Sentimen
Undefined (0%)
2 Jan 2025 : 14.35
Informasi Tambahan

Kasus: korupsi

Tokoh Terkait

Losing Grip with Reality

2 Jan 2025 : 14.35 Views 12

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Losing Grip with Reality

Presiden Prabowo Subianto pada awal masa pemerintahannya cukup sering menyatakan perlunya pemerintah berhemat, termasuk dengan mengefisienkan biaya operasional seperti membatasi perjalanan-perjalanan dinas dan pertemuan-pertemuan serta seremoni-seremoni seperti perayaan ulang tahun lembaga. 

Kita tentu perlu bersyukur bahwa presiden sejak awal menyatakan hal ini, apalagi karena program-program pemerintah saat ini memang membutuhkan anggaran yang jauh lebih besar.

Masyarakat juga sedang mengalami sentimen negatif dengan program kontroversial pemerintah seperti kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi sebesar 12% ditambah dengan kondisi harga-harga bahan pokok yang berganti sama sekali, bukan lagi sekadar naik harga.

Kita berharap seruan presiden untuk melakukan penghematan ini bukan sekadar basa-basi politik atau political correctness. Presiden Prabowo kita kenal suka sekali menggunakan istilah “rakyat” atau menyatakan soal kepedulian terhadap rakyat dalam berbagai pidatonya. 

Kita harapkan yang biasa disampaikan itu memang betul mewujud menjadi hal yang nyata. Masalahnya, banyak sekali pejabat yang seakan-akan sudah kehilangan sentuhan dengan kenyataan atau dalam istilah bahasa Inggris losing grip with reality.

Hidup mereka terlalu enak, terlalu mudah, terlalu mulus. segala proses kehidupan mereka seolah-olah seamless  alias lancar tanpa hambatan karena beragam fasilitas yang mereka nikmati dan kekuasaan besar yang mereka miliki. 

Coba lihat pejabat setingkat kepala daerah. Rasanya hampir tak pernah melihat mereka bepergian untuk keperluan dinas tanpa rombongan. 

Mau hadir di suatu acara, yang datang terlebih dahulu biasanya bagian protokoler yang mengecek semua hal yang terkait dengan “kenyamanan” sang kepala daerah. 

Mikrofon alias pelantang suara dicek, tata letak tempat duduk diperiksa, hidangan juga dipelototi. Lantas kalau sang kepala daerah datang, pasti banyak orang yang mengiringi. 

Ada ajudan, ada kepala dinas atau lembaga, bisa jadi kapolres dan dandim setempat juga ikut hadir. Kalau skala acaranya besar, kepala kejaksaan negeri dan ketua pengadilan negeri juga hadir, komplet dengan rombongan “abdi dalem” masing-masing. 

Dalam kondisi seperti ini akan sulit bagi mereka memahami realitas kehidupan di masyarakat. Kepiye rekasane urip sudah sulit mereka bayangkan. Karena itulah, kalau mereka mengeluarkan kebijakan, ya, sulit mengakomodasi kebutuhan masyarakat karena yang ada di masyarakat tidak mereka pahami atau sadari. 

Aktivitas blusukan hanya menjadi bagian tren untuk dipamerkan di media sosial instansi, berbuat seolah-olah “hadir untuk masyarakat.” Apakah dengan blusukan itu mereka lantas mampu betul-betul mendengar dan memahami kebutuhan masyarakat sulit dipastikan. 

Maka dari itulah, jika memang niat penghematan oleh pemerintah ini memang mau digerakkan secara nyata, segala basa-basi protokoler itu bisa menjadi salah satu item awal yang bisa dihapuskan atau setidaknya dikurangi besar-besaran. 

Kenapa seorang kepala daerah tidak cukup hadir di suatu acara hanya dengan nggawa awak alias dirinya sendiri saja? Atau setidaknya dia hadir cukup dengan seorang asisten pribadi atau ajudan untuk membantu mencatat atau merekam pengaduan langsung dari masyarakat atas suatu masalah misalnya, plus personel dokumentasi kegiatan. 

Haruskah kapolres dan dandim atau pimpinan instansi vertikal lainnya hadir dalam acara kepala daerah? Bukankah mereka punya tugas dan tanggung jawab lain di instansi masing-masing? 

Mengurangi basa-basi protokoler ini pasti akan cukup mengurangi anggaran untuk seremoni. Tidak perlu menyiapkan suguhan atau akomodasi khusus yang terlalu banyak. 

Acara bisa dipersingkat, mengefisienkan waktu dan biaya penyelenggaraan. Coba lihat berapa kendaraan pejabat yang datang dan rombongannya. Berapa biaya bahan bakar minyak atau BBM untuk kendaraan-kendaraan itu untuk perjalanan menghadiri acara-acara kepala daerah? 

Belum lagi kalau yang datang adalah pejabat pemerintah pusat. Jangankan menteri atau yang sederajat. Kedatangan pejabat setingkat direktur jenderal atau dirjen saja bisa cukup repot penyambutannya. 

Rombongannya juga banyak, entah yang dibawa dari ibu kota negara, entah rombongan dari pejabat di tingkat daerah yang menyambut. Pating regudug. Berapa biaya penyediaan mobil untuk mengamodasi “rombongan sirkus” ini? Berapa biaya konsumsi mereka, biaya akomodasi seperti penginapan dan sebagainya? 

Di sisi lain, masyarakat juga harus sumbut alias mau berubah. Kalau tak suka dengan segala seremoni dan kehebohan kedatangan pejabat, ya perlakukan mereka dengan sewajarnya. Beri suguhan yang biasa saja, akomodasi yang biasa saja. 

Tidak perlu nyubya-nyubya pejabat  secara berlebihan karena sikap seperti ini juga menjadi awal korupsi. Kalau ada pejabat yang sederhana, seadanya, ya memang seharusnya begitu. Jangan malah dipaido, “Pejabat kok pelit, kok sederhana, emange ora duwe dhuwit?”

Perombakan mentalitas memang harus segera dilakukan kalau budaya hemat dalam pemerintahan ini mau betul-betul diwujudkan. Instruksi dan peraturan harus diiringi dengan pelaksanaan dan keteladanan. 

Beri contoh efisiensi secara nyata. Kalau pergi tak perlu heboh, kalau datang tak usah bawa rombongan dan minta diperlakukan istimewa. Biyasa mawon. Mau? 

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 31 Desember 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)