Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Institusi: UII
Kab/Kota: Boyolali, Gunung, Karanganyar, Klaten, Mataram, Solo, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, Yogyakarta
Sejarah HUT Pemkot Solo 16 Juni dan Status Abu-abu Daerah Istimewa Surakarta
Espos.id
Jenis Media: Solopos

Esposin, SOLO — Hari Ulang Tahun (HUT) Pemkot Solo ditetapkan diperingati setiap 16 Juni lantaran ada peristiwa sejarah yang mengikuti, yakni berakhirnya kekuasaan Keraton Kasunanan dan Kadipaten Mangkunegaran.
Sebagaimana dikutip dari laman resmi DPRD Solo, disebutkan bahwa secara de facto Pemerintah Daerah Kota Surakarta terbentuk pada tanggal 16 Juni 1946 sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kasunanan dan Mangkunegaran.
Secara yuridis, Kota Surakarta terbentuk berdasarkan Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 16/SD tentang Pemerintah di Daerah Istimewa Soerakarta dan Jogjakarta, yang diumumkan pada 15 Juli 1946. Sebelum klaim penetapan hari jadi tersebut, pascakemerdekaan, Surakarta sempat menjadi Daerah Istimewa meski setelahnya diikuti dengan gejolak.
Sejarawan yang juga kerabat Keraton Solo, KRMT Pustokoningrat Restu Budi Setiawan, mengatakan sebetulnya status Daerah Istimewa Surakarta (DIS) tidak pernah benar-benar dicabut secara hukum.
Terbentuknya DIS
Pria yang akrab disapa Restu itu menjelaskan sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pada 18 Agustus 1945, Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunagoro VIII menyampaikan telegram dan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia, diikuti Maklumat dukungan, berdiri di belakang Republik Indonesia pada 1 September 1945.
Dukungan Sunan Paku Buwono XII ini, bahkan lebih awal dibanding dukungan dua kerajaan di Yogyakarta yang baru mengeluarkan Maklumat pada 5 September 1945. Hal ini disambut dengan Piagam Kedudukan pada 19 Agustus 1945 yang menetapkan Surakarta sebagai Daerah Istimewa, statusnya sama dengan Yogyakarta.
"Intinya adalah menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini menjadi delapan provinsi dan dua daerah istimewa yaitu Surakarta dan Yogyakarta," katanya kepada Espos, Minggu (15/6/2025).
Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran yang merupakan pecagan Kerajaan Mataram Islam itu sudah eksis di Surakarta sejak masa Pemerintahan Hindia-Belanda yang menjajah selama ratusan tahun. Hingga proklamasi kemerdekaan, kedua entitas pemerintahan itu masih menyatakan kekuasaannya sambil bergabung dengan Republik Indonesia.
Sedangkan pembagian kekuasaan DIS meliputi Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, dan Sragen, di bawah kendali Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan Karanganyar, Wonogiri, serta Kota Mangkunegaran di bawah kendali Kadipaten Mangkunegaran.
Gerakan Antiswapraja
Status istimewa untuk wilayah Surakarta tidak berjalan mulus. Selang beberapa waktu, terjadi gejolak penolakan yang dimotori kaum muda dan intelektual. Mereka memunculkan gerakan antiswapraja.
Restu meluruskan bahwa gerakan yang muncul bukanlah "antiswapraja" atau antikerajaan, melainkan "antidaerah istimewa". Istilah swapraja menurutnya adalah peninggalan era kolonial. Sedangkan pascakemerdekaan, istilah yang tepat adalah daerah istimewa.
Menurut Restu, gerakan antidaerah istimewa itu didominasi kelompok berhaluan kiri yang tidak menghendaki adanya pemerintahan bersifat istimewa di Surakarta.
Gejolak ini memuncak menjadi pemberontakan yang menyasar pusat pemerintahan eksekutif DIS saat itu, yakni Kepatihan. Banyak penculikan terjadi yang menyasar pejabat Kepatihan.
"Gerakan antidaerah istimewa itu yang didesak pertama adalah Kepatihan dulu, karena pusat daripada pemerintah daerah istimewa itu ada di Kepatihan," ungkapnya.
Krisis memuncak dengan diculik dan dibunuhnya Pepatih Dalem beserta jajarannya. Puncaknya, PB XII beserta Ibundanya, Permaisuri PB XI, diculik dan dibawa ke Kandang Menjangan, Kartasura.
Di sana, mereka dipaksa untuk menyerahkan kedaulatan kepada Barisan Banteng Merah yang didalangi dr Muwardi. Barisan Banteng Merah merupakan kelompok yang secara tegas menolak DIS.
Pembentukan Direktorium
Situasi politik di Surakarta makin bergejolak dan tidak pasti. Situasinya semakin panas hingga berpotensi terjadi bentrok. Melihat situasi darurat di Surakarta, Presiden Sukarno yang saat itu berkantor di Yogyakarta, turun gunung.
Keluar lah Peraturan Presiden 15 Juli No 16/SD/1946. Menurut Restu, situasi genting itu semakin tergambar melalui nomor surat dengan kode SD yang merupakan kepanjangan dari “Sangat Darurat”.
"Bung Karno sendiri yang kemudian turun tangan ke Solo dan berpidato di Gladak dan mengatakan untuk sementara wilayah Negeri Surakarta diambil alih oleh pemerintah pusat dengan dibentuknya Direktorium Daerah Istimewa Surakarta," jelasnya.
Direktorium ini, yang dipimpin perwakilan pusat dan bangsawan Solo, dibentuk untuk menggantikan peran Kepatihan yang lumpuh, bukan untuk membubarkan DIS. Fakta sejarah ini, menurut Restu, membantah klaim bahwa 16 Juni adalah hari berakhirnya DIS.
"Fakta hukumnya tidak ada produk undang-undang yang menghapuskan daerah istimewa. Fakta sejarahnya di tahun itu Bung Karno membentuk Direktorium Daerah Istimewa Surakarta," tegasnya.
Status Abu-abu
Status DIS memang masih abu-abu. Ini yang membuat perdebatan pro dan kontra terkait DIS yang berlarut-larut hingga kini. Bahkan ada usul terkait pengembalian status istimewa tersebut.
Restu menegaskan PP yang dikeluarkan Soekarno saat itu bukanlah untuk menghapus status istimewa, melainkan untuk mengambil alih pemerintahan sementara oleh pemerintah pusat. Meski begitu, perjalanan direktorium pun tidak mulus dan akhirnya gagal menstabilkan politik. Sebab Surakarta kemudian digabungkan ke dalam Provinsi Jawa Tengah melalui UU Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Tengah.
Namun, Restu mengingatkan kembali tidak pernah ada undang-undang yang secara spesifik mencabut status keistimewaan Surakarta. Ini lah yang membuat statusnya hingga kini dianggap masih "abu-abu" dan terus menyulut wacana pengembalian status DIS.
Ni’matul Huda dalam jurnal ilmiah berjudul Pengakuan Kembali Surakarta Sebagai Daerah Istimewa dalam Perspektif Historis dan Yuridis (2013), yang diterbitkan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, menyebut memang ada cara yang dilakukan untuk mengembalikan status daerah istimewa.
Dia menyebut ada dua jalur hukum yang bisa ditempuh untuk mengembalikan status istimewa Surakarta yakni melalui pemekaran daerah dan pengujian UU No 10 Tahun 1950 di Mahkamah Konstitusi.
“Namun demikian, jika masyarakat menginginkan menempuh melalui jalur pengujian di Mahkamah Konstitusi, harus melibatkan banyak pihak untuk ikut mendukung keinginan tersebut,” katanya sebagaimana dikutip Espos, Minggu (15/6/2025)
Menurutnya, permohonan akan lebih kuat kalau semua pihak, misalnya Keraton Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, masyarakat di Kota Solo, dan daerah-daerah bekas Karesidenan Surakarta juga dilibatkan. Hal serupa juga dilakukan di Yogyakarta.
“Tetapi, jika hanya diajukan oleh kelompok tertentu, sementara masyarakat Surakarta dan pihak-pihak lain justru menolak pengembalian status sebagai daerah istimewa, tentu akan menjadi langkah yang sia-sia,” tutupnya.
Alasan 16 Juni Jadi HUT Pemkot Solo
Perihal alasan 16 Juni ditetapkan sebagai HUT Pemkot Solo dan kaitanya dengan DIS juga pernah disampaikan Ketua Solo Societeit, komunitas pencinta sejarah Solo, Dani Saptoni, saat diwawancarai Espos, pada 2022 lalu.
Dani menjelaskan 16 Juni 1946 bertepatan dengan saat kedudukan DIS sedang ditangguhkan. Dengan status DIS, Solo dikuasai Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo) serta Pura Mangkunegaran.
“Sebenarnya gagasan untuk itu munculnya bukan 16 Juni. Jadi waktu itu Menteri Dalam Negeri di Jogja, Mr Sudarsono, pada 27 Mei 1946 mengangkat Gubernur Suryo menjadi Wakil Pemerintah Daerah di Surakarta,” katanya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah menangguhkan DIS dan menjadikannya kawasan Karesidenan Surakarta karena pertimbangann kondisi dan situasi Kota Solo yang sedang mengalami kekacauan politik dan keamanan.
Pemerintah kemudian menetapkan atau mengesahkan Karesidenan Surakarta secara resmi pada 15 Juli 1946. Namun, Dani melanjutkan situasi berkembang lagi di Solo. Kondisi semakin kacau, terjadi banyak penculikan yang mengganggu stabilitas keamanan.
"Kemudian [pemerintah] mengangkat Kolonel Gatot Subroto menjadi Gubernur Militer 1948. Kota Solo masuk dalam kawasan daerah militer,” paparnya.
Kaitannya dengan alasan kenapa yang dipilih sebagai HUT Pemkot Solo adalah 16 Juni dan bukan 15 Juli, Dani mengatakan ada kemungkinan karena mengambil momentum di mana secara resmi status DIS ditangguhkan oleh pemerintah pusat untuk menjadi kawasan keresidenan.
Sentimen: neutral (0%)