Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Event: Hari Ibu
Kab/Kota: Gunung, Paseban, Semarang
Ibu, Spirit Peradaban
Espos.id
Jenis Media: Kolom
![Ibu, Spirit Peradaban](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2022/12/Ucik_Fuadhiyah.jpg?quality=60)
Berbicara tentang perempuan dalam kedudukan sebagai ibu seolah-olah tak pernah ada habisnya. Berbagai pembahasan mengenai peran, posisi, serta persoalan yang melekat pada sosok ibu pada setiap era selalu menjadi isu dan wacana menarik untuk dibicarakan.
Persepsi pembahasan terhadap perempuan selalu akan menyentuh yang kosmis, transendental, atas kodrati. Perempuan dalam peran sebagai ibu memiliki posisi penting tersendiri.
Ketika kita dihadapkan pada tafsir terhadap perempuan, ibu, gadis, dan sebagainya langsung akan menyentuh cita rasa yang khas dan autentik karena berbicara tentang ibu sesungguhnya tak sekadar perihal sosok/figur perempuan yang secara kodrat dia hamil, mengandung, dan kemudian melahirkan anak.
Lebih dari itu, pembahasan ibu juga menyinggung persoalan alam semesta, kesejatian, kehidupan, kematian, dan aspek religiositas yang bersifat spirit. Ibu adalah energi dalam berbagai aspek dan sendi kehidupan.
Dari sudut kebudayaan, menurut para ahli paleoantropologi, dahulu pemujaan pertama Homo sapiens tertuju pada sang perempuan (sosok perempuan). Itulah sebab dalam banyak kebudayaan, bulan, bumi, pohon, gunung, mata air, dan sebagainya diberi jenis keperempuanan yang kemudian muncul istilah atau sebutan ibu bumi atau ibu pertiwi (terra mater/alma mater).
Sebutan-sebutan itu secara tak langsung menjawab naluri dasar manusia yang menghayati perempuan selaku gua garba, bumi subur, yang membuahkan/melahirkan manusia (baca: Y.B. Mangunwijaya, 1994; Sastra dan Religiositas).
Dalam hal kaitan dengan peran perempuan (ibu), Sherry B. Ortner, seorang antropolog terkemuka Amerika Serikat, dalam sebuah makalah berjudul Is Female to Male as Nature is to Culture berpendapat perempuan secara universal tidak pernah bisa setara dengan laki-laki karena ada dikotomi yang berlaku di masyarakat antara perempuan (yang dikaitkan dengan alam) dan laki-laki (yang dikaitkan dengan budaya).
Ortner menyebut perempuan dikaitkan dengan alam karena selain fisiologi dan fungsi reproduksi membuat perempuan lebih dekat dengan alam, juga karena keterlibatan perempuan dalam kegiatan reproduksi ini cenderung membatasi mereka pada fungsi sosial tertentu yang juga dekat dengan alam.
Fungsi sosial tertentu itu seperti menyusui, mengasuh, termasuk sebagai orang pertama yang mengajarkan anak pada usia dini untuk bersosialisasi. Sementara laki-laki dikaitkan dengan alam karena keharusan mencari sarana penciptaan budaya, yaitu teknologi dan simbol-simbol (Ortner 2005: 27-37).
Demikian pula dari sudut pandang agama yang memosisikan perempuan dalam kedudukan sebagai ibu memiliki harkat dan martabat tinggi. Dalam ajaran Islam disebut dalam salah satu hadis bahwa seorang ibu dipandang lebih mulia dibandingkan ayah.
Salah satu hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim mengisahkan seorang laki-laki pernah mendatangi Rasulullah Muhammad SAW lalu bertanya, "Siapa dari kerabatku yang paling harus aku hormati dan berbuat baik?"
Nabi SAW mengatakan, "Ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?" Rasulullah SAW mengatakan, "Ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?" Beliau mengatakan, "Ibumu." Dia bertanya setelahnya, "Kemudian siapa lagi?" Beliau mengatakan, "Ayahmu."
Tiga kali kata ibu disebut Rasulullah SAW sebagai sosok yang harus dihormati sebelum kemudian ayah. Tentu saja konteks ajaran tersebut bukan bermaksud memberikan pesan agar tidak menghormati atau mengabaikan posisi laki-laki sebagai ayah.
Ajaran tersebut menjelaskan bahwa betapa seorang ibu merupakan sosok perempuan yang sangat bernilai secara spiritual, bukan diciptakan sekadar sebagai makhluk yang menarik secara jasmaniah, menempatkan tubuhnya sebagai simbol keindahan, dan objek eksploitasi seksual semata.
Bagaimana peranan gender dalam kehidupan masyarakat Jawa? Apakah sejak dahulu budaya telah memberikan peran atau posisi perempuan di luar kodrat sebagai ibu yang hanya mengandung dan menyusui? Dalam hal ini kita dapat melihat secara tekstual maupun artefaktual.
Data prasasti yang menuliskan kegiatan dan posisi gender di berbagai aspek kehidupan misalnya dengan penyebutan laki-laki maupun perempuan yang menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan, seperti yang dapat dilihat dalam Prasasti Jururian (876 M) dan Prasasti Warinin (1477 M).
Pada prasasti tersebut, antara lain, menuliskan nama-nama pejabat desa dan penguasa daerah, laki-laki maupun perempuan, dan kegiatan dalam bidang sosial, ekonomi, serta kesenian yang juga melibatkan laki-laki dan perempuan.
Adapun data artefaktual, misalnya, dapat kita temukan pada relief-relief candi di Jawa. Banyak relief candi yang menggambarkan adegan-adegan kegiatan laki-laki maupun perempuan baik di lingkungan kerajaan seperti kegiatan paseban, upacara keagamaan, maupun di masyarakat biasa seperti kegiatan bertani, berladang, dan sebagainya.
Saat ini pembahasaan tentang peran gender sangat terbuka dan memosisikan perempuan (ibu) tak sekadar berperan di ruang wilayah domestik, tetapi juga memiliki kapasitas berkiprah di wilayah publik, bahkan banyak perempuan (ibu) yang menjadi tokoh dan berpengaruh di kancah global.
Namun demikian, tidak dapat dimungkiri pengaruh konstruksi budaya patriarki yang melekat kuat melalui tatanan politik dan ekonomi masih memberikan prioritas kekuasaan terhadap laki-laki yang mengakibatkan dominasi laki-laki terhadap perempuan dan pembagian kerja secara seksual (division of labory) masih ada di masyarakat.
Pembagian peran ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap akses kaum perempuan dalam proses pengambilan keputusan di sektor publik (baca: Nastiti, 2016, dalam buku berjudul Perempuan Jawa; Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat)
Realitasnya, era saat ini banyak ibu justru musti mengambil peran ganda. Artinya, dia tak hanya berperan sebagai ibu, tetapi sekaligus sebagai sosok ayah (laki-laki). Bagaimana tidak? Di tengah lompatan peradaban yang serbacepat dan menuntut kemampuan adaptasi terhadap laju perubahan, sosok ibu dihadapkan pada tanggung jawab besar membimbing dan mendidik anak-anaknya.
Peran ibu menjadi sangat krusial dan penuh tantangan ketika dia juga harus sekaligus sebagai tulang punggung keluarga/bekerja/berkarier. Terlebih lagi bagi para ibu yang dia adalah seorang single parent.
Kondisi ini mau tak mau harus membuat ibu memiliki kemampuan peran ganda. Dia adalah seorang ibu yang harus mengasuh, merawat, dan mendidik sekaligus menggantikan peran ayah yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anak-anak (mencari nafkah), menjadi pelindung keluarganya.
Kondisi itu banyak kita temui di tengah masyarakat dewasa ini. Benar kiranya sebuah ungkapan yang mengatakan: ketika seorang laki-laki menikah, dia pasti siap menjadi seorang suami, tapi belum tentu siap menjadi seorang ayah.
Ketika seorang perempuan menikah, artinya dia siap menjadi seorang istri sekaligus siap menjadi seorang ibu. Termasuk jika kenyataan kelak harus berperan ganda, menjadi figur seorang ayah bagi anak-anaknya.
Ibu adalah energi hidup, spirit yang tak pernah habis di segala kondisi. Tentu para pembaca yang budiman boleh satuju atau tidak. Sekian, esai ini adalah renungan pada Hari Ibu 22 Desember 2024, ibu kehidupan dan peradaban.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 Desember 2024. Penulis adalah Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang)
Sentimen: neutral (0%)