Sentimen
Negatif (99%)
24 Des 2024 : 06.26
Informasi Tambahan

Grup Musik: APRIL

Kab/Kota: Sukabumi

Partai Terkait

Kritik PPN 12 Persen, PDIP Sebaiknya Oposisi

24 Des 2024 : 06.26 Views 19

Rmol.id Rmol.id Jenis Media: Nasional

Kritik PPN 12 Persen, PDIP Sebaiknya Oposisi


Kebijakan tersebut dimanfaatkan oleh sejumlah politisi PDIP untuk menyampaikan kritik kepada pemerintahan Prabowo Subianto atas rencana kenaikan PPN 12 persen atas barang tertentu. 

Misalnya, Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang juga menjabat sebagai Ketua DPR RI menyatakan, kenaikan PPN 12 persen dapat memperburuk kondisi kelas menengah dan pelaku usaha kecil. 

Lalu, mantan calon presiden yang diusung PDIP yang juga Ketua DPP PDIP Ganjar Pranowo menyatakan, kebijakan tersebut bisa membuat ngilu kehidupan rakyat.

Menanggapi hal tersebut, Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan menyatakan, PDIP tidak perlu bermain drama dengan berpura-pura membela rakyat kecil. Semua tahu, bahwa kenaikan PPN 12 persen merupakan tanggung jawab PDIP yang kala itu menjadi pimpinan pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Politisi yang biasa disapa Hergun itu menyatakan, dasar kenaikan PPN adalah Pasal 7 Ayat (1) UU HPP yang menyatakan tarif PPN sebesar 11 persen berlaku 1 April 2022 dan tarif 12 persen berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

“Berdasarkan ketentuan UU HPP, kenaikan tarif PPN dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama sudah dilakukan pada 2022. Waktu itu PDIP paling bersemangat menyampaikan kenaikan PPN dan bahkan mau pasang badan. Sehingga aneh menjelang pemberlakukan tahap kedua, PDIP berpaling muka dan mengkritik dengan keras,” kata Hergun akrab disapa kepada wartawan di Jakarta, Minggu, 22 Desember 2024.

Lebih lanjut, mantan anggota Panja UU HPP itu, menjelaskan bahwa pembahasan tingkat I UU HPP dilakukan di Komisi XI DPR. Waktu itu yang menjabat sebagai Ketua Panja adalah kader PDIP Dolfie OFP. Selain itu, sebagai partai terbesar di DPR, PDIP juga mengirim anggotanya paling banyak di Panja.

“Pembahasan di tingkat I terbilang lancar. Hampir semua fraksi menyatakan persetujuannya terhadap UU HPP. Lalu, pembahasan dilanjutkan pada tingkat II yaitu di Rapat Paripurna DPR RI. Konfigurasinya tidak berbeda. Perlu diketahui, waktu itu Ketua DPR juga dijabat oleh kader PDIP Puan Maharani,” jelasnya.

Hergun menyatakan, pembentukan UU HPP sejatinya bertujuan memperkuat fondasi fiskal dan meningkatkan tax ratio Indonesia. Sebagaimana diketahui, tax ratio Indonesia tercatat masih lebih rendah dibanding negara-negara lain.

“Pada 2021 tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,9 persen. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata 36 negara Asia Pasifik yang sebesar 19,3 persen. Tax ratio Indonesia juga tercatat lebih rendah 22 poin persen dibanding negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dengan rata-rata 34 persen,” papar Hergun.

Hergun juga menjelaskan bahwa berdasarkan catatan OECD, penerimaan pajak Indonesia masih didominasi pajak penghasilan (PPh) yaitu sebesar 5,1 persen dari PDB, disusul pajak pertambahan nilai (PPN) yaitu sebesar 3,4 persen dari PDB, dan terakhir dari cukai sebesar 1,6 persen dari PDB.

“Melihat kondisi tersebut, muncul kesamaan pandangan di kalangan anggota Panja untuk menyetujui kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022 dan 12 persen pada 2025. Dan sebagaimana kita ketahui bersama, kenaikan tahap pertama yaitu dari 10 persen menjadi 11 persen sudah berlaku pada 2022,” jelasnya lagi.

Ketua DPP Partai Gerindra itu menyatakan, kenaikan tarif PPN juga sudah dilakukan dengan mempelajari dan membandingkan tarif PPN di negara-negara lain.

“Misalnya, Brasil dengan tarif PPN 17 persen tax ratio-nya mencapai 24,67 persen, India dengan tarif PPN rata-rata 18 persen memiliki tax ratio 17,33 persen, dan Filipina dengan tarif PPN 12 persen tax rationya 15,61 persen. Kemudian Afrika Selatan dengan tarif PPN 15 persen memiliki tax ratio 21,4 persen, Turki dengan tarif PPN 20 persen tax rationya 16,4 persen, dan Meksiko dengan tarif PPN 16 persen tax rationya 14,49 persen,” bebernya.

Politisi dari Dapil Jawa Barat IV yang meliputi Kota dan Kabupaten Sukabumi itu menyatakan ‘keanehan’ atas sikap PDIP yang berubah 180 derajat. Seharusnya PDIP konsisten dengan sikapnya sejak di Panja Komisi XI, Rapat Paripurna DPR RI, hingga pemberlakuan kenaikan PPN tahap pertama pada 2022.

“Menjelang pemberlakukan kenaikan PPN tahap kedua pada 2025, PDIP berpura-pura membela rakyat. PDIP mengkritik keras kebijakan yang dulu dibuatnya. Sikap ini menunjukkan sikap sejati PDIP sebagai oportunis,” tutur Hergun.

Ia melanjutkan, pemberlakuan kenaikan tahap kedua, bertepatan dengan masa-masa awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sebagaimana diketahui bersama, di hadapan sidang MPR, Presiden Prabowo Subianto sudah bersumpah untuk menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.

“Kondisi ini tentunya dilematis. Namun sesuai sumpahnya, Presiden Prabowo akan tetap menjalankan ketentuan UU HPP. Namun, di sini kami perlu tegaskan, kenaikan PPN 12 persen hanya akan diberlakukan terhadap barang-barang yang dianggap mewah yang dikonsumsi oleh orang-orang yang mampu,” ungkapnya.

“Presiden Prabowo selalu memikirkan kondisi rakyat kecil agar tidak terdampak kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen. Barang-barang kebutuhan rakyat kecil dibebaskan dari PPN atau 0 persen. Selain itu, Pak Prabowo juga sudah menyiapkan sejumlah bantuan kepada rakyat kecil agar tetap terjaga daya belinya,” lanjut dia.

Hergun meyakinkan kepada rakyat Indonesia, barang-barang yang dikonsumsi oleh rakyat kecil akan dibebaskan dari PPN, seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, pendidikan, kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, listrik, dan air. Itu semuanya PPN-nya adalah 0 persen.

“Pemerintah juga sudah menyiapkan sejumlah insentif untuk rumah tangga berpenghasilan rendah dan untuk menjaga daya beli. Paket insentif tersebut antara lain berupa bantuan beras/pangan, diskon biaya listrik 50 persen selama 2 bulan, serta insentif perpajakan seperti, perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5 persen untuk UMKM, Insentif PPh 21 Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk industri padat karya, serta berbagai insentif PPN dengan total alokasi mencapai Rp265,6 triliun untuk tahun 2025,” urainya.

Hergun menegaskan, dengan sejumlah insentif tersebut, kenaikan PPN hanya akan menyasar kepada orang-orang yang mampu. Sementara rakyat yang tidak mampu akan tetap terlindungi.

“Pak Prabowo berkomitmen memberantas kemiskinan di Indonesia, bahkan akan memberantas kemiskinan ekstrem menjadi 0 persen dalam tempo 2 tahun. Kenaikan PPN 12 persen dalam jangka menengah dan panjang akan memperkuat fondasi fiskal kita, terutama untuk melanjutkan program bantuan sosial dalam rangka memberantas kemiskinan,” bebernya lagi.

Hergun berpandangan, para politisi seharusnya menunjukkan keteladanan dan konsistensi perjuangan. Sikap PDIP yang berubah 180 derajat bisa dipandang sebagai sikap oportunis yang memanfaatkan panggung demi menaikkan pencitraan. 


“Sebaiknya PDIP mengambil sikap tegas sebagai opisisi terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Apalagi PDIP sudah memiliki pengalaman 10 tahun menjadi oposisi pemerintahan SBY. Dengan demikian, konfigurasi politik di parlemen akan menjadi jelas, siapa pendukung pemerintah dan siapa yang oposisi. Tidak seperti sekarang, PDIP terkesan menjadi partai yang tidak bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuatnya,” pungkasnya.

Sentimen: negatif (99.8%)