Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Jati, Solo
Gelar Diskusi di Solo, YAPHI dan MPPS Bahas Urgensi Pendidikan Kontekstual
Espos.id
Jenis Media: Solopos

Esposin, SOLO — Yayasan Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia (YAPHI) bersama Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta atau MPPS menyoroti pentingnya pendidikan kontekstual.
Hal itu menjadi materi bahasan dalam diskusi yang berlangsung di kantor YAPHI Kota Solo, Jl Nangka Raya No 5, Kerten, Kecamatan Laweyan, Kota Solo, Senin (23/6/2025).
Pengamat pendidikan sekaligus pegiat Sanggar Anak Jati, Bukik Setiawan, sebagai narasumber, memaparkan inti dari pendidikan kontekstual adalah memberikan pemahaman siswa tentang lingkungan sekitar.
Menurutnya, sistem pendidikan saat ini cenderung berorientasi pada standar, formalitas, dan nilai, yang justru menghasilkan anak-anak berprestasi tinggi namun minim pemahaman diri dan lingkungan tempat tinggal siswa.
"Ini yang masih jadi PR buat kita. Bahkan di Undang-Undang Sisdiknas pun itu tujuan pendidikan nasional kita masih individu. Belum bisa menerjemahkan pembukaan Undang-Undang Dasar tentang mencerdaskan kehidupan bangsa," ujar Bukik, Senin.
Bukik menekankan perlunya berorientasi pada konteks kehidupan atau yang disebut sebagai pendidikan kontekstual. Pendidikan kontekstual ia definisikan sebagai pendidikan yang berakar pada anak dan kehidupannya, tumbuh dari rasa ingin tahu anak, dan dijalani dalam hubungan yang bermakna dengan komunitas, lingkungan, dan tantangan zamannya.
Menurutnya, lima perbedaan mendasar antara pendidikan kontekstual dan pendidikan terstandar atau yang umum ada sekarang. Pertama, terkait kurikulum. Pendidikan terstandar berbasis pada standar nasional yang seragam, sedangkan pendidikan kontekstual berbasis pada konteks lokal seperti budaya, potensi, serta kehidupan sehari-hari siswa dan komunitasnya.
Kedua, peran guru. Menurutnya, dalam pendidikan terstandar, guru adalah pelaksana instruksi pembelajaran yang telah ditetapkan. Sebaliknya, pada pendidikan kontekstual, guru berperan sebagai perancang konteks belajar dan fasilitator penyelidikan siswa terhadap dunianya.
Peluang Penerapan Pendidikan Kontekstual
Ketiga, tujuan pembelajaran. Pendidikan terstandar fokus pada penguasaan kompetensi akademik yang diukur secara terstandar. Adapun pendidikan kontekstual berfokus pada kebermaknaan dan keberdayaan siswa dalam menghadapi tantangan sehari-hari.
Keempat, sistem penilaian. Pendidikan terstandar mengandalkan asesmen sumatif (ujian akhir). Sementara pendidikan kontekstual menekankan asesmen autentik, portofolio, dan penilaian diri yang memandu proses belajar.
Kelima, hubungan sekolah dan masyarakat. Pada pendidikan terstandar, sekolah berdiri terpisah dari kehidupan sosial, dan orang tua hanya sebagai pendukung teknis. “Dalam pendidikan kontekstual, sekolah menjadi bagian dari kehidupan sosial, dengan sekolah, orang tua, dan komunitas sebagai mitra aktif pendidikan,” kata Bukik.
Model pendidikan seperti itu belum terlalu tampak di Indonesia. Hal itu tergambar dengan pelaksanaan sistem pendidikan yang terlalu terpusat. Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 masih bersifat sentralistik, sementara undang-undang pemerintah daerah memberikan kewenangan pengelolaan pendidikan kepada daerah, menimbulkan ketidakcocokan dalam implementasi.
Namun, Bukik melihat ada tiga peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk menerapkan pendidikan kontekstual. Pertama, melalui Projek Profil Pelajar Pancasila (P5) berpotensi untuk dikontekstualkan dengan tantangan dan kesempatan di daerah.
“Pemerintah daerah dapat menetapkan prioritas program yang kemudian menjadi kategori proyek bagi siswa-siswa. Ini akan mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah melalui riset dan inkuiri yang dilakukan oleh siswa,” katanya.
Kemudian melalui mata pelajaran muatan lokal (mulok) dan ekstrakurikuler (ekskul). Menurutnya, pemerintah daerah dapat memfasilitasi antara komunitas dengan sekolah untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai.
Bukik mengajak semua pihak untuk kembali bertanya tentang tujuan sesungguhnya dari pendidikan nasional. Ia mendorong agar pendidikan dimulai dari ruang belajar masing-masing, sehingga tak ada lagi anak yang asing dengan lingkungannya sendiri.
Sentimen: neutral (0%)