Sentimen
Undefined (0%)
27 Des 2024 : 09.55
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Pengkajian Pilkada Harus Komprehensif

27 Des 2024 : 09.55 Views 14

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Pengkajian Pilkada Harus Komprehensif

Wacana mengubah sistem pemilihan kepala daerah yang langsung dipilih rakyat menjadi dipilih oleh anggota DPRD mengemuka lagi. Wacana ini pernah menjadi kebijakan legislasi DPR, namun ditolak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

Kini wacana mengemuka lagi setelah disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto. Wacana ini harus dikaji secara komprehensif, jangan hanya menjadi keputusan politik praktis. 

Merujuk pada aspek konstitusi dan perkembangan praktik demokrasi Indonesia, gagasan mengembalikan pilkada ke DPRD sebenarnya tidak relevan dan tidak visibel. 

Kemunculan calon kepala daerah perseorangan, struktur kelembagaan penyelenggara pilkada, model keserentakan pemilihan umum, serta banyak judicial order dalam putusan Mahkamah Konstitusi bahwa pilkada adalah pemilu seharusnya cukup menjadi landan berpikir dan bertindak membenahi praktik pilkada agar berjalan sesuai nilai-nilai dan prinsip demokrasi dan konstitusi. 

Pada titik inilah pengkajian secara komprehensif harus bersifat lintas disiplin, pengkajian secara holistik, pengkajian secara akademis dan teknokratis, pengkajian yang berbasis kebutuhan riil rakyat menuju pendewasaan demokrasi kita. 

Keputusan politik praktis tentu saja hanya berbasis kepentingan politik sesaat, jamaknya adalah kepentingan untuk menjaga kekuasaan dan memenangi kekuasaan.

Setidaknya ada dua basis analisis yang mendorong mengemukanya lagi wacana mengubah pilkada langsung menjadi dipilih oleh DPRD. Pertama, landasan konstitusional. Kedua, alasan pemborosan biaya. 

Dari sisi konstitusi, pilkada langsung oleh rakyat atau pilkada oleh anggota DPRD punya landasan yang kuat. Kendati demikian, praktik selama ini menunjukkan pilkada langsung, dipilih langsung oleh rakyat, adalah pilihan yang jauh lebih baik.

Dari sisi pemborosan biaya ada dua sudut pandang. Pertama, biaya penyelenggaraan. Kedua, biaya politik. Biaya penyelenggaraan bisa dipastikan bisa dihemat. 

Pengkajian sistem pilkada yang telah berjalan beberapa kali semestinya menemukan di mana titik-titik pemborosan dan bagaimana cara mengatasi. 

Penerapan e-voting dengan teknologi yang andal dan berintegritas adalah keniscayaan dan pasti bisa menghemat biaya penyelenggaraan pilkada.

Biaya politik sepenuhnya adalah ”kesalahan” elite politik, bukan karena peran rakyat yang ”salah berpartisipasi dalam politik”. Politik uang, mahar bagi partai politik, jual beli suara sesungguhnya adalah praktik politik di kalangan elite, bukan kehendak rakyat. 

Ini bisa dihapus dengan paradigma baru berpartai politik. Bahwa partai politik seharusnya hadir terus-menerus di tengah rakyat. Partai politik mengenalkan kader pemimpin setiap hari di tengah rakyat. 

Jalan berpartai demikian akan menghasilkan kandidat kepala daerah yang dikenal rakyat jauh hari sebelum pemilihan. Biaya politik ini juga bisa diatasi dengan mengatur dana kampanye sehingga menjamin transparansi dan akuntabilitas.

Analisis lainnya adalah tentang pilkada asimetris, yaitu menerapkan pillkada langsung di daerah-daerah yang telah maju dan menerapkan pilkada tidak langsung di daerah-daerah yang belum maju atau kurang maju. 

Alat ukurnya bisa saja tentang indeks pembangunan manusia, ketersediaan infrastruktur dasar, dan sebagainya. Prinsip dasarnya adalah meletakkan kedaulatan rakyat pada posisi semestinya. Pilkada langsung adalah aktualisasi kedaulatan rakyat. Jangan gegabah mengubahnya.

 

Sentimen: neutral (0%)