Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru, Rezim Orde Lama
Grup Musik: Naif
Institusi: Institut Pertanian Bogor, IPB, ITB, UGM, Universitas Indonesia
Kab/Kota: bandung, Bogor, Boyolali, Washington
Kasus: korupsi
Tokoh Terkait
Cendekiawan Budak Kekuasaan
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Pertautan antara kaum cendekiawan dengan kekuasaan telah menjadi diskursus tersendiri dalam perjalanan sejarah manusia.
Hal ini terjadi lantaran ada pandangan dalam struktur masyarakat betapa watak kaum cendekiawan sungguh berbeda dengan watak kekuasaan.
Kaum cendekiawan menjadi entitas yang dipandang penuh dengan idealisme, menjaga moralitas, mendakwahkan kejujuran dan kebenaran.
Di polar yang lain, kekuasaan sering dipahami sebagai instrumen yang dominatif, korup, hipokrit, represif, dan membaurkan antara kebenaran dan ketidakbenaran, serta antara genuine dengan artifisial.
Gugatan publik terharap muruah kaum cendekiawan akhir-akhir ini seperti dilambungkan ketika Universitas Gadjah Mada terseret ”isu” dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Sebagian kelompok menilai institusi intelektual bergengsi di Indonesia itu telah menikam diri sendiri dengan menyajikan realitas yang tidak didasarkan pada kejujuran dan kebenaran.
Petinggi Universitas Gadjah Mada membuat pernyataan kepada publik yang pada akhirnya menyulut kontroversi. Contoh lain tentang kaum intelektual di panggung kekuasaan yang pada akhirnya membobol muruah cendekiawan adalah Rudi Rubiandini.
Beberapa tahun silam, guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mereguk nikmatnya uang haram saat menjabat Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas dan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Selanjutnya Rohmin Dahuri. Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini tersandung korupsi saat menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong.
Rokhmin dinyatakan terlibat korupsi dana nonbujeter Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kaum intelektual atau kaum cendekiawan pada teritorial kekuasaan tak ayal akan menanggalkan moralitas yang selama ini disandangkan kepadanya.
Ini adalah realitas yang telah dicandra oleh pemikir Prancis, Julien Benda. Begitu cendekiawan memasuki wilayah berbahaya, yakni politik (kekuasaan), sejak saat itu pula dia telah berkhianat.
Pengkhianatan kaum cendekiawan ini menjadi preseden buruk kekuatan moral negeri ini. Terpancungnya tugas mulia mereka sebagai penjaga kejujuran dan kebenaran adalah tragedi moral yang tak terelakkan manakala mereka bergumul kuasa.
Kooptasi kekuasaan pada kaum cendekiawan dengan mendudukkan pada jabatan politik praktis telah berhasil mengubah sosok mereka menjadi ”cendekiawan seolah-olah’’.
Di darahnya mengalir orientasi kepentingan-kepentingan, bukannya ke-diri-an sebagai insan cerdik pandai dengan kemuliaan.
Pada titik ini, cendekiawan sebagai servant of power (budak kekuasaan) telah dimulai dan dengan demikian kecemasan serta sinisme Julien Benda menjadi nyata.
Boleh jadi Julien Benda bersikukuh dengan tetap membangun garis batas yang tegas, diametral, dan terpisah jauh hingga batinnya mengatakan jangan sampai kekuasaan dan cendekiawan itu berpapasan sekalipun.
Walakin, muskil adanya cendekiawan itu sama sekali terpisah dari struktur masyarakat luas dan juga poilitik kekuasaan.
Menara gading tak mampu memfungsikan dirinya sebagai singgasana yang aman bagi kaum intelektual itu agar tidak berpapasan dengan kekuasaan.
Kondisi seperti inilah yang akhirnya memberikan model pengkhianatan, selain keterlibatan langsung cendekiawan dalam pragmatisme politik.
Model itu adalah ”pembiaran’’ oleh kaum cendekiawan dengan menjadi subjek bungkam atas realitas tak baik yang diperagakan kekuasaan.
Pikiran kritis Antonio Gramsci menangkap aroma naif subjek bungkam itu, bahkan analisisnya berkembang dengan menyoal adanya intelektual organik memiliki peran tertentu ketika mereka menyaksikan political decay yang dilakukan kekuasaan.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, kaum intelektual juga tak selalu bisa menjaga integritas moral sebagai agen kebenaran dan kejujuran.
Dalam sebuah film dokumenter berjudul Inside Job, karya sutradara Charles Ferguson, dikisahkan tentang krisis ekonomi tahun 2008 terjadi di Amerika Serikat dan keterkaitan dengan para akademikus Harvard University.
Dalam film itu digambarkan korupsi yang terjadi secara sistematis pada industri jasa keuangan Amerika Serikat dan berbagai konsekuensi yang timbul akibat dari korupsi tersebut.
Film ini berdasar riset sang sutradara dengan penggalian data dari para mahaguru bidang ekonomi Harvard University dengan tujuan mendapatkan insight mendalam mengapa fondasi struktur keuangan negara sebesar Amerika Serikat bisa luluh lantak.
Kajian yang dilakukan Ferguson ini mengungkap betapa kebijakan Presiden Ronald Reagan kala itu yang menerapkan deregulasi memberikan dampak yang kuat.
Bius Melenakan
Kebijakan itu rupanya mengungkit watak tamak korporasi dengan wajah kapitalisme menjadi semakin merajalela, bahkan gambaran konstruksinya menampilkan kolusi kuat antara Wall Street, Washington, dan kaum cendekiawan.
Dalam diskursus itu, kaum akademikus alih-alih memberikan prediksi atau sekadar mendiamkan keadaan ekonomi saat itu, namun malah terlibat dalam gejolak tersebut.
Kebanyakan petinggi di kekuasaan Amerika Serikat dan industri finansial penting dipadati oleh intelektual dari universitas kenamaan tersebut.
Berseberangan dengan Benda yang memberikan pagar tegar bagi cendekiawan dan kekuasaan supaya tidak berkhianat, Karl Mannheim justru memberi peluang cendekiawan untuk melompati pagar menuju politik kekuasaan.
Sosiolog Hungaria itu justru sinis kepada kaum cendekiawan yang hanya bernarasi ideal dengan kerudung sebagai penjaga moral, kebenaran, dan kejujuran, tapi tak terlibat dalam praksis kekuasaan.
Dia melempar tuduhan bahwa kaum cendekiawan yang tidak terjun langsung dalam pragmatisme adalah pengkhianat yang sesungguhnya.
Menurut Mannheim, cendekiawan seperti itu pantas dicap pengkhianat karena hanya bisa menyuarakan kebenaran dari menara gading ilmu.
Di Indonesia, perdebatan hubungan antara cendekiawan dengan kekuasaan ada semenjak nomenklatur bangsa ini adalah Hindia Belanda.
Kita akan memulai diskusi ini dengan mengambil pijakan dari mulai terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni dimulai ketika masa bercokolnya rezim Orde Lama, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.
Sejarawan Peter Kasenda menggambarkan bahwa pada zaman Orde Lama keterlibatan kaum cendekiawan pada kekuasaan sudah terjadi.
Kita bisa dengan jelas menyebut para pemikir semacam Leimena, Ismail Sunny, Emil Salim, dan Soemantri Brojonegoro dalam ring kekuasaan Presiden Soekarno dengan jabatan masing-masing.
Mereka diberi stempel sebagai pelacur intelektual karena telah mengabdi kepada kekuasaan yang dianggap menyimpang.
Kemudian, pada masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, kaum intelektual juga ”menubuh’’ pada kekuasaan.
Sebut saja, misalnya, Ali Wardhana (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia), Tojib Hadiwidjaja (Rektor Institut Pertanian Bogor), dan Soemitro Djojohadikoesoemo (ekonom senior, ayah kandung Presiden Prabowo Subianto) yang tak lepas pula dari sebutan intelektual terkooptasi.
Di Indonesia kontemporer, banyak kaum intelektual yang berselingkuh dengan kekuasaan praktis. Harta dan takhta dalam struktur kekuasaan menjadi bius yang melenakan mereka.
Sekali lagi, akademikus dari perguruan tinggi kenamaan, semacam Universitas Gadjah Mada dengan reputasi nasional dan internasional, tak ayal bertaut dengan problem elementer, yakni kejujuran dan kebenaran.
Kalaulah benar lembaga bergengsi itu menjadi pembela kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo, sungguh telah berkhianat kepada diri sendiri sekaligus memakamkan muruah kaum cendekiawan.
Acapkali memang cendekiawan terbunuh oleh dalilnya sendiri dengan menjadi budak-budak penguasa.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Juni 2025. Penulis adalah Direktur Kultura Digital Media Research dan dosen di Fakultas Komunikasi dan Teknik Informatika Universitas Boyolali)
Sentimen: neutral (0%)