Sentimen
Negatif (98%)
12 Feb 2025 : 06.30
Tokoh Terkait

Haruskah Sistem Royalti Musik di Indonesia Keluar dari Kebiasaan yang Berlaku secara Internasional?

12 Feb 2025 : 06.30 Views 29

Voi.id Voi.id Jenis Media: News

Haruskah Sistem Royalti Musik di Indonesia Keluar dari Kebiasaan yang Berlaku secara Internasional?

JAKARTA - Permasalahan royalti musik di Indonesia masih menjadi “benang kusut” yang belum juga usai. Perkara hukum yang terjadi antara Ari Bias dengan Agnez Mo jadi salah satu akibat yang muncul.

Khusus untuk royalti dari pertunjukan musik – meski sudah ada Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) sejak 2014 dan beberapa peraturan lain – para penulis lagu dan penyelenggara pertunjukan masih tidak puas dengan kerja-kerja yang dilakukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagai lembaga yang bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti.

Pertanyaan besar pun muncul: “Haruskan sistem pembayaran royalti di Indonesia keluar dari kebiasaan yang berlaku umum secara internasional?”

Seperti diketahui, para penulis lagu yang tergabung dalam Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) jadi yang paling depan menyatakan ketidakpuasannya. Mereka meminta LMKN dan LMK dibubarkan, dan mengusulkan sistem direct license – dimana penyanyi (atau grup) langsung membayarkan royalti kepada penulis lagu.

Di lain sisi, penyelenggara yang dalam prakteknya disebut sebagai Pengguna Hak Cipta – yang berkewajiban membayarkan royalti – dalam beberapa kasus menolak untuk melakukan kewajiban dengan alasan LMKN dan LMK yang tidak transparan.

Dalam hal ini, Candra Darusman selaku perwakilan Pusat Studi Ekosistem Musik (PSEM) menyampaikan pandangannya: “Pendapat yang mengatakan Indonesia tidak perlu mengikuti aturan umum (internasional) dan belok dari aturan/kebiasaan/best practice ternyata menimbulkan insiden. Dan EO (penyelenggara), di luar segelintir yang sudah mendapat sertifikat lisensi LMKN, membela diri dengan mengatakan sistem kurang transparan. Nyatanya laporan pertanggung jawaban LMKN dan LMK tersedia dan mudah diakses.”

Candra juga menyoroti putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengabulkan sebagian gugatan Ari Bias terhadap Agnez Mo. Menurutnya, putusan tersebut menimbulkan kekhawatiran akan muncul efek domino, dimana bermunculan gugatan serupa di mana-mana.

“Anggap saja ulasan diatas adalah template manajerial, walaupun bisa diatur lain dengan perjanjian tertulis. Gejala menggembirakan adalah kita semua - para pencipta, pelaku, penasihat hukum dan organisasi - terus serius mendalami urusan hak dan manajemen. Tidak ada pihak yang memegang kebenaran mutlak karena insiden terus bervariasi sedangkan teknologi berkembang,” kata Candra.

“Semoga kita semua tidak lelah terus menapak, setapak demi setapak melanjutkan upaya pembenahan yang masih berjalan dan perlu waktu, dan tetap saling menghargai. Seseorang yang sedang sakit (‘ekosistem musik’) boleh jadi akan cepat sembuh jika dijejali antibiotik (‘gugatan yang dimenangkan’). Dalam insiden ini antibiotiknya overdosis sehingga daya tahan ekosistem justru akan melemah. Manjur sesaat, lemah kemudian. Padahal industri kreatif tempat bernaungnya ekosistem musik Indonesia saat ini ingin turut berkontribusi pada pembangunan nasional, antara lain dengan menyemarakkan konser musik. Kalau tidak punya daya tahan lantas bagaimana mau berkontribusi jika rapuh di dalamnya.”

Sentimen: negatif (98.4%)