Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Pasar Baru
Kasus: stunting
Pemerataan Daging Kurban, Tingkatkan Konsumsi Protein Hewani Cegah Stunting
Espos.id
Jenis Media: Bisnis

Esposin, JAKARTA – Pemerataan distribusi daging kurban bisa berkontribusi pada penurunan angka stunting di Indonesia.
Hal ini disampaikan oleh Ahli Gizi, Esti Nurwanti, dalam agenda Bincang Hangat Tebar Hewan Kurban (THK) yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa pada Kamis (15/5/2025) di Kantor Berita Antara, Pasar Baru, Jakarta.
Dalam paparannya, Esti menekankan pentingnya asupan protein hewani—khususnya dari daging—dalam mendukung tumbuh kembang anak, terutama bagi ibu hamil dan anak balita guna mencegah risiko stunting.
“Beberapa faktor risiko stunting antara lain tidak terpenuhinya asupan protein hewani, kondisi sanitasi lingkungan yang buruk, dan kurangnya edukasi gizi,” jelas Esti seperti dikutip dari rilis.
Ia menambahkan, pemberian daging kepada ibu hamil dapat secara signifikan menurunkan risiko melahirkan bayi stunting.
“Daging itu penting, bahkan bisa sangat berpengaruh. Dari kacamata ahli gizi, pemberian daging kepada ibu hamil dapat membantu mencegah stunting karena kandungan zat gizinya yang tinggi,” ujarnya.
Esti menjelaskan, daging merupakan salah satu sumber zat besi terbaik selain sayuran, yaitu mengandung sekitar 3 mg zat besi per 100 gram. Selain itu, protein hewani mengandung asam amino esensial dalam jumlah besar, serta makronutrien penting seperti energi, protein berkualitas tinggi, dan asam lemak.
Daging juga kaya akan mikronutrien seperti zat besi, seng, yodium, magnesium, kalsium, serta berbagai vitamin (B, A, dan D) yang berperan dalam proses tumbuh kembang anak.Meski demikian, Esti mengingatkan pentingnya keragaman konsumsi pangan.
“Pola makan yang beragam tetap harus dilakukan karena kandungan zat gizi dalam sumber hewani tidak bisa menggantikan kebutuhan nutrisi dari sumber lain,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Esti juga membedakan antara stunting dan gizi buruk.
“Stunting adalah kondisi kekurangan gizi kronis yang berlangsung dalam jangka panjang, dan ditandai dengan tinggi badan yang tidak sesuai usia. Sementara gizi buruk lebih bersifat akut atau jangka pendek, dan diukur melalui berat badan,” paparnya.
Hingga kini, stunting masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Meski prevalensi stunting menurun dari 24,4% pada tahun 2021 menjadi 21,6% di tahun 2022, pemerintah menargetkan penurunan angka tersebut hingga mencapai 14% pada tahun 2024.
Faktor penyebab masih tingginya angka stunting meliputi kurangnya pemahaman mengenai gizi seimbang, terbatasnya akses terhadap informasi gizi yang akurat, serta pengaruh budaya dan tradisi yang kurang mendukung konsumsi makanan bergizi. Esti menekankan pencegahan jauh lebih efektif daripada pengobatan stunting.
“Data e-PPGBM Agustus 2022 menunjukkan, dengan pemberian makanan tambahan tinggi protein hewani selama 14 hari, 55% balita mengalami peningkatan berat badan sesuai standar. Ini menunjukkan intervensi gizi dapat berdampak besar dalam waktu singkat,” ujarnya. (NA)
Sentimen: neutral (0%)