Sentimen
Negatif (99%)
20 Jan 2025 : 04.53

Tambang Nikel di Pulau Kabaena Ancam Masyarakat Adat dan Ekosistem

20 Jan 2025 : 04.53 Views 27

Rmol.id Rmol.id Jenis Media: Nasional

Tambang Nikel di Pulau Kabaena Ancam Masyarakat Adat dan Ekosistem


Kini, ia kembali menjadi sorotan melalui perusahaannya yang menjadi perhatian berbagai LSM dan organisasi lingkungan di Sulawesi Tenggara (Sultra).

Rina saat ini memiliki saham mayoritas di PT Cahaya Kabaena Nikel (CKN) dengan kepemilikan saham sebesar 98 persen. PT CKN sendiri tercatat memiliki 50 persen saham PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) didirikan oleh tiga sahabat Muhammad Lutfi, Ali Said, dan Amran Yunus, sama-sama beroperasi di Pulau Kabaena, Sultra, yang kaya akan sumber daya mineral. 

Sayangnya, keberhasilan bisnis ini tidak lepas dari kontroversi. Perusahaan tersebut diduga melanggar aturan pengelolaan pulau-pulau kecil, yang seharusnya dilindungi dari aktivitas tambang.

Aktivitas PT CKN dan PT TMS menjadi perhatian serius dari berbagai LSM lingkungan, seperti Satya Bumi dan Walhi Sulawesi Tenggara. Pada 9 September 2024 lalu, kedua organisasi ini merilis laporan berjudul "Bagaimana Demam Nikel Menghancurkan Pulau Kabaena dan Ruang Hidup Suku Bajau" yang mengungkap dampak destruktif dari industri tambang terhadap ekosistem pulau, kesehatan masyarakat, dan kelangsungan hidup tradisional suku Bajau dan Moronene.

Peneliti Satya Bumi, Sayiidatti Hayaa Afra, mencatat sekitar 73 persen, yaitu 650 km persegi dari 891 km persegi total luas Kabaena, telah diserahkan kepada perusahaan tambang. Padahal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No 1/2014) melarang tambang di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km persegi.

Namun, di Kabaena, pelanggaran aturan ini terlihat jelas. Tambang-tambang nikel kini mendominasi pulau, menggusur hutan, mencemari laut, dan mengubah kehidupan masyarakat setempat. Pulau ini, yang seharusnya dilindungi, kini terkepung oleh tambang nikel.

“Pulau kecil mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan masyarakat yang ada di pulau kecil tak punya diversifikasi pendapatan,” kata Hayaa kepada wartawan, Jumat, 17 Januari 2025.

Ia menambahkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011 yang dibuat oleh Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan, mengubah status hutan di Kabaena dari hutan lindung menjadi hutan produksi. Hal ini membuka pintu bagi perusahaan tambang untuk masuk.

Hingga kini, 40 persen dari izin usaha pertambangan yang diterbitkan di pulau ini telah beroperasi, sementara sisanya bakal menyusul. Aktivitas pertambangan ini telah menyebabkan deforestasi besar-besaran.

Data menunjukkan sejak 2001 hingga 2022, sebanyak 3.374 hektar hutan, termasuk 24 hektar hutan lindung, telah habis digunduli. TMS tercatat telah melakukan deforestasi sebesar 295 hektar dalam tiga tahun terakhir. TMS bahkan mengeruk hutan lindung yang menjadi sumber air utama bagi penduduk.

Kerusakan ini tidak hanya memengaruhi daratan, tetapi juga lautan. Sampel air yang diambil dari sungai dan laut di empat titik di Kabaena mengungkapkan kandungan logam berat seperti nikel, kadmium, dan asam sulfat yang melebihi batas aman.

Limbah tambang ini mengalir ke laut, membunuh terumbu karang dan mencemari perairan di sekitar rumah-rumah panggung suku Bajau. Di beberapa desa, air laut yang keruh menyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit serius di kalangan nelayan dan anak-anak.

Ketua Aliansi Keadilan Rakyat (AKAR) Sulawesi Tenggara (Sultra), Agoes Kosangiano, juga pernah mengungkapkan data yang diperolehnya dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan atas Pengelolaan Perizinan Pertambangan Mineral, Batubara, dan Batuan. Data ini menunjukkan bahwa PT TMS memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berlaku hingga 20 tahun di wilayah Kecamatan Kabaena Timur.

Namun, citra satelit menunjukkan adanya aktivitas pertambangan PT TMS di dalam kawasan hutan lindung seluas 147,60 hektar, yang diduga dilakukan tanpa Izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (IPPKH). Tindakan ini dianggap bukan hanya melanggar undang-undang, tetapi juga mengancam kelestarian lingkungan dan ekosistem setempat.

Dampak sosial juga mengancam kehidupan masyarakat sekitar. Hilangnya hutan lindung dan kerusakan lingkungan memengaruhi akses masyarakat pada sumber daya alam, seperti air bersih dan hasil hutan yang biasa dimanfaatkan. 


“Hutan adalah sumber kehidupan masyarakat lokal, dan tindakan eksploitasi tanpa izin ini jelas merampas hak mereka untuk hidup berdampingan dengan alam,” kata Agus.

Sentimen: negatif (99.8%)