Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Rolex
BUMN: Garuda Indonesia
Kab/Kota: Probolinggo
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Kisah Jam Tangan Rolex dan Gerobak
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Wajah-wajah pemain tim nasional sepak bola Indonesia semringah saat berjalan memasuki bus seusai makan siang di rumah pribadi Presiden Prabowo Subianto pada Jumat (6/6/2025) lalu.
Mereka menentang goodie bag. Beberapa lama kemudian salah seorang penggawa Tim Garuda, Justin Hubner, mengunggah video di Instagram Story yang memperlihatkan isi hadiah dari Presiden Prabowo itu.
Pratama Arhan yang duduk bersama Calvin Verdonk di bus menunjukkan kotak hijau yang berisi jam tangan. Itu adalah jam tangan mewah merek Rolex yang diperkirakan jenis GMT Master-II 40 mm.
Banyak media menginformasikan jam tangan dengan bezel hitam dan hijau tersebut senilai ratusan juta rupiah per unit. Otoritas di Istana Kepresidenan menyebut bonus itu dibeli bukan dengan uang negara, tetapi dengan uang pribadi Presiden Prabowo Subianto.
Banyak pihak menyimpulkan hadiah itu diberikan atas keberhasilan Tim Garuda menembus ronde keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia setelah menekuk China dengan skor 1-0 di Gelora Bung Karno (GBK) sehari sebelumnya.
Saat mengetahui peristiwa itu saya menduga jagat maya, media online maupun media sosial, bakal ramai dipenuhi pembahasan tentang jam tangan Rolex pemberian Presiden Prabowo.
Semua hal terkait tim nasional sepak bola memang selalu ramai dibicarakan, baik tentang pemain, hasil pertandingan yang minor, kemenangan, PSSI, maupun tentang lainnya. Terlebih, yang mengemuka adalah peristiwa sensitif seperti pemberian jam tangan Rolex ini.
Bagi fans berat Jay Idzes dan kawan-kawan, melihat pemberian jam tangan Rolex adalah bentuk apresiasi yang wajar. Tim nasional Indonesia telah menorehkan sejarah lolos ke putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia.
Indonesia negara pertama di Asia Tenggara yang mencapai fase itu dan masih berpeluang lolos ke putaran final. Saya sebenarnya juga penggemar tim nasional Indonesia, namun saya melihat peristiwa pemberian jam Rolex untuk Tim Garuda ini menunjukkan pemerintah kurang sensitif.
Tak mengherankan banyak pihak yang menyuarakan kegelisahan mereka. Bukan tidak mungkin banyak atlet cabang olahraga lain yang berprestasi teriris-iris hatinya melihat jam tangan Rolex itu.
Barangkali itu yang dirasakan sejumlah atlet muda wushu yang mendadak dipulangkan melalui meeting secara online setelah mengikuti pelatihan nasional (pelatnas) selama delapan bulan dengan dalih efisiensi anggaran.
Setelah mengorbankan waktu dan pendidikan demi negara, alih-alih jam Rolex, justru pemulangan yang mereka dapatkan. Kecintaan masyarakat terhadap sepak bola memang sangat besar.
Popularitas inilah yang menjadikan sepak bola sering kali dijadikan panggung oleh pihak-pihak tertentu, tak terkecuali yang bernuansa politik. Apresiasi seharusnya diberikan secara adil dan proporsional, tidak berdasarkan popularitas cabang olahraga atau seberapa besar eksposur pemberitaan media terhadap suatu pertandingan.
Faktanya, banyak atlet daerah yang merasakan minimnya apresiasi sehingga memilih membela daerah lain dalam ajang kejuaraan tingkat regional, bahkan nasional. Ada pula kisah miris atlet yang harus berlatih dengan fasilitas minim, mencari dana sendiri untuk ikut kejuaraan, atau berpindah kewarganegaraan karena merasa tidak dihargai.
Ada atlet yang berprestasi internasional tetapi kedatangannya di tanah air hanya disambut keluarga. Pemerintah daerah atau pusat entah tahu atau tidak ada atlet yang telah mengharumkan nama bangsa.
Mereka adalah duta bangsa. Mereka mewakili Indonesia di pentas dunia dan mengangkat harga diri negara. Itu seperti yang dialami Dimas Lukito Wardhana, 23, atlet muaythai asal Probolinggo, Jawa Timur, sang peraih medali medali emas Asian Muaythai Championship 2025 di Thai Nguyen, Vietnam, Juni lalu.
Saat menuju ke rumahnya selepas tiba di tanah air, Dimas yang berkalung medali emas hanya diangkut menggunakan gerobak yang digandeng sepeda motor. Meski begitu, dia tetap bangga membawa bendera kebangsaan merah putih.
Sejumlah warga mengiringi dari belakang dengan mengendarai sepeda motor, membentuk konvoi kecil-kecilan mengelilingi desa. Video yang merekam peristiwa itu viral di media sosial. ”Ga dapet Rolex ya?” begitu komentar salah satu warganet di akun Instagram yang mengunggah video itu.
Sering juga para atlet berprestasi hanya bisa menelan kekecewaan karena menjadi korban janji-janji. Alih-alih diberi jam tangan Rolex, bonus yang dijanjikan justru tak kunjung cair. Mereka jarang ada yang berani mengungkap karena khawatir mendapatkan dampak buruk untuk karier olahraga.
Satu yang berani speak up adalah Yulianto, atlet hapkido Aceh. Atlet PON XXI Aceh-Sumatra Utara itu mengaku bonus Rp500 juta yang dijanjikan diberikan jika Aceh berada di peringkat ke-10 besar perolehan medali hingga kini tak ada kejelasan kapan cairnya.
Yulianto dan rekan-rekannya sukses membawa Aceh berada di peringkat enam besar. Apresiasi yang timpang memang menjadi fenomena biasa di negeri ini. Bukan semata-mata di dunia olahraga, tetapi di berbagai sektor.
Jamak terdengar kabar ada orang yang memiliki karya di negeri sendiri, entah penemu atau peneliti, tetapi kurang mendapat apresiasi. Mereka memilih mengembangkan karya di negeri orang.
Ironisnya, mereka merasa lebih dihargai di negara lain daripada di tanah air sendiri. Fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah bahwa sistem penghargaan kita perlu pembenahan serius.
Masalah utama terletak pada belum adanya kebijakan baku yang berlaku secara nasional mengenai penghargaan bagi atlet atau tokoh apapun yang berprestasi. Pemberian hadiah terkesan bergantung pada bagaimana respons publik dan seberapa besar eksposur media.
Sejauh ini belum ada sistem penghargaan yang terukur dan berlaku lintas bidang. Mestinya pemangku kepentingan merumuskan sistem penghargaan berbasis prestasi, bukan popularitas.
Pemberian apresiasi kepada atlet seharusnya menjadi bentuk nyata penghargaan negara atas kerja keras, dedikasi, dan pengorbanan mereka sehingga mereka merasa negara hadir untuk mereka.
Sudah waktunya Indonesia memiliki sistem penghargaan yang adil dan transparan untuk seluruh pihak yang menorehkan prestasi. Apresiasi bisa berupa bonus, fasilitas, pendidikan, pekerjaan, hingga jaminan masa depan.
Semua itu penting untuk menjaga semangat dan loyalitas atlet kepada tanah air. Dalam menata sistem penghargaan, pemerintah daerah juga perlu dilibatkan agar penghargaan tak lagi bergantung pada perhatian pusat.
Pemerintah pusat maupun daerah mesti membangun sistem apresiasi berbasis prestasi, bukan popularitas. Perlu ada kerangka yang jelas dalam pemberian penghargaan berbentuk tertentu sesuai prestasi yang diraih.
Jangan biarkan semangat orang-orang dalam meraih prestasi padam hanya karena negara tak cukup hadir saat mereka berjaya. Jika hal itu terjadi, bukan tidak mungkin menimbulkan kekecewaan yang mendalam, bahkan bisa mengikis nasionalisme.
Fatalnya lagi, ketidakadilan atau ketimpangan dalam apresisasi dapat menghambat regenerasi pencetak prestasi.Apresiasi sejatinya bukan soal besarnya hadiah, tetapi soal keadilan.
Sudah saatnya negara menunjukkan keberpihakan yang adil kepada seluruh atlet, tak peduli seberapa viral cabang olahraga mereka.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 Juli 2025. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)