Sentimen
Positif (100%)
3 Feb 2025 : 12.20
Informasi Tambahan

Brand/Merek: KIA

Event: Pilkada Serentak

Kab/Kota: Situbondo

Kasus: korupsi

Partai Terkait

Menekan Biaya Politik: Pelajaran dari Pilkada Situbondo

3 Feb 2025 : 12.20 Views 33

Detik.com Detik.com Jenis Media: News

Menekan Biaya Politik: Pelajaran dari Pilkada Situbondo

Jakarta -

Di sebuah kafe di Kemang, seorang teman yang baru terpilih kembali sebagai bupati mengeluh soal biaya politik. "Tidak sebanyak periode pertama, tapi tetap saja besar, Mas," keluhnya sambil menyeruput kopi.

Mahalnya biaya politik kerap menjadi keluhan klasik setiap pemilu dan pilkada. Banyak yang merasa terbebani dengan tingginya biaya kampanye, logistik, dan aktivitas politik lainnya. Namun, benarkah politik harus selalu menguras kantong? Di Situbondo, sebuah daerah dengan mayoritas masyarakat santri, ada pelajaran berharga tentang bagaimana strategi cerdas dapat mematahkan mahalnya biaya politik tersebut.

Survei Politika Research and Consulting (PRC) pada Juni 2024 menunjukkan bahwa 43% masyarakat Situbondo cenderung mengikuti pilihan politik kiai, yang sering disebut sebagai basis kultural. Masih terdapat 57% pemilih di luar basis kultural tersebut. Data ini menunjukkan bahwa dibutuhkan strategi politik yang dapat membentuk simpul kerelawanan tidak hanya di basis kultural. Tujuannya untuk merangkul semua segmen pemilih yang ada di Kabupaten Situbondo.

Pemilih kultural di Situbondo, misalnya, sangat bergantung pada keputusan kiai atau pilihan kiai. Mereka cenderung taat dan konsisten mengikuti pilihan pemimpin spiritualnya. Kelompok ini sering bergerak dengan politik berbasis kepercayaan, yang kami sebut 'politik spiritual kiai'.

Di sisi lain, pemilih struktural yang merupakan pendukung loyal partai politik tertentu, sudah sejak lama menjadi basis pemilih partai-partai seperti PPP dan PKB. Meskipun sering selaras dengan pemilih kultural, mereka memiliki preferensi berbeda yang perlu pendekatan secara spesifik sesuai dengan dinamika politik dan tradisi partai tersebut.

Selain itu, terdapat pula pemilih intelektual di Situbondo. Walaupun jumlahnya relatif kecil, mereka tetap memiliki pengaruh strategis, misalnya dalam membentuk opini publik, memberikan legitimasi kepada kandidat, menyebarkan narasi positif. Mereka cenderung rasional dan memilih berdasarkan gagasan, visi-misi, dan program kerja kandidat yang dianggap relevan sesuai dengan harapan-harapan mereka.

Sementara itu, pemilih pragmatis adalah kelompok yang berbeda lagi. Mereka cenderung memilih kandidat berdasarkan keuntungan langsung yang mereka terima, seperti uang, bantuan material, atau fasilitas lainnya.

Untuk menciptakan strategi politik yang efektif, memahami karakteristik dan kebutuhan setiap kelompok pemilih adalah hal yang esensial. Tantangan utama adalah mengintegrasikan atau "mengawinkan" kelompok pemilih organik --yang mencakup pemilih intelektual dan pragmatis-- dengan pemilih kultural dan struktural, yang cenderung memiliki nilai-nilai perjuangan yang berbeda.

Dalam konteks ini, pendekatan berbasis kerelawanan menjadi mekanisme penting untuk menjembatani perbedaan nilai dan preferensi tersebut, menciptakan sinergi antarkelompok demi tercapainya tujuan politik bersama.

Strategi Relawan: dari Nilai ke Militansi

Di Situbondo, strategi relawan dihidupkan melalui semangat gotong-royong yang melibatkan semua lapisan masyarakat. Ini sejalan dengan teori volunteerism Wilson dan Musick, yang menjelaskan bahwa relawan bergerak karena nilai (values), kebutuhan pengembangan diri (understanding), dan relasi sosial (social connection). Semangat gotong royong tersebut menjadi landasan yang mengintegrasikan berbagai kelompok pemilih dalam upaya memenangkan kandidat.

Kunci utama keberhasilan strategi relawan ini adalah memanfaatkan kekuatan kelompok kultural sebagai simpul utama. Kelompok kultural memiliki peran sentral dalam menghubungkan masyarakat dari berbagai lapisan sosial. Lebih dari itu, mereka mampu membentuk relawan-relawan militan yang berasal dari segmen masyarakat yang beragam. Para relawan ini tidak hanya menjadi pendukung pasif, tetapi juga bertransformasi menjadi motor penggerak kampanye yang aktif, penuh dedikasi, dan berorientasi pada hasil.

Fenomena menarik muncul ketika masyarakat dari kelompok kultural, struktural, organik dapat bersatu mendukung satu kandidat. Militansi para relawan terlihat dalam aksi nyata, seperti menggalang dana secara mandiri untuk kebutuhan kampanye, hingga mengadakan syukuran atas kemenangan kandidat tanpa bantuan finansial dari tim pemenangan. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan berbasis kerelawanan tidak hanya murah, tetapi juga tulus dan solid, memberikan dasar kuat untuk strategi politik yang efektif.

Hal ini mencerminkan bahwa politik kerelawanan dapat membangkitkan semangat kebersamaan dan kesadaran kolektif yang kuat. Relawan yang berasal dari berbagai latar belakang sosial dan berbagai latar belakang pesantren ini bekerja dengan semangat tinggi untuk memastikan kandidat yang mereka dukung menang, bukan hanya karena janji materi, tetapi karena mereka percaya pada prinsip dan nilai-nilai yang dijunjung oleh calon tersebut.

Lebih jauh, kerelawanan ini membuktikan bahwa politik dapat melampaui janji materi dan pragmatisme. Relawan bekerja dengan semangat tinggi bukan semata-mata karena keuntungan langsung, tetapi karena keyakinan pada nilai-nilai dan prinsip yang dijunjung oleh kandidat yang mereka dukung. Hal ini mencerminkan potensi besar politik kerelawanan dalam membangun semangat kebersamaan dan kesadaran kolektif masyarakat.

Strategi berbasis relawan juga memberikan peluang baru dalam demokrasi, sekaligus membangun demokrasi yang lebih partisipatif dan sehat. Dengan pendekatan yang tepat, biaya politik dapat ditekan tanpa mengurangi kualitas kampanye. Kuncinya adalah memahami peta pemilih dan mengintegrasikan setiap segmen masyarakat dengan strategi yang sesuai.

Kelebihan masyarakat kultural di Situbondo tidak hanya terletak pada militansi mereka saat kampanye, tetapi juga pada peran mereka setelah kandidat terpilih. Tokoh agama seperti kiai memainkan peran penting sebagai penjaga moralitas dan pelaksana kontrol sosial. Ketika pemimpin menyimpang, masyarakat kultural dapat menuntut pertanggungjawaban dengan cara yang efektif, bahkan menumbangkan pemerintahan yang korup atau menyimpang.

Sejarah mencatat peristiwa penting pada 29 Oktober 2008, ketika masyarakat dan santri di Situbondo melakukan aksi blokade massa untuk menuntut Bupati Ismunarso diadili atas dugaan korupsi dana kas kabupaten atau "kasgate". Aksi tersebut mencerminkan keberanian masyarakat kultural bersama pemimpin spiritualnya dalam menegakkan keadilan dan integritas pemerintahan.

Dalam konteks ini, teori demokrasi deliberatif Jurgen Habermas dapat memberikan penjelasan. Habermas menekankan bahwa demokrasi yang sehat memerlukan ruang publik untuk diskusi terbuka dan rasional. Di Situbondo, politik spiritual menciptakan ruang tersebut melalui interaksi antara pemimpin dan masyarakat, di mana tokoh agama berperan sebagai moderator yang memastikan kebijakan yang diambil sesuai dengan prinsip moralitas yang lebih tinggi. Dalam konteks Situbondo, ruang ini tercipta melalui interaksi di pesantren, majelis-majelis salawat, forum keagamaan, dan kegiatan sosial, di mana kia-kiai berperan sebagai penjaga moral.

Militansi masyarakat kultural di Situbondo menjadi motor perubahan yang nyata. Mereka tidak hanya menjadi pendukung kandidat, tetapi juga penjaga moral dan pelaksana kontrol sosial. Fenomena ini mengajarkan bahwa demokrasi tidak selalu tentang uang. Dengan strategi berbasis nilai-nilai lokal dan semangat kerelawanan, Situbondo telah menunjukkan bahwa demokrasi dapat menjadi lebih sehat, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Situbondo mengajarkan kita satu hal: kemenangan bukan soal modal besar, tetapi soal memahami dan menggerakkan hati rakyat.

Nurul Fatta konsultan politik di Politika Research and Consulting (PRC)

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Sentimen: positif (100%)