Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: iKON
Kab/Kota: Semarang
Dari Pewarna Alam hingga Pasar Dunia: Zie Batik dan Jejak Hijau di Semarang
Espos.id
Jenis Media: Jateng

Esposin, SEMARANG – Di tengah derasnya industri tekstil yang menyumbang limbah beracun ke lingkungan, Marheno Jayanto alias Heno mengambil langkah sebaliknya.
Ia memilih jalan yang sulit: memproduksi batik ramah lingkungan dengan pewarna alami, dari tumbuhan yang ia tanam sendiri bersama para petani.
Lelaki berusia 54 tahun itu memang bukan asli Kota Semarang. Ia hijrah dari Jakarta pada 2004 karena resah mendapati kota yang kehilangan identitas batiknya. Dari keprihatinan itu, Heno mendirikan Zie Batik, sebuah usaha sekaligus gerakan sosial dan ekologi.
“Waktu saya datang ke Semarang, batik seperti mati suri. Kota sebesar ini tak punya motif khas. Itu miris,” ujar Heno saat ditemui Espos, Jumat (27/6/2025) sore.
Bersama almarhum istrinya, Heno memulai langkah mimpinya dengan mengajari siswa sekolah membatik. Lambat laun, dia diajak Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang membuka kampung batik di daerah Bubakan.
“Pikiran saya saat itu bagaimana menghidupkan kembali batik Semarang. Para pengrajin batik di Semarang lahir dari pelatihan-pelatihan, nggak ada dari mereka yang menjadi pengusaha batik dari garis keturunan itu nggak ada,” terangnya.
Singkat cerita, setelah sukses membangkitkan gairah membatik di Kota Lumpia. Heno lalu membuat keputusan mendirikan Zie Batik yang fokus ke pewarna alami. Baginya melestarikan budaya tak boleh mengorbankan lingkungan.
“Kami ingin mengembangkan batik yang ramah lingkungan. Jadi sekitar tahun 2010 kita mulai melatih ibu-ibu dan mengajak petani untuk memproduksi bahan warnanya. Kelompok tani ini kita latih serta memberi bibit untuk menghasilkan bahan pewarnanya,” papar Hero.
Di Kampung Malon, Kecamatan Gunungpati, Heno dan para pengrajin setiap bulannya memproduksi sekitar 400 lembar kain batik cap dan 20 lembar batik tulis. Semuanya diproses dengan sabar dengan menggunakan warna dari daun, kulit kayu, dan akar tanaman lokal. Bahkan potongan kecil kain disulap menjadi tas atau aksesori.
Petani yang sebelumnya tidak tahu apa-apa tentang pewarnaan, kini menjadi produsen bahan warna dari tanaman seperti indigo dan jelawe.
“Kami tanam, kami olah, kami pakai sendiri. Bukan hanya mandiri, tapi juga minim limbah,” jelas Heno.
Zie Batik tak hanya dikenal di Kota Semarang maupun Jawa Tengah. Produk-produknya sudah menembus pameran skala nasional seperti Inacraft dan KKI.
Bahkan sempat tampil di forum G20 hingga ke pasar Internasional seperti Jepang, Belanda, dan Singapura.
Semua pencapaian itu dibangun dengan prinsip yang teguh: produksi tak boleh merusak lingkungan. Menurutnya, Zie Batik bukan hanya usaha ekonomi, tapi juga perlawanan diam terhadap eksploitasi lingkungan oleh industri tekstil besar. Dia ingin membuktikan bahwa dari kampung kecil pun, perubahan besar bisa dimulai.
Warisan Budaya yang Menyatu dengan Masa Depan
Motif batik Zie kini tidak lagi sekadar ikon Semarang seperti Lawang Sewu atau Tugu Muda. Mereka juga menyesuaikan dengan pasar anak muda, menciptakan desain yang lebih ringan, kasual, dan ready-to-wear. Namun satu hal yang tak berubah, semua diproses dengan nilai-nilai keberlanjutan.
“Kami ingin batik itu bisa masuk ke lemari anak-anak muda juga. Nggak melulu motif klasik yang terkesan formal buat kondangan,” tandasnya.
Di mata Heno, setiap helai batik adalah narasi. Narasi tentang tanah, tentang tangan-tangan warga yang terampil, tentang warna yang tidak mencemari, dan tentang harapan bahwa usaha bisa tumbuh tanpa harus mencemari lingkungan.
Sentimen: neutral (0%)