Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: BTS
Kab/Kota: Gunung, Hongkong, Joglo, Likupang, Tokyo
Kasus: covid-19
Belajar ‘Gila’ ala Pariwisata Jepang
Espos.id Jenis Media: Lifestyle
Jepang menutup tahun 2024 dengan torehan pariwisata gemilang.
Lebih dari 35 juta wisatawan mancanegara (wisman) berkunjung, mengalahkan angka 33 juta di saat sebelum Covid! Gilè!
Yes. Pariwisata Jepang sudah REBOUND!
Di dunia pariwisata, ada 6 faktor utama dalam mendatangkan wisman:
- Destinasi/Atraksi
- Aksesabilitas
- Amenitas
- Hospitality masyarakat
- Promosi Wisata
- Regulasi Pemerintah
Melihat dari ke-enam faktor diatas, Jepang sudah khatam semua.
Jepang menarik wisman karena kombinasi unik budaya tradisional, keindahan alam, inovasi teknologi, dan pengalaman unik.
Destinasi yang begitu beragam, membuat wisman "bingung" mau memilih yang mana. Budaya Tradisional yang unik dengan ribuan kuil dan tempat suci, festival tradisional, budaya berendam onsen, lalu keindahan alam termasuk melihat bunga sakura dan gunung Fuji, semua memberikan pengalaman otentik.
Belum lagi destinasi moderen menawarkan pusat perbelanjaan macam Ginza yang bikin wisman betah spending banyak atau hanya sekedar jalan-jalan. Plus budaya pop culture macam anime dan manga yang masih sangat disukai milenial dan gen Z!.
Diatas itu semua, salah satu penopang utama pariwisata di Jepang adalah kulinernya. Sushi, sashimi, ramen dan tempura sudah begitu mendunia. Belum lagi street food macam takoyaki, okonomiyaki, mochi hingga sake.
Semua melengkapi amenitas (akomodasi) dan konektivitas yang super lengkap dan beragam. Selain ribuan hotel kelas melati hingga bintang 5, banyak wisman yang rela menghabiskan waktunya di kampung bahkan rumah penduduk, demi merasakan budaya lokal Jepang.
Kurang apa lagi? Opsi melimpah, konektivitas mudah, masyarakat ramah, kebersihan bikin betah, keamanan tak terbantah.
Tak heran, kini Jepang menjadi pilihan destinasi utama wisman asal Indonesia untuk berlibur. Walaupun di Jepang sendiri wisman terbanyak berasal dari China, Korsel, Taiwan dan Hongkong.
Memang Jepang cukup diuntungkan secara geografis letaknya karena dari negara-negara tersebut hanya butuh waktu penerbangan di bawah 5 jam. Artinya, maskapai cukup menggunakan pesawat berbadan kecil saja untuk dapat mengangkut para wisman dari negara-negara tersebut.
Semua hal di atas, tentu saja tidak terjadi dalam sekejap.
Hadirnya pemerintah dalam mendukung ekosistem pariwisata memang benar-benar dirasakan. Dari mulai promosi yang luar biasa, hingga Kemudahan visa untuk beberapa negara dan bebas visa bagi wisman Asia Tenggara.
Semua itu melengkapi value mendasar di masyarakat Jepang: budaya omotenashi!. Yaitu budaya pelayanan yang ramah dan penuh perhatian.
Semua di atas itulah yang disebut sebagai competitive advantage atau keunggulan kompetitif dibanding negara kompetitornya dalam berkompetisi memperebutkan wisman.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari Reboundnya pariwisata Jepang? Mengingat Indonesia sendiri masih belum sampai di angka 70% rebound-nya sejak sebelum Covid.
Secara destinasi dan atraksi, Indonesia jelas tidak kalah banyak dari Jepang. Bedanya, di Jepang itu monokultur sementara Indonesia multikultur.
Artinya, kalau di Jepang pemerintahnya cukup fokus kepada satu "genre" kultur, sementara di Indonesia ada banyak kultur yang akan "rebutan" untuk diberi perhatian khusus. Dan itu artinya butuh effort strategi marketing dan pemibiayaan yang lebih pula.
Secara amenitaspun Indonesia juga tidak kalah. Hotel yang berlimpah bisa mudah diakses lewat pemesanan online. Catatan untuk perbaikannyadalah standadrisasi homestay dan desa wisata yang mesti didorong pemerintah agar paling tidak kebersihan, kenyamanan dan keamanannya bisa membuat wisman jatuh hati untuk kemudian memberikan review bagus di media sosial.
Di periode Presiden Jokowi kemarin, pemerintah masih fokus di pengembangan 5 Destinasi Super Prioritas (5DSP): Toba, Mandalika, Borobudur, Likupang dan Labuhan Bajo.
Seperti kita tahu, 5DSP artinya membuat 5 kawasan hotel macam Nusa Dua baru, yang mana butuh paling tidak 20-30 tahun untuk bisa berkembang.
Belajar dari pariwisata Jepang, ada baiknya pemerintah Indonesia fokus kepada destinasi lowest hangin fruits atau yang siap petik. Fokus kepada destinasi yang secara ekosistem sudah siap untuk dikunjungi turis. Baik atraksinya, konektivitasnya, akomodasinya, hingga masyarakatnya.
Jawa Barat, Joglo Semar (Jawa Tengah), BTS (Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur) dan Bali/NTB bisa menjadi pilihan fokus pemerintah ditengah keterbatasan anggaran promosi dan beautifikasi infrastruktur dari pemerintah.
(Bicara Bali, sekadar info, satu capaian terbaik Bali sebelum Covid mampu mendatangkan 8,3 juta wisman. Sementara Tokyo di angka 11,9 juta dan Bangkok yang 20,05 juta wisman.)
Hal terakhir, pilih target wisman yang berpotensi besar datang ke Indonesia. Kalau Jepang fokus kepada wisman China, Korsel, Taiwan dan Hongkong, mungkin kita bisa bisa fokus juga untuk mendatangkan ‘wisman sungguhan’ yang banyak banyak datang ke Indonesia: Malaysia, Singapura, Australia dan sang ‘pendatang baru’ wisman asal India.
Apalagi data penerbangan inbound ke Indonesia sudah nyaris pulih seperti sebelum Covid.
Mengapa saya tulis "wisman sungguhan"?, karena memang kita kerap terkecoh dengan data "pelintas batas" asal Timor Leste dan Malaysia, yang datang ke Indonesia sekadar membeli kebutuhan pokok harian. Padahal mereka bukan termasuk kategori wisman yang ingin berwisata.
Semoga 2025 pariwisata Indonesia lebih baik lagi.
Artikel ini merupakan catatan perjalanan Irfan Asy'ari Sudirman Wahid (Ipang Wahid), Staf Khusus Kementerian Koordinator Perekonomian.
Sentimen: neutral (0%)