Sentimen
Positif (48%)
24 Des 2024 : 16.21
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak, Rezim Orde Baru

Kab/Kota: Surabaya

Tokoh Terkait

Presiden Prabowo Wacanakan Pilkada Dipilih DPRD, Pakar Hukum: seperti Zaman Orba

24 Des 2024 : 16.21 Views 13

Fajar.co.id Fajar.co.id Jenis Media: Nasional

Presiden Prabowo Wacanakan Pilkada Dipilih DPRD, Pakar Hukum: seperti Zaman Orba

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Prabowo Subianto menggulirkan wacana agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak lagi dilakukan secara langsung oleh rakyat, melainkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Usulan ini menuai berbagai tanggapan, termasuk dari Satria Unggul Wicaksana, pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, yang memberikan pandangannya terhadap wacana tersebut.

Menurut Satria, sistem Pilkada melalui DPRD bukanlah hal baru, mengingat sistem serupa pernah diterapkan pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, yang juga merupakan mertua Prabowo. Namun, ia menegaskan bahwa perubahan sistem Pilkada memerlukan evaluasi mendalam.

Satria menyoroti pentingnya mengevaluasi pelaksanaan Pilkada serentak yang dianggap memakan biaya besar dan belum tentu efektif.

"Khawatirnya, ide ini muncul bukan dari perspektif Presiden Prabowo, tetapi dari posisi beliau sebagai ketua partai yang mungkin merasa dirugikan akibat kekalahan di beberapa daerah strategis, seperti DKI Jakarta," ujarnya.

Prabowo disebut membandingkan sistem Indonesia dengan negara-negara parlementer seperti Malaysia, India, dan Singapura. Namun, Satria menilai perbandingan ini tidak tepat karena Indonesia menganut sistem demokrasi langsung yang berbeda dari sistem parlementer.

"Pemilihan kepala daerah secara langsung adalah salah satu hasil reformasi yang memperkuat otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan," jelasnya.

Ia menegaskan bahwa hak masyarakat untuk memilih pemimpin secara langsung merupakan pencapaian penting era reformasi.

Meski demikian, Satria mengakui bahwa sistem Pilkada langsung juga memiliki kelemahan, terutama terkait praktik politik uang dan jual beli suara.

"Masalah ini bukan hanya mengancam demokrasi, tetapi juga merusak budaya politik dan negara hukum. Contohnya adalah fenomena kotak kosong yang muncul akibat perilaku elit politik yang tidak etis."

Satria menekankan bahwa wacana perubahan sistem Pilkada tidak boleh hanya didasarkan pada kepentingan politik tertentu.

"Yang terpenting adalah sejauh mana ide ini baik atau buruk bagi masyarakat, serta apakah masyarakat dapat menerimanya atau tidak. Analisis yang mendalam sangat diperlukan," pungkasnya. (Ikbal/fajar)

Sentimen: positif (48.5%)