budaya populer, dan dalam imajinasi sehari-hari.
Politik, dalam hal ini, adalah produk kebudayaan yang menyusup halus dalam keseharian. Shiraishi meneliti anak-anak Indonesia membentuk imajinasi tentang negara, kepemimpinan, dan moralitas politik bukan dari buku hukum atau pidato presiden, tetapi dari cerita-cerita di majalah anak seperti Bobo, Ayah Bunda, bahkan dari iklan susu dan dongeng di televisi.
Saat ini ada dua keluarga politik paling menonjol dalam sejarah kontemporer Indonesia, keluarga Cendana dan keluarga Jokowi. Kedua keluarga itu menyajikan dua pola pembentukan politik yang berbeda, namun dalam banyak hal beririsan.
Dalam bayang-bayang dua klan kekuasaan ini terdapat sebuah keluarga fiktif yang populer, Keluarga Cemara. Keluarga ini justru memberi satire yang lebih tajam tentang politik dan moralitas keluarga Indonesia.
Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto kali pertama diterbitkan sebagai cerita bersambung di majalah Hai pada 1977. Cerita ini kemudian dibukukan dan sangat populer hingga diadaptasi menjadi sinetron pada era 1990-an dan film layar lebar pada 2018 dan 2019.
Keluarga Soeharto, lebih dikenal sebagai keluarga Cendana, adalah simbol politik Orde Baru: paternalistik, hierarkis, dan elitis. Presiden Soeharto tidak hanya menjadi figur dominan di panggung negara, tetapi juga kepala keluarga simbolik Indonesia.
Narasi kekuasaan diselubungi kesan keayahan: tegas tapi penyayang, tertib tapi tenang. Anak-anaknya bukan sekadar individu, tapi perpanjangan tangan kekuasaan.
Shiraishi menyebut figur semacam ini sebagai figur representatif, yaitu tokoh yang membentuk dan memonopoli imajinasi kolektif sebagai perwujudan dari keteraturan dan nasionalisme (Shiraishi, 1997).
Dalam model Cendana, kuasa diwariskan seperti tanah warisan: natural, tak perlu dipertanyakan, dan tak kenal batas usia. Setelah Soeharto tumbang, kita tahu narasi keluarga ini ternyata menyembunyikan praktik otoritarianisme, korupsi, dan kekuasaan yang hanya menyuburkan dirinya sendiri.
Ketika Joko Widodo alias Jokowi muncul sebagai tokoh nasional, dia hadir dengan narasi yang sangat berbeda. Ia bukan jenderal, bukan elite, bukan aristokrat. Dia "anak tukang kayu", figur dari Kota Solo yang mendobrak dominasi politik elite dengan pendekatan kerakyatan dan gaya hidup sederhana.
Narasi ini begitu kuat, hingga Jokowi menjadi simbol meritokrasi-populis Indonesia. Ketika Gibran Rakabuming Raka melesat cepat dalam politik, dari pengusaha martabak ke Wali Kota Solo lalu wakil presiden, banyak yang mulai mempertanyakan apakah kita sedang melihat pola baru atau sebenarnya hanya pola lama yang dibungkus dengan gaya baru.
Keluarga Jokowi, secara tidak langsung, mulai menunjukkan gejala reproduksi kekuasaan dalam format ”santun dan modern”. Dalam istilah Shiraishi, ini adalah contoh narasi pahlawan muda bisa direproduksi oleh kekuatan hegemonik.
Seorang figur muda seperti Gibran tampil sebagai heroic youth dalam lanskap media sosial, namun tetap berada dalam orbit kuasa ayahnya, lengkap dengan dukungan elite dan keputusan hukum yang memuluskan jalan.
Satire dari Pinggir Jalan
Di antara dua klan kekuasaan ini, Arswendo Atmowiloto pernah memperkenalkan satu keluarga fiktif yang justru lebih mengakar dalam kesadaran publik: Keluarga Cemara.
Dengan tokoh utama Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil, serial ini mengisahkan keluarga miskin di pinggir kota yang hidup dengan kejujuran, kesederhanaan, dan prinsip bahwa "harta yang paling berharga adalah keluarga."
Pada awalnya, keluarga Jokowi tampak seperti perwujudan semangat Keluarga Cemara, sederhana, jujur, pekerja keras, dan tidak terikat pada struktur elite. Seiring waktu, dengan ekspansi karier politik anak-anaknya, citra itu mulai terkelupas.
Keluarga Cemara tidak pernah membayangkan anak mencalonkan diri jadi wakil presiden. Abah tidak pernah mendorong Ara menduduki jabatan publik atas nama keluarga. Mereka bukan pemilik kerajaan dagang, bukan pewaris takhta.
”Harta yang paling berharga adalah keluarga” dalam konteks Keluarga Cemara bukanlah slogan politik, tapi perlawanan halus terhadap sistem yang mengukur nilai seseorang dari status sosial dan kuasa yang diturunkan.
Di tengah gemerlap narasi dinasti politik yang dibalut "kerakyatan", Keluarga Cemara adalah satire lembut dan mungkin nostalgia paling jujur tentang apa yang telah hilang dari politik Indonesia: integritas, kesadaran batas, dan rasa cukup.
Shiraishi menekankan pentingnya memperhatikan budaya populer dan ruang domestik menjadi arena pembentukan nilai dan figur politik. Dalam masyarakat seperti Indonesia, tempat relasi kekuasaan kerap direduksi menjadi relasi keluarga, maka keluarga tidak lagi menjadi tempat netral.
Keluarga menjadi sekolah politik pertama, tempat anak-anak belajar siapa yang boleh berkuasa, siapa yang pantas dihormati, dan siapa yang ”ditakdirkan” memimpin.
Pada masa Orde Baru, ruang ini diisi oleh figur ayah negara dan ketertiban. Pada era sekarang, ruang itu mulai diganti oleh narasi "anak muda" dan "aksesibilitas."
Pertanyaannya tetap: apakah semua itu lahir dari proses politik yang demokratis atau justru dari narasi yang dibentuk dengan sangat cermat oleh keluarga dan institusi kuasa?
Jika kita ingin membangun demokrasi yang sehat, kita harus berani membongkar mitos bahwa kuasa bisa diwariskan begitu saja. Kita harus belajar dari Keluarga Cemara, bukan karena mereka miskin, tapi karena mereka tahu kapan cukup.
Bahwa tidak semua yang bisa diraih harus diraih. Bahwa politik bukan tentang menjaga trah, tapi tentang menjaga kepercayaan. Indonesia sedang berdiri di persimpangan.
Di satu sisi ada romantisme "orang biasa yang berhasil". Di sisi lain ada realitas tentang "orang biasa" itu ternyata punya jalur ekspres yang tak dimiliki orang kebanyakan.
Jika politik hari ini ingin menjadi ruang yang inklusif dan meritokratis, mulailah dengan membangun kembali nilai dalam keluarga. Seperti kata Emak,"Abah tidak harus jadi apa-apa. Yang penting jadi orang yang baik."
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Juli 2025. Penulis adalah peneliti sosial dan praktisi pendidikan kritis serta anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI))
Sentimen: neutral (0%)