Sentimen
Undefined (0%)
26 Des 2024 : 10.20
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak, Rezim Orde Baru

Tokoh Terkait
Hatta Rajasa

Hatta Rajasa

joko widodo

joko widodo

Jusuf Kalla

Jusuf Kalla

Urgensi Ukuran Objektif Pilkada

26 Des 2024 : 10.20 Views 11

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Urgensi Ukuran Objektif Pilkada

Presiden Prabowo Subianto menggulirkan wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak lagi secara langsung dipilih rakyat. 

Sebelum digulirkan oleh Prabowo pada 2024 ini, wacana mengembalikan sistem pilkada oleh DPRD pernah mengemuka 10 tahun lalu. Pada 2014, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-undang (UU) Pilkada.

Salah satu pokok pembahasannya adalah soal mekanisme pemilihan. Enam fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi PPP, dan Fraksi Partai Gerindra menginginkan mekanisme pilkada oleh DPRD. 

KMP adalah gabungan partai pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa pada pemilihan presiden 2014. Fraksi PDIP, Fraksi PKB, dan Fraksi Partai Hanura yang mendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla menghendaki agar pilkada tetap dipilih langsung oleh rakyat. 

Opsi ini juga didukung oleh sebagian anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat. Setelah melewati proses panjang, DPR menggelar rapat paripurna pada Kamis (25 September 2014) dengan agenda pengesahan RUU Pilkada yang mengatur pemilihan oleh DPRD.

Rapat pengesahan itu berlangsung alot dan diwarnai adu argumen antaranggota DPR dari setiap fraksi. Rapat yang berlangsung hingga Jumat (26 September 2014) itu akhirnya harus diputuskan melalui mekanisme voting.

KMP yang mendukung pilkada oleh DPRD memperoleh 226 suara. Gabunga Ffraksi PDIP, Fraksi PKB, dan Fraksi Partai Hanura yang ingin pemilihan tetap di tangan rakyat mendapatkan 135 suara. 

Partai Demokrat yang sebelumnya mendukung pilkada oleh rakyat dengan beberapa syarat, justru mendadak walk out saat proses voting. Seiring dengan itu, UU Pilkada yang mengatur pemilihan oleh DPRD disahkan oleh DPR.

Norma pemilihan kepala daerah oleh DPRD kemudian dibatalkan oleh presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono.

Pemilihan oleh DPRD

Pada 1998 kediktatoran Orde Baru runtuh setelah 32 tahun berkuasa. Pemerintah ketika itu memperkenalkan pemilihan umum yang bebas dan adil.

Pemerintah mendesentralisasikan kewenangan politik dan fiskal yang cukup besar ke provinsi-provinsi, tetapi lebih besar lagi ke kabupaten dan kota, yang terletak di bawah provinsi. 

Dalam upaya memperluas demokratisasi politik Indonesia, proses pemilihan kepala daerah dirombak total. Kepala daerah tidak lagi dipandang sebagai wakil pemerintah nasional seperti yang terjadi selama Orde Baru. 

Gubernur, bupati, dan wali kota diharapkan mewakili warga negara. Untuk tujuan ini, sejumlah undang-undang diadopsi setelah tahun 1999 dan diikuti oleh Perubahan UUD 1945, khususnya Perubahan II (2000).

Dalam konfigurasi politik baru, DPRD ditugaskan memilih kepala pemerintahan daerah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengizinkan setiap fraksi DPRD mengajukan calon  kepala daerah. 

Pemenang harus memperoleh 50% ditambah satu suara dari semua anggota DPRD yang hadir pada hari pemilihan. Setiap calon kepala daerah harus memperoleh sedikitnya satu suara dan jika ini tidak tercapai, pemilihan dianggap batal. 

Undang-undang tersebut juga membatasi masa jabatan kepala pemerintahan daerah menjadi dua periode. Singkatnya, dari awal tahun 2000–2005, pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota berada di bawah kewenangan parlemen lokal, kecuali beberapa yurisdiksi. 

Pemilihan ini dilaksanakan secara bertahap untuk memberi waktu kepada gubernur, bupati, dan wali kota yang ditunjuk pada masa Orde Baru menyelesaikan masa jabatan mereka.

Michael Buehler (2016: 74) menulis bahwa banyak mekanisme pemilihan dengan model perwakilan itu berlangsung dalam remang-remang kegelapan dan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Regulasi mengenai pilkada kemudian diganti.

Pemilihan Langsung

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan pemilih Indonesia harus memilih kepala daerahnya secara langsung. 

Undang-undang baru tersebut juga memperkenalkan jabatan wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota serta menetapkan pasangan calon harus bersaing satu sama lain dalam pemilihan mendatang. 

Lebih jauh, calon kepala daerah harus dicalonkan oleh partai atau gabungan partai yang memperoleh sedikitnya 15% suara dalam pemilihan legislatif terakhir atau yang menguasai sedikitnya 15% kursi di DPRD.

Persyaratan baru tersebut hanya mengalihkan kekuasaan DPRD ke kantor pusat partai. Untuk memutus monopoli partai atas pencalonan, Mahkamah Konstitusi memutuskan pada 2007 bahwa pencalonan kepala daerah harus terbuka bagi semua warga negara yang memenuhi syarat, bukan hanya mereka yang direkomendasikan oleh partai politik. 

Untuk mengakomodasi putusan tersebut, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengizinkan calon independen mengikuti pemilihan ini. 

Biaya logistik dan finansial untuk maju sebagai calon independen sangat tinggi sehingga mayoritas calon terus maju dengan mencari pencalonan dari satu partai atau koalisi partai (Lewis, 2019: 6). Pada 2015, kandidat independen hanya berjumlah sekitar seperenam dari seluruh kandidat (Aspinall dan Berenschott, 2019: 77).

Dari tahun 2005 sampai tahun 2015, pasangan yang memperoleh suara sah lebih dari 25% dinyatakan terpilih. Jika tidak ada pasangan yang memperoleh suara sah sebanyak 25%, pemilihan diulang. 

Ambang batas kemudian dinaikkan menjadi 30% suara. Pada 2015, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota disahkan. 

Beberapa bulan kemudian, undang-undang ini diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. 

Di antara perubahan lainnya, yang akan dibahas lebih lanjut di bawah ini, undang-undang ini menggantikan sistem dua putaran yang berlaku sejak tahun 2005 dengan sistem pluralitas satu putaran yang juga disebut sistem first-past-the-post. 

Singkatnya, gubernur, bupati, dan wali kota telah menjadi tokoh yang berpengaruh dalam politik Indonesia dan proses pembuatan kebijakan negara. Para pemilih Indonesia telah memilih mereka secara langsung sejak tahun 2005.

Pro dan Kontra

Pemberlakuan pemilihan umum langsung untuk kepala daerah yang baru diberdayakan pada 2005 memicu perdebatan tentang dampaknya terhadap proses demokratisasi di Indonesia. 

Beberapa akademikus menyambut baik penerapan pemilihan umum ini sebagai anugerah bagi upaya demokratisasi Indonesia (Antlöv dan Wetterberg, 2011: 3). 

Para pakar lainnya bersikap lebih hati-hati, menekankan banyak tantangan yang harus diatasi Indonesia sebelum memperoleh manfaat demokrasi dari pemilu ini (Erb dan Sulistiyanto: 2009). 

Akhirnya, beberapa akademikus khawatir bahwa pengenalan pemilihan umum untuk kepala pemerintah daerah, yang kewenangan fiskal dan politiknya telah ditingkatkan sementara mekanisme akuntabilitas horizontal sedang dilemahkan, akan memfasilitasi munculnya “raja kecil.” 

Para pelaku seperti itu akan menggunakan pemilihan kepala pemerintah daerah untuk memperkuat diri dalam politik (Bakti, 2007). Hal ini terkonfirmasi dengan maraknya pemilihan kepala daerah yang diwarnai politik kekerabatan atau dengan calon tunggal.

Ukuran Objektif

Diperlukan ukuran-ukuran objektif untuk menilai pandangan-pandangan itu. Menurut saya, pemilihan dengan model parlementer atau model langsung, harus dikaitkan dengan pengeloaan sumber daya ekonomi dan politik.

Indonesia adalah negara kesatuan yang terdesentralisasi. Gubernur, bupati, dan wali kota menjadi lebih berkuasa setelah runtuhnya kediktatoran Orde Baru pada tahun 1998.

Kekuasaan ini terutama datang dalam bentuk kewenangan yang didekonsentrasikan daripada kewenangan yang didesentralisasi. Dalam regulasi terbaru, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah nasional masih menentukan sebagian besar tugas pemerintah dan bagaimana tugas-tugas tersebut dibiayai. 

Yang terpenting, kerangka regulasi untuk pemilu daerah berada di bawah kendali Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini berarti bahwa provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia tidak dapat menulis aturan pemilu mereka sendiri atau bahkan konstitusi, tidak seperti di banyak negara demokrasi federal. 

Kerangka kelembagaan negara kesatuan terdesentralisasi Indonesia menciptakan berbagai rintangan bagi petahana lokal yang ingin memanipulasi sumber daya fiskal lokal dan/atau alokasi anggaran antarpemerintah. 

Otonomi fiskal kepala pemerintah daerah lemah. Mereka hanya dapat memutuskan 11 jenis pajak dan retribusi menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 

Provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia menerima rata-rata 90% pendapatan melalui hibah tingkat nasional (dana alokasi umum atau DAU) dan hibah alokasi khusus (dana alokasi khusus atau DAK). 

Baik DAU maupun DAK disebarkan berdasarkan formula alokasi tetap, yang berada di bawah kendali pemerintah nasional. Kebijakan ini perlu diteliti lebih dalam sehubungan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Terakhir, kepala pemerintahan daerah di Indonesia tidak dapat menggunakan struktur partai politik untuk memonopoli hubungan nasional-subnasional, tidak seperti rekan-rekan mereka di negara demokrasi ketika partai memiliki basis politik lokal, yang lebih terlembagakan  dan mempertahankan kehadiran aktif di seluruh lapisan pemerintahan di sela-sela pemilihan.

Ukuran-ukuran tadi menurut saya dapat menjadi pertimbangan untuk mengukur dan menilai apakah pemilihan langsung terhadap kepala daerah seperti sekarang perlu dipertahankan atau digeser menjadi model parlementer.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 Desember 2024. Penulis adalah dosen Hukum Konstitusi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret)

Sentimen: neutral (0%)