Sentimen
Undefined (0%)
28 Des 2024 : 07.30
Informasi Tambahan

Hewan: Bebek

Kab/Kota: Batang, Semarang

Sepasang Sepatu dari Masa Lalu

28 Des 2024 : 07.30 Views 14

Espos.id Espos.id Jenis Media: Lifestyle

Sepasang Sepatu dari Masa Lalu

Ketika sampai halte kusadari bahwa sepatuku lagi-lagi kotor dan berdebu. Sekali lagi aku teringat kepadamu, Bu. Mulai sekarang, kurasa kau tak usah menyikat sol dan memoles sepatu ini lagi. Melihatmu menyeterika celanaku saja sudah cukup menyiksaku.

Memang, mula-mula aku gembira saat kau membersihkan sepatuku dan membantu mengikat dasiku. Namun, kita sama-sama tahu bahwa berkali-kali wawancara kerjaku berakhir sia-sia dan kepulanganku ke rumah tidak membawa kabar gembira, hanya muka kusut yang kemungkinan kian membebanimu. Karena itu, aku merasa tercekik setiap kali kau membersihkan sepatuku. Jadi, sudahlah, Bu.

Kau tahu, kegagalanku kali ini membikin duniaku seperti film bisu: hitam-putih diiringi lagu-lagu pilu. Jabatan kepala gudang dengan minimal ijazah SMA, tetapi perusahaan itu tidak menganggapku sebagai calon yang pas.

Aku ingat betapa aku berdebar-debarnya tadi saat menunggu hasil wawancara. Sementara, calon-calon karyawan lain bercakap-cakap akrab, aku duduk sendiri di bangku pojok dengan kepala menunduk, menatap sepatuku yang saat itu masih berkilat-kilat.

Kita tahu bahwa sepatu ini dibeli bukan untukku. Sepatu ini dibeli karena usangnya sepatu Bapak yang seakan-akan meruntuhkan martabatnya. Solnya tipis, kulitnya terkelupas semua, dan kau resah sampai-sampai menggerutu sepanjang perjalanan mencari sepatu baru.

"Insinyur kok sepatunya kalah sama mandor," keluhmu saat kita di mal.

"Katanya yang penting nyaman," balasku yang saat itu masih SMA.

"Alasan. Memang dasarnya pelit saja," katamu.

Kau bermaksud mengejutkan Bapak. Kau mengira ia akan terkejut sepulangnya dari kantor, keningnya berkerut-kerut saat melihat sepasang sepatu asing teronggok di balik kaki pintu ruang tamu.

Kau tahu, kala itu perkiraanku lain: mula-mula Bapak akan menggempurmu dengan pertanyaan, lalu menuduhmu boros, lalu percekcokan kalian menembus dinding kamarku. Namun, aku tidak merasa waswas. Sebab, aku tahu bahwa amarah kalian surut saat kita bertemu di meja makan dan semua kembali baik-baik saja. Itu karena masakanmu, apa pun itu, adalah obat mujarab pereda konflik.

Seandainya kau hidup pada masa lampau dan memasak untuk pemimpin-pemimpin dunia, kemungkinan perang akan batal. Churchill tidak disiksa depresinya dan Hitler akan memimpin Jerman dengan tersenyum.

Namun, kau mulai mondar-mandir saat malam mulai larut. Kau lalu berdiri di samping bufet dan membuka-buka buku telepon. Kau menelepon semua orang, bicara tersendat-sendat, dan kemudian berakhir di bangku teras, menunggu kepulangan suamimu dengan muka kusut. Akulah yang berganti menelepon orang-orang.

"Bagaimana?" tanyamu saat aku menaruh teh panas untukmu di meja teras.

"Tidak ada yang tahu. Pak Prapto juga belum pulang."

"Mereka pasti keluyuran!" Kau geram, melipatkan tangan di dada.

"Dingin, Bu. Tunggu di dalam saja."

"Kau telepon lagi si Prapto."

"Ditunggu saja. Malu telepon terus!"

Kau terdiam. Bibirmu gemetaran. Bulir-bulir air yang tertahan di pelupuk matamu berkilau karena pijar lampu. Aku duduk dan meremas tanganmu sebagai tanda bahwa semua akan baik-baik saja. Tetapi, kau tetap menatap titik tertentu pada batang pohon mangga di halaman rumah kita.

Sebuah motor bebek menepi di depan pagar. Pak Prapto, si mandor proyek menanggalkan helm, tampak murung dalam sepuhan lampu jalan. Kau tahu, aku tiba-tiba berdebar-debar saat itu. Udara ganjil yang merayapi leherku membisikkan hal buruk. Dan benar saja, kita akhirnya tahu bahwa proyek dilanda musibah, beberapa orang terluka, dan satu-satunya yang tak terselamatkan adalah suamimu.

"Dokter bilang, beliau meninggal saat dalam perjalanan," kata Pak Prapto.

Bukan cuma tidak menangis, kau bahkan tidak bergerak saat kabar itu datang sekalipun aku mengguncang-guncang bahumu dan meneriaki telingamu. Kau seakan-akan tidak di sampingku, tersesat di dunia lain.

Kabar buruk itu selamanya bersemayam di kepala kita, bersarang di sudut-sudut rumah, terapung-apung dalam udara, bercampur dengan oksigen yang memenuhi paru-paru kita pada hari-hari muram berikutnya.

Bapak sepenuhnya pergi. Yang tersisa darinya cuma kesedihan bisu dan duri-duri kenangan yang menusuki dada kita sepanjang waktu. Dan sepatu ini lama sekali teronggok di belakang pintu, seakan-akan menunggu untuk mengejutkan pemilik sejatinya.

Namun, kita sama-sama tahu bahwa orang mati mustahil dikejutkan apa pun, bahkan oleh cinta yang kau curahkan dalam sepatu ini.

Kemarin malam, aku mengintip dari sela-sela pintu kamar. Tangan kurusmu menyikat sol sepatu ini, memolesnya dengan semir hitam sehingga ia berkilau dalam cahaya apa pun, hitam pekat dan sempurna. Jemarimu menghitam. Kau sempat memakainya untuk menyeka kening, menggaruk-garuk kepala, dan menyelipkan helai rambut ke belakang telinga.

Kau sebenarnya kenapa? Ini cuma sepatu yang akan kotor dan berdebu. Mengurusinya sama artinya kau mengurus kaki dekilku yang tak berguna dan kupikir tanganmu terlampau berharga untuk itu.

Kau lelah, Bu. Kau menjahit setumpuk seragam TK sepanjang hari. Bahkan akhirnya kau menggarap wearpack yang katamu pola jahitannya rumit dan upahnya "kurang masuk".

Itu untuk kita, aku mengerti, tetapi aku juga bisa membayangkan betapa pegalnya punggungmu, betapa beratnya berjam-jam teronggok di bangku plastik dengan leher tegang, ditambah lagi mendengarkan deru mesin jahit yang membosankan.

Apakah kau tidak melihat, saat itu aku sudah menyapu kamarmu, merapikan kasurmu, dan menyeka debu di kipas anginmu. Dengan begitu, kau tidak akan bersin-bersin lagi dalam lelapmu. Malam telah larut, Bu, jangan terlalu akrab dengan kesunyian, apalagi menjamunya sedemikian rupa. Letakkanlah semua dan berbaringlah di ranjangmu.

Ah, seandainya semua itu kukatakan, kau pun sepertinya tidak akan menggubrisku.

Kau tahu, sudah lama aku merasa terjebak dalam situasi konyol. Dengan ijazah S1 Ekonomi, aku melamar ke bank-bank swasta, dan perusahaan lain yang sekiranya sesuai ilmuku. Curiculum vitae-ku pendek, tidak ada yang bisa kutulis selain profil singkat dan basa-basi lainnya. Namun, aku mulai mereka-reka setelah berkali-kali gagal, menuliskan sederet organisasi yang tidak pernah sungguh-sungguh kuikuti, kualami.

Bahwa upayaku bukan cuma itu, kita juga sama-sama tahu, bukan. Aku menekuni hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya: kursus brevet, public speaking, memanipulasi gambar di Photoshop, dengan harapan agar aku terlihat lebih pantas di mata perusahaan. Namun, semuanya sia-sia dan aku masih begini-begini saja.

Bus biru menderu-deru dan menepi di halte. Menaikinya, aku beringsut ke sudut paling sunyi di bangku pojok belakang. Sepi sekali. Mungkin karena Senin siang. Yang biasanya berdesak-desakan di dalam bus adalah mereka yang kini sibuk di kantor masing-masing, sementara aku terjebak dalam bongkahan besi tua ini, yang berderak-derak di aspal hitam dan menguarkan bau oli.

Jendela di sampingku bergetar, memantulkan sosok kusut yang tak tahu harus beralasan apalagi kepadamu.

Bus mampir di terminal. Beberapa orang turun, beberapa orang naik, dan langkah mereka berderap-derap. Di kejauhan, warung Cak Gondo sebagian tendanya memayungi trotoar. Aku melihatnya dari jendela dan aku merasa iri kepada orang-orang kantor yang tumpah-ruah di sana, mengenakan seragam beraneka gaya, berbincang-bincang dan tertawa bagai pesta dadakan dalam sengatan terik.

Ingin rasanya seperti mereka, duduk di teras warung dengan kaki tersilang, makan siang bersama rekan kerja, dan merokok sambil membicarakan gosip-gosip kantoran. Andai itu terjadi, aku akan membungkus capcay untukmu, Bu, untuk makan malam di rumah kita.

Upah pertamaku akan kupakai untuk tukang. Kau ingat bukan, genting dapur kita bocor, rembesan air hujan menetes di kompor. Dan aku akan belanja daster untukmu. Dastermu, astaga! Sadarkah kau bahwa lubang ketiaknya menganga lebar sehingga kutang dan perut kendurmu tampak jelas saat kau menyapu halaman rumah. Tetangga bisa melihatnya, Bu, dan akan menggunjingkannya.

Apakah kau kecewa kepadaku? Maksudku, kau selalu menyambut kegagalanku dengan embusan napas panjang. Tidak apa, belum rezekimu, katamu selalu, sambil tersenyum singkat dan menepuk-nepuk bahuku.

Kau lalu menyuruhku makan, menyuruhku istirahat, tetapi aku selalu bertanya-tanya apa sesungguhnya yang kau rasakan. Apakah kau menyembunyikan kekecewaan? Apakah aku mengecewakanmu sebagaimana aku mengecewakan diri sendiri?

Turun dari bus, aku menyusuri gang dengan batang-batang kaki berat. Aku bagai melangkah di tanah berlumpur. Sampai pintu rumah, kutanggalkan sepatu di tengah deru mesin jahit yang samar-samar.

Kau duduk di bangku plastik dan gunungan seragam membenamkan kaki kirimu. Segelas teh panas tegak di meja dan sepiring pilus di sampingnya.

“Bagaimana?” tanyamu sambil memperbaiki kacamata dengan telunjuk.

“Ya… begitulah.”

Kau menghela napas sambil menatapku. “Tidak apa. Belum rezekimu.”

 

Baron Yudo Negoro, seorang buruh di Semarang. Cerpen dan esainya pernah dimuat di media nasional. Pemenang Lomba Menulis Dongeng Batik Nusantara yang diselenggarakan Museum Batik Indonesia dan Kemendikbud pada Oktober 2021.

 

Sentimen: neutral (0%)