Sentimen
Negatif (100%)
22 Jan 2025 : 16.02
Informasi Tambahan

Hewan: Gajah

Institusi: UNPAD

Kab/Kota: Tangerang

Partai Terkait
Tokoh Terkait
joko widodo

joko widodo

Mokhammad Najih

Mokhammad Najih

Rano Alfath

Rano Alfath

Suharyanto

Suharyanto

Mencari Otak di Balik Pagar Laut Tangerang

22 Jan 2025 : 16.02 Views 13

Voi.id Voi.id Jenis Media: News

Mencari Otak di Balik Pagar Laut Tangerang

JAKARTA – Kuman diseberang lautan terlihat, gajah dipelupuk mata tidak terlihat. Pribahasa ini mungkin laik ditujukan kepada semua aparatur negara di pemerintah daerah hingga pusat. Wilayah perairan alias laut seharusnya bukan merupakan wilayah private. Nyatanya, di perairan Tangerang justru berdiri pagar laut yang panjangnya tak main-main, mencapai 30,16 kilometer!

Berdasarkan hasil investigasi Ombudsman RI (ORI), pagar laut sepanjang 30,16 km itu berdampak pada 16 desa di 6 kecamatan, termasuk Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Teluknaga. Wilayah ini masuk dalam kawasan pemanfaatan umum yang diatur oleh Perda Nomor 1 Tahun 2023. Kawasan ini meliputi berbagai zona penting seperti zona perikanan tangkap, pelabuhan perikanan, hingga zona pariwisata dan pengelolaan energi.

Fakta itulah yang membuat ORI menginvestigasi dugaan maladministrasi dalam pemagaran laut tersebut. Ketua ORI, Mokhammad Najih mengungkapkan, investigasi dilakukan secara langsung oleh perwakilan Ombudsman Provinsi Banten dengan supervisi dari ORI. Meski membutuhkan waktu, tim investigasi akan mencari tahu siapa pihak yang melakukan maladministrasi.

“Karena masih dalam proses, kami belum bisa menyampaikan tentang adanya dugaan malaadministrasi itu dilakukan oleh pihak siapa. Apakah itu oleh pihak pemerintahan di tingkat daerah, atau oleh kantor kementerian, atau lembaga di tingkat pusat. Kesulitan yang sedang kami hadapi adalah belum adanya kejelasan siapa yang paling bertanggung jawab terhadap pemasangan pagar tersebut,” tutur Najih dalam keterangan pers, Kamis 16 Januari 2025.

Dia menerangkan, berbagai pihak yang diminta keterangan Ombudsman kompak menjawab tidak mengetahui pemasangan pagar itu. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang selama ini dianggap paling bertanggung jawab, juga tidak memberi jawaban lugas.

“Pihak KKP yang sudah dihubungi, dimintai keterangan oleh Ombudsman memberikan penjelasan bahwa kementerian belum pernah menerbitkan izin apapun terkait dengan pemagaran laut. Demikian juga pihak pemerintahan di tingkat daerah, juga masih belum ada yang merasa bahwa ada instansi mana atau pihak mana yang mengajukan perizinan,” imbuhnya.

Ombudsman RI (ORI) datangi pagar laut (Istimewa)

Najih menegaskan, Ombudsman akan tetap menelusuri dugaan maladministrasi dalam kasus pemasangan pagar laut tersebut. “Kami tidak ingin bermain di air keruh, kami ingin melihat lebih jernih siapa yang melakukan maladministrasi. Mudah-mudahan dalam waktu 30 hari ke depan kami sudah memperoleh hasil yang kami harapkan,” tukasnya.

Bersamaan dengan berlangsung investigasi oleh ORI, Najih mendorong seluruh pihak untuk mendukung langkah yang telah dilakukan oleh KKP yang melarang adanya aktivitas apa pun di area pagar laut tersebut. Sebab, hal itu diperlukan agar bisa melihat persoalan dengan lebih jernih, meski pada saat bersamaan Ombudsman menerima keluhan dari masyarakat ihwal hambatan menangkap ikan lantaran harus memutar untuk pergi ke laut.

Hambatan tersebut, lanjut Najih, membuat nelayan mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk melaut. Ombudsman memperkirakan kerugian yang mungkin diderita nelayan sebesar Rp9 miliar akibat pemagaran laut di Tangerang tersebut. Penghitungan kerugian dilakukan dengan memperkirakan kerugian nelayan akibat tambahan jarak untuk melaut. Dengan adanya pagar laut itu, nelayan harus memutar kurang lebih 30 kilometer. Hal itu menyebabkan nelayan menghabiskan tiga liter BBM dari sebelumnya hanya satu liter.

Di sisi lain, ORI juga melihat ada upaya memecah belah masyarakat di tengah polemik pemasangan pagar laut di perairan Tangerang. Pasalnya, di tengah kontroversi yang muncul, ada kelompok masyarakat bernama Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang mengaku sebagai pemasang pagar. Mereka mengklaim pembangunan dilakukan untuk mencegah abrasi dan mengurangi dampak gelombang besar. Koordinator JRP, Sandi Martapraja, mengaku masyarakat sekitar ikut membangun pagar laut tersebut. Tapi, kata Najih, klaim tersebut justru berbeda dengan pengaduan masyarakat sekitar kepada Ombudsman yang mengatakan keberadaan pagar itu justru menimbulkan masalah.

Polisi, Kejagung dan Pemprov Banten Mustahil Tidak Mengetahui Persoalan Pagar Laut

“Kebingungan” Ombudsman inilah yang membuat Wakil Ketua Komisi III DPR, Hinca Panjaitan menyentil aparat penegak hukum berkaitan dengan pagar laut di Tangerang. Politikus dari Fraksi Partai Demokrat ini menilai, seharusnya Polri dan Kejaksaan Agung mengetahui pemagaran tersebut. Dia juga mempertanyakan sikap Direktorat Polisi Air dan Udara Polda Banten yang hingga kini belum memberikan penjelasan terkait pagar laut sepanjang 30,16 kilometer.

“Kepolisian pasti enggak mungkin enggak tau, Polres Tangerang misalnya atau Polda Banten kan gitu kan. Apalagi lokasinya masuk ke dalam ZEE sejauh 12 mil. Zona itu kan masuk ke dalam wilayah atau bidang Polisi Air. Jadi itu kalau bagian dari kejahatan dia harusnya juga tau,” tandasnya.

Hinca menambahkan, Komisi III DPR juga akan menanyakan pada Kejaksaan Agung terkait pemagaran laut mengingat saat Proyek Strategis Nasional (PSN) di PIK 2 diresmikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut didampingi Kejagung.

“Ini harus dikejar, PSN, Proyek Strategis Nasional yang di-launching oleh Presiden Jokowi, waktu itu selalu didampingi oleh Kejaksaan Agung, ya kan? Khususnya Jaksa Agung Muda bidang Datun dan intelijen, jadi dia pastinya tau karena dia masuk proyek strategis yang di PIK 2, itu dikejar juga,” kata dia.

Wakil Ketua Komisi III DPR, Rano Alfath meminta pelaku pemasangan pagar laut di Tangerang ditindak tegas. Pasalnya, pagar laut tersebut bertentangan dengan prinsip penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Selain itu, pagar tersebut dapat memunculkan potensi konflik kepentingan karena daerah tersebut merupakan zona perikanan strategis untuk mata pencaharian warga.

“Hal ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menciptakan ketimpangan dan merusak ekosistem perairan yang menjadi penopang ekonomi rakyat setempat. Jika dibiarkan, hal ini akan berdampak sistemik pada ketahanan ekonomi pesisir di Kabupaten Tangerang,” tukasnya.

Politikus dari Fraksi PKB ini menyatakan bahwa pelaksanaan PSN yang kerap dikaitkan dengan kasus pemagaran laut, bukan menjadi masalah utama. Menurut dia, permasalahan utamanya adalah pelaksanaannya yang kerap melewati aturan. “PSN itu tidak salah, yang salah adalah pelaksananya. Pemerintah pusat dan daerah harus memperhatikan hal ini lebih serius ke depannya. Penting untuk membentuk badan khusus yang bisa menjamin pelaksanaan PSN yang baik dan adil,” tambah Rano.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Ruang Unpad, Maret Priyanta menilai bahwa Pemerintah Provinsi Banten harus lebih aktif dalam menyelesaikan persoalan pagar laut di perairan Tangerang. Pasalnya, Pemprov Banten memiliki kewenangan pengawasan sehingga seharusnya mengetahui tujuan pembangunan pagar laut tersebut.

Dia menjelaskan, berdasarkan Perda 1 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Banten, perairan sepanjang 30,16 kilometer yang dipagar masuk di ruang laut dengan peruntukan sebagai zona perikanan tangkap, zona pelabuhan, dan rencana waduk lepas pantai. Dengan demikian, ketika ada pemagaran, Pemda seyogyanya yang mengetahui terlebih dahulu tujuan pembangunan apakah sesuai aturan RTRW yang sudah dibuat atau tidak.

“Apalagi lokasi pembangunan berada di bawah 12 mil laut yang pengaturan RTRW-nya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka Pemprov Banten seharusnya dapat lebih berperan aktif dalam upaya pengawasan pada wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan wilayah administratif daratnya,” tukas Maret.

Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang, seluruh kegiatan pemanfaatan di ruang laut harus sesuai dan didasarkan pada peruntukan yang sudah diatur oleh RTRW Provinsi Banten dan semua pihak yang melakukan pemanfaatan ruang laut wajib memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

Pagar laut yang terpasang di kawasan pesisir Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten,

“Karena itu langkah KKP dalam melakukan penyegelan terhadap pagar laut tersebut telah tepat, sebab aktivitas itu tidak mengantongi KKPRL. KKP memiliki kewenangan dan tanggung jawab termasuk pengawasan pada seluruh kegiatan yang berada ruang laut, sehingga langkah yang diambil saat ini sudah tepat,” tambah Maret.

Manajer kampanye infratruktur dan tata ruang Walhi, Dwi Sawung menyatakan, jika pagar laut tersebut merupakan struktur awal pembangunan reklamasi maka akan berdampak besar pada lingkungan. Salah satunya, akan mengubah ekosistem di pesisir pantai yang akan rentan tenggelam jika air laut pasang. Selain itu, juga berdampak pada mata pencaharian warga sekitar sebagai nelayan.

“Kami menduga ini untuk reklamasi dari grid pemasangan bambu dan metodenya, mirip sekali dengan proses reklamasi dari arah darat. Ini bukan pemecah ombak karena kalau pemecah ombak bahan baku yang digunakan material lebih padat dan rapat bukan dari bambu,” ungkapnya.

Agung Sedayu Group Bantah Terlibat Pembangunan Pagar Laut

Terpisah, kuasa hukum PSN PIK 2 (Agung Sedayu Group), Muannas Alaidid menegaskan bahwa pihaknya tidak terlibat dalam pemasangan pagar laut di pesisir Tangerang. Dia menyinggung pernyataan Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP, Suharyanto serta Kepala DKP Banten, Eli Susiyanti yang menyebutkan belum ada pihak yang mengajukan izin pemagaran laut, sebagaimana tertera dalam badan berita. Dengan demikian, tidak ada hubungan antara PSN PIK 2 dengan keberadaan pagar laut.

“Tidak ada keterlibatan Agung Sedayu Group dalam pemasangan pagar laut. Kami menegaskan hingga saat ini tidak ada bukti maupun fakta hukum yang mengaitkan Agung Sedayu Group dengan tindakan tersebut,” tegasnya.

Pagar laut Tangerang Diantara 6 Gedung Bertingkat (Ist)

Muannas menerangkan, kawasan komersil PIK 2 dengan kawasan PSN adalah dua wilayah yang berbeda. Menurutnya, kawasan PIK 2 diperoleh melalui izin lokasi dari Pemda dan jual beli dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang, secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan dari pihak manapun.

“PIK 2 juga tidak dapat dilepaskan dari sejarahnya sejak tahun 2011, khususnya terkait pengembangan kawasan di utara Tangerang, ide kota baru sebagai pengembangan wilayah yang sesuai Perda Kabupaten Tangeran No.13 Tahun 2011, bahwa pengembangan kawasan baru di Pantai Utara Tangerang sebagai bentuk penganekaragaman kegiatan selain industri dan permukiman,” jelasnya.

Adapun kawasan PSN yang ditetapkan Presiden RI Joko Widodo, berada di sekitar kawasan komersial PIK 2, yakni pengembangan Green Area dan Eco-City yang dinamai Tropical Coastland. Kawasan PSN di PIK 2 tersebut merupakan hutan mangrove yang dahulu sangat kritis, fungsi lindungnya sudah sangat minim. Karena itu, pemerintah mengusulkan kawasan ini dikembangkan sebagai PSN agar daya dukung lingkungan bisa dimaksimalkan dan bisa berdampak pada ekonomi serta pariwisata skala besar.

Muannas juga menepis tuduhan PSN dan proyek PIK 2 melanggar RTRW atau mengabaikan keberlanjutan lingkungan. Dia memastikan pengembangan proyek tersebut dilakukan dengan pengawasan ketat dari instansi terkait. Sebab, Agung Sedayu Group memiliki komitmen tinggi untuk melibatkan masyarakat lokal dalam setiap tahap pembangunan.

Bahkan, dalam proyek PIK 2 berbagai program CSR perusahaan telah dijalankan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, termasuk nelayan. Muannas memastikan Agung Sedayu Group tidak pernah melakukan tindakan yang menghalangi akses masyarakat, termasuk nelayan, ke sumber daya laut.

Sentimen: negatif (100%)