Sentimen
Undefined (0%)
25 Des 2024 : 15.50
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Boyolali, Kendal, Klaten

Kasus: penganiayaan

Tokoh Terkait

Jangan-jangan Kita Pengidap IED

25 Des 2024 : 15.50 Views 1

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Jangan-jangan Kita Pengidap IED

Penyesalan selalu pada akhir, kalau pada awal namanya pembukaan. Kalimat pelesetan itu tepat untuk Gilang Setiya Darma, 21. Ia menjadi tersangka dalam kasus pembakaran seorang bocah santri di Kabupaten Boyolali  beberapa hari lalu.

Kini ia hanya bisa menyesali kebodohannya sembari bertahan di balik jeruji besi. Ia menyulutkan api ke tubuh santri berinisial SS, 15, yang sebelumnya ia guyur bensin.

Ancaman hukuman untuk Gilang berat. Ia dijerat pasal berlapis: penganiayaan yang diatur di KUHP dan kekerasan terhadap anak yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak.

Pemuda asal Kabupaten Kendal itu terancam hukuman hingga 15 tahun penjara. Gilang jelas menyesali perbuatan bodohnya, sok jagoan membawa bensin, menginterogasi SS,  menyiramkan bensin ke tubuh SS, lalu menyulutnya dengan api. 

Perbuatan Gilang adalah gambaran anak muda yang minim kontrol. Dalam lirik lagu Darah Muda (1975), Rhoma Irama menyebut darah muda identik merasa gagah, berapi-api, tak mau mengalah, salah tidak peduli, berpikir hanya sekali tanpa memikirkan konsekuensi. 

Sumbu pendek, sok jagoan, seolah-olah semua bisa diselesaikan dengan otot. Setelah semua terjadi, menyesal kemudian.  Terlambat. Ia sedang menyiapkan masa depannya yang buruk. 

Sumbu pendek bukan monopoli anak muda, orang tua bisa melakukan juga. Di Kabupaten Boyolali juga, 13 orang terdiri atas delapan laki-laki dan lima perempuan--seluruhnya berusia dewasa—menjaadi tersangka kasus menganiaya anak berusia 12 tahun berinisial KM. 

KM yang kelewat nakal diduga mencuri celana dalam tetangganya berulang kali. Mereka murka lalu beramai-ramai menghajar bocah yang sehari-hari ditinggal orang tuanya merantau ke Jakarta itu hingga babak belur. 

Pekan lalu lima perempuan di Kabupaten Klaten ditangkap atas tuduhan mengeroyok seorang remaja perempuan berusia 17 tahun. Mereka menilai gadis itu menebar fitnah yang merugikan mereka. 

Dalam sejumlah literatur tentang ilmu psikologi disebutkan emosi adalah suatu bentuk respons terhadap peristiwa yang dialami. 

Dalam kaitannya dengan kejiwaan atau psikologi, emosi adalah pola reaksi yang rumit dan melibatkan berbagai aspek, fisiologis, perilaku, dan pengalaman mengatasi suatu masalah. 

Dokter Rizal Fadli seperti dikutip dari laman halodoc.com menyebut pada otak terdapat banyak sistem dengan tugas berbeda-beda. Salah satunya adalah sistem limbik yang bertugas mengatur memori, perilaku, dan emosi seseorang. 

Sistem ini memiliki beberapa bagian dengan fungsi yang berlainan. Ketika seseorang mengalami suatu kejadian, sistem limbik mengirimkan impuls ke tiga bagian otak, diolah, lalu membuat seseorang bereaksi secara spontan. 

Ahli kejiwaan Paul Ekman mengidentifikasi enam jenis emosi dasar yang muncul pada manusia secara alami, yaitu bahagia, sedih, jijik, takut, terkejut, dan marah. 

Ketika seseorang mengalami emosi dasar marah akan ada perubahan cepat yang dialami. Kemarahan bisa menjadi emosi yang sangat kuat, yang muncul dengan perasaan permusuhan, agitasi, frustrasi, dan antagonisme terhadap orang lain. 

Ciri-cirinya ekspresi wajah cemberut atau mata melotot, bahasa tubuh mengambil sikap yang kuat atau berpaling, nada suara meninggi hingga berteriak. 

Respons fisiologis yang muncul bisa berupa berkeringat atau memerah pada muka. Emosi dari sikap marah akan memunculkan perilaku agresif berupa memukul, menendang, atau merusak barang. 

Marah yang berlebihan bisa menjadi tanda gangguan kepribadian, yaitu gangguan ledakan marah atau intermittent explosive disorder (IED). 

Pengidap IED mudah marah karena masalah “sepele” dan menunjukkan dengan cara berlebihan: membanting barang, mengumpat, menjerit hanya untuk mengekspresikan amarah. 

Penyebab IED bisa berasal dari kelainan mekanisme otak untuk mengatur produksi serotonin (hormon bahagia) dan kortisol (hormon stres), sehingga memengaruhi tingkat emosi pengidapnya. 

Beberapa faktor lain menjadi penyebab IED adalah faktor genetik, faktor lingkungan, dan kebiasaan memendam amarah. IED masuk dalam kelompok gangguan kontrol impuls. 

Emosi negatif harus dikendalikan. Ledakan kemarahan yang berlebihan hanya akan menghasilkan keburukan. 

Menjadi manusia yang bijak menjadi keharusan. Butuh belajar terus-menerus dalam waktu yang lama. Dalam kasus Gilang misalnya, kalaupun benar SS mencuri, toh bisa diselesaikan dengan mengadukan ke pengeloal pesantren agar ditindak tegas.

Dalam kasus penganiayaan bocah KM, semarah-marahnya belasan orang tersebut tentu saja menganiaya bukan solusi karena jelas itu melanggar hukum. Bawa saja KM (dan keluarganya) ke ranah hukum agar mendapatkan penyelesaian terbaik. 

Begitu juga dalam kasus lima perempuan menganiaya gadis di Kabupaten Klaten. Kalau pun benar tuduhan mereka gadis itu menyebar fitnah, tetap bisa diselesaikan, misalnya dengan membawa ke ketua RT.

Ketika ledakan marah tak terkontrol, yang terjadi adalah bencana. Sekali lagi, penyesalan selalu pada akhir. 

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Desember 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)