Sentimen
Positif (99%)
24 Des 2024 : 22.48
Informasi Tambahan

Kasus: covid-19

Tokoh Terkait

Masa depan manufaktur Indonesia di era tren `Reshoring` global

24 Des 2024 : 22.48 Views 16

Elshinta.com Elshinta.com Jenis Media: Ekonomi

Masa depan manufaktur Indonesia di era tren `Reshoring` global

Pengunjung melihat produk sepatu lokal yang ditampilkan dalam Incubator Development And Entrepreneurship Advancement Expo (IDEA Expo) 2024 di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (20/12/2024). Kemenperin menggelar IDEA Expo 2024 bertujuan untuk membangun ekosistem bisnis yang kuat dan berkelanjutan agar dapat meningkatkan kapasitas wirausaha industri. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/Spt. Masa depan manufaktur Indonesia di era tren `Reshoring` global Dalam Negeri    Editor: Calista Aziza    Selasa, 24 Desember 2024 - 12:35 WIB

Elshinta.com - Manufaktur global telah mengalami transformasi besar dalam beberapa dekade terakhir. Pergeseran dari dominasi offshoring menuju era reshoring dan proteksionisme mencerminkan realitas ekonomi yang berkembang dan interaksi kompleks antara kemajuan teknologi serta tekanan sosial-politik.

Bagi Indonesia, dinamika ini membawa peluang dan tantangan signifikan terhadap pasar tenaga kerja, daya saing, dan kesejahteraan masyarakat. Dengan tren ini, Indonesia harus bersiap untuk mengoptimalkan keunggulannya sembari menghadapi tantangan baru.

Sebelum Resesi Global 2008, offshoring –pemindahan operasi bisnis ke negara lain-- menjadi strategi utama bagi perusahaan global untuk menekan biaya produksi. Banyak perusahaan memindahkan produksi ke negara-negara berkembang, seperti China, Vietnam, dan Indonesia. Dalam konteks ini, Indonesia menjadi salah satu tujuan offshoring penting di kawasan ASEAN, terutama di sektor tekstil, elektronik, dan alas kaki.

Pada era 2000-an, sektor manufaktur Indonesia tumbuh pesat dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 26 persen pada 2001 sebelum menurun ke 19 persen pada 2022 seiring perubahan struktur ekonomi.

Strategi offshoring menciptakan jutaan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekspor, dan mempercepat urbanisasi. Sebagai contoh, ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia meningkat dari USD7.8 miliar pada 2005 menjadi USD13.8 miliar pada 2010, menunjukkan peran penting negara ini sebagai salah satu eksportir terbesar di dunia.

Namun, seiring berjalannya waktu, biaya tenaga kerja di negara-negara manufaktur utama, termasuk Indonesia, mulai meningkat. Antara 2015 hingga 2020, biaya tenaga kerja di sektor manufaktur Indonesia tumbuh rata-rata 6 persen per tahun, membuat persaingan menjadi lebih ketat dengan negara-negara seperti Bangladesh dan Vietnam.

Peralihan ke reshoring

Negara-negara maju mulai menghadapi tantangan berupa hilangnya pekerjaan domestik dan meningkatnya ketimpangan pendapatan akibat offshoring. Tren ini mendorong kembalinya manufaktur ke negara asal atau reshoring, terutama di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Reshoring dipicu oleh beberapa faktor utama diantaranya, pertama, kemajuan teknologi. Adopsi robotika dan otomatisasi semakin meningkat, mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja murah. Menurut laporan International Federation of Robotics (IFR), penggunaan robot di sektor manufaktur global tumbuh rata-rata 10% per tahun sejak 2017.

Amerika Serikat mencatat adopsi robot industri hingga 40.00unit pada 2022, sementara Indonesia hanya mengadopsi sekitar 1.200 unit, menunjukkan kesenjangan signifikan dalam kesiapan teknologi.

Kedua, kerentanan rantai pasok. Pandemi COVID-19 menyoroti ketergantungan berlebihan pada rantai pasok global. Impor AS dari China menurun sebesar 20 persen pada 2020, sementara Vietnam dan Meksiko berhasil meningkatkan pangsa pasar masing-masing sebesar 12 persen dan 9 persen.

Indonesia sendiri menghadapi gangguan serupa, terutama dalam ekspor produk elektronik, yang turun hingga 15 persen pada 2020, meskipun pulih perlahan pada 2021 dan 2022.

Ketiga, sentimen proteksionisme. Pemerintahan Donald Trump memperkenalkan kebijakan tarif yang agresif, termasuk tarif 25 persen pada barang-barang impor dari China. Kebijakan ini memicu efek domino yang berdampak pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang harus menyesuaikan strategi ekspornya untuk menghindari pengenaan tarif tambahan.

Keempat, restrukturisasi perdagangan global. Restrukturisasi perdagangan terlihat jelas di pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa. Data menunjukkan bahwa antara 2017 hingga 2023, impor AS dari China menurun sebesar 15 persen, sementara negara-negara seperti Vietnam, Meksiko, dan Bangladesh mencatat pertumbuhan masing-masing sebesar 12 persen, 9 persen, dan 10 persen.

Di Uni Eropa, perubahan lebih dipengaruhi oleh faktor geopolitik, seperti perang Rusia-Ukraina, yang menyebabkan penurunan impor dari Rusia hingga 30 persen. Sebagai gantinya, Eropa meningkatkan perdagangan dengan negara-negara seperti India (pertumbuhan impor 8 persen) dan Brasil (7 persen).

Berdasarkan estimasi model gravitasi, kenaikan tarif sebesar 1 persen dapat mengurangi total perdagangan sebesar 7.25 persen untuk AS dan 4.67 persen untuk Uni Eropa. Dampak ini menunjukkan sensitivitas aliran perdagangan global terhadap perubahan kebijakan proteksionisme.

Antara Peluang dan Tantangan

Restrukturisasi perdagangan ini menciptakan peluang bagi beberapa negara dan tantangan bagi yang lain. Dalam konteks ini, Indonesia perlu memanfaatkan tiga faktor utama yang dapat menentukan keberhasilannya dalam menarik investasi.

Pertama, produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara pesaing. Nilai tambah manufaktur per pekerja di Indonesia hanya mencapai USD5.000 pada 2023, jauh di bawah Vietnam (USD8.000) dan Thailand (USD12.000). Peningkatan keterampilan tenaga kerja menjadi prioritas utama untuk meningkatkan daya saing.

Kedua, kemampuan logistik. Berdasarkan Logistics Performance Index (LPI) 2023, Indonesia berada di peringkat ke-46 dunia, tertinggal dari Malaysia (25) dan Singapura (3). Peningkatan infrastruktur pelabuhan dan transportasi diperlukan untuk mengurangi biaya logistik yang saat ini mencapai 24 persen dari PDB, jauh di atas rata-rata global sebesar 8–10 persen.

Ketiga, kesiapan teknologi. Investasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D) di Indonesia hanya 0.3 persen dari PDB, jauh tertinggal dari Korea Selatan (4.5 persen) dan Singapura (2.2 persen). Tanpa adopsi teknologi canggih, Indonesia sulit bersaing dalam era otomatisasi dan manufaktur digital.

Restrukturisasi perdagangan global, terutama reshoring berbasis teknologi, memiliki dampak yang beragam terhadap kesejahteraan masyarakat. Diantaranya adanya disparitas pendapatan.

Otomatisasi telah menggantikan permintaan ekspor untuk produk-produk padat karya. Di Indonesia, subsektor tekstil dan alas kaki menghadapi penurunan ekspor sebesar 8 persen pada 2023, berdampak pada pekerja berpendidikan rendah yang mengalami penurunan upah hingga 5 persen.

Dampak lain adalah penurunan kesejahteraan konsumen. Proteksionisme meningkatkan harga barang impor. Sebagai contoh, harga produk elektronik impor meningkat rata-rata 8 persen setelah diberlakukannya tarif impor di beberapa negara. Dampaknya, daya beli masyarakat menurun, terutama pada kelompok berpendapatan menengah ke bawah.

Kemudian, peluang diversifikasi. Negara-negara seperti India dan Brasil yang mencatat peningkatan impor dari Uni Eropa menjadi pasar potensial bagi produk Indonesia. Pada 2023, ekspor produk makanan olahan Indonesia ke India meningkat 6 persen, menunjukkan peluang diversifikasi yang dapat dioptimalkan.

Rekomendasi kebijakan

Untuk menghadapi dinamika global ini, Indonesia perlu mengimplementasikan strategi berikut.

Pertama, diversifikasi ekspor. Indonesia harus berfokus pada produk bernilai tambah tinggi, seperti elektronik, otomotif, dan produk berbasis teknologi. Pemerintah juga perlu menjajaki pasar nontradisional seperti Afrika dan Timur Tengah.

Kedua, peningkatan infrastruktur. Investasi dalam infrastruktur logistik, seperti pelabuhan dan jaringan transportasi, harus diprioritaskan. Target pemerintah untuk meningkatkan peringkat LPI ke 30 besar pada 2030 dapat membantu menarik investasi.

Ketiga, investasi dalam SDM dan teknologi. Pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran R&D menjadi 1 persen dari PDB pada 2030 dan memperluas program pelatihan tenaga kerja berbasis teknologi untuk menghadapi era otomatis.

Transformasi global dalam manufaktur membawa tantangan besar bagi Indonesia, termasuk penurunan daya saing pada sektor tradisional. Namun, dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan peluang diversifikasi, memperkuat daya saing logistik, dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami dampak jangka panjang restrukturisasi ini terhadap ekonomi domestik. Dengan strategi yang adaptif, Indonesia dapat memainkan peran yang lebih besar dalam lanskap manufaktur global yang terus berubah.

Sumber : Antara

Sentimen: positif (99.8%)