Sentimen
Undefined (0%)
31 Des 2024 : 19.43
Informasi Tambahan

Institusi: Oxford, Oxford University

Kab/Kota: Ngawi

Kasus: covid-19

Anak Muda di ”Rimba Raya” Media Sosial

31 Des 2024 : 19.43 Views 10

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Anak Muda di ”Rimba Raya” Media Sosial

Ruang tengah di rumah peninggalan nenek saya yang berada di Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur, selalu ramai tiap liburan panjang, seperti saat libur menjelang tahun baru, libur panjang sekolah, maupun perayaan Lebaran.

Anak dan cucu dari berbagai daerah berkumpul untuk saling melepas rindu. Dulu, pertemuan keluarga besar ini selalu diisi dengan riang tawa. Ada yang saling bertukar informasi atau bermain bersama karena memang jarang berjumpa. 

Saya masih ingat betul dulu, adik ibu yang merupakan guru sekolah dasar (SD) senang sekali mendongeng. Dia membacakan cerita yang berbeda tiap selepas Magrib. Saya dan adik-adik berkumpul sambil fokus mendengarkan cerita dia. 

Empat tahun terakhir, ruang pertemuan itu tak lagi hangat. Beberapa anak memang duduk bersama di ruang tamu itu, namun tak ada riang tawa atau cengkerama. 

Anak-anak yang mayoritas masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) itu lebih senang fokus dengan gadget masing-masing. Ada yang menonton konten hiburan di media sosial, ada yang sibuk dengan game online.

Mereka betah hingga berjam-jam melihat konten di media sosial. Biasanya mulai berhenti saat jam makan. Saya perhatikan situasi ini diawali saat pandemi Covid-2019, ketika semua orang harus mengurung diri di rumah. 

Hiburan satu-satunya adalah telepon genggam, namun “kebiasaan baru” di keluarga kami itu terus berlanjut sampai hari ini. Pojok membaca di rumah yang dulu cukup diminati, sekarang tak dilirik lagi. Sepertinya dianggap kurang menarik.

Waktu penggunaan gadget atau screen time yang lama rupanya tak hanya dialami adik-adik sepupu saya yang masih duduk di bangku SD dan SMP tersebut. 

Brain Rot

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut mayoritas anak usia lima tahun ke atas di Indonesia mengakses Internet untuk bermedia sosial dengan screen time berlebihan.

Sebanyak 94,16% anak muda Indonesia berusia 16 tahun hingga 30 tahun pernah mengakses Internet dalam tiga bulan terakhir. Dari kelompok tersebut, mayoritas menggunakan Internet untuk mengakses media sosial (84,37%). 

Salah satu dampak candu gadget yang saat ini menjadi sorotan hingga menjadi Oxford Word of the Year 2024 adalah brain rot. Mengutip Oxford University Press, brain rot didefinisikan sebagai penurunan kondisi mental atau intelektual seseorang. 

Penyebab utama kondisi ini adalah konsumsi materi di media sosial yang berlebihan, terutama konten online yang terlalu receh, bahkan tak bermutu.

Dalam istilah lain, kebiasaan ini disebut dengan short attention span atau rentang perhatian yang pendek. Kondisi ini mengacu pada penurunan kemampuan fokus seseorang pada aktivitas yang membutuhkan konsentrasi lama atau panjang.

Akibatnya seseorang menjadi tidak betah berlama-lama saat membaca buku, membaca artikel atau tulisan panjang, serta tidak tertarik dengan tayangan panjang seperti film. 

Dampak buruk lain yang mengkhawatirkan tentu saja penurunan nalar kritis anak muda sehingga mereka mudah dijejali hal-hal yang kurang produktif. 

Kondisi ini kian menjadi masalah ketika dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk mengambil keuntungan. Sebuah perusahaan besar yang ingin memanfaatkan anak muda pengguna Internet aktif untuk menjual produk.

Politikus juga berpeluang memanfaatkan situasi tersebut untuk mengambil simpati anak muda pada isu-isu tertentu lewat persuasi konten-konten receh yang tidak substansial.

Kondisi demikian ”ideal” untuk mencari dukungan atau menyebarkan misinformasi tentang kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, termasuk mendulang suara saat pemilihan kepala daerah beberapa pekan lalu. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melaporkan pada 2020 pemerintah pusat mengeluarkan anggaran belanja untuk influencer mencapai Rp90,45 miliar. Para influencer ini dibayar untuk melakukan sosialisasi program-program pemerintah. 

Influencer tentu bertugas mendukung semua kebijakan pemerintah. Selalu ada perang opini di media sosial tentang kebijakan pemerintah, bahkan yang tidak pro rakyat. 

Termasuk soal kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 12% yang mulai berlaku 2025 mendatang. Hal itu tentu saja membuat anak muda yang minim pengetahuan ikut terbawa arus atau kampanye yang dilakukan para influencer.

Film dokumenter karya Netflix Original, The Social Dilemma (2020), menjelaskan manusia menjadi pion dalam permainan antara media sosial dan pengiklan. 

Film besutan sutradara Jeff Orlowski itu menggambarkan tentang perusahaan media sosial yang bergumul menarik perhatian pengguna hingga pada akhirnya mengubah perilaku pengguna untuk mendukung pengiklan.

Mantan eksekutif di Twitter, Jeff Seibert, dalam film tersebut mengatakan melalui algoritma atas aktivitas dalam jaringan atau daring, media sosial seolah-olah menjadi mata-mata digital para pengguna. Melihat perilaku pengguna dan memprediksi emosi seseroang. 

"Yang saya ingin orang-orang tahu adalah bahwa semua yang mereka lakukan secara online sedang ditonton, sedang dilacak, sedang diukur,” kata Seibert.

Yang paling mengerikan, ancaman terhadap anak muda di ”rimba raya” media sosial ini juga bisa berujung pada kriminalitas yang berupa kekerasan berbasis gender online pada anak hingga menjerat mereka dengan pinjaman online, judi online, dan lainnya.

Situasi ini saya kira menjadi hal serius serta layak mendapat perhatian lebih. Semua pihak harus saling berkolaborasi menjalankan mitigasi.

Dimulai dari lingkungan terkecil di keluarga, lingkungan pendidikan, hingga kebijakan strategis pemerintah untuk melindungi para generasi muda. Strategi counter issue yang lebih positif dan memantik nalar kritis perlu dilakukan secara masif. 

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Desember 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)