Sentimen
Undefined (0%)
23 Des 2024 : 20.15
Informasi Tambahan

Agama: Kristen

Event: Rezim Orde Baru

Kab/Kota: Roma

Tokoh Terkait
Gus dur

Gus dur

Berpikir ala Sang Penguasa

23 Des 2024 : 20.15 Views 4

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Berpikir ala Sang Penguasa

Severus adalah seorang yang gagah berani, menjaga hubungan baik dengan pasukan, walaupun rakyat tertindas olehnya, ia memerintah dan berhasil sampai akhir.

Demikian salah satu kalimat dalam Il Principe yang ditulis Niccolo Machiavelli untuk Lorenzo De’ Medici (Lorenzo II) pada 1513. Lorenzo (1492–1519) adalah penguasa Florence sejak 1516 hingga hari kematiannya. 

Pada 1512, Lorenzo dengan bantuan Paus Julius II menggulingkan Republik Florence yang dipimpin Piero di Tommaso Soderini, teman dekat Machiavelli.

Saat Lorenzo mulai berkuasa, Machiavelli—yang tersingkir dari lingkaran kekuasaan—melalui tulisannya memberikan saran politik kepada sang penguasa baru. 

Machiavelli menyarankan seorang penguasa tidak boleh terlalu baik kepada rakyatnya, tetapi yang lebih penting adalah menjaga kepentingan kelompok-kelompok kunci, termasuk militer. 

Severus yang gemar berperang, berkuasa di Afrika utara dan sebagian Eropa, serta kerap memersekusi orang Kristen, adalah contoh ideal.

Severus memulai kampanye merebut kekuasaan dengan membawa pasukan menuju Roma dengan dalih hendak membalas dendam atas kematian Pertinax. 

Pertinax adalah Kaisar Romawi yang dibunuh Pasukan Pretorian—sebuah kelompok berpengaruh dalam militer Romawi—karena dianggap melucuti hak-hak tentara. Posisinya digantikan Julianus yang didukung militer.

Niat membalas dendam atas kematian Pertinax hanya kedok Severus merebut kekuasaan. Senat yang merasa ketakutan mengangkat Severus sebagai kaisar baru dan membunuh Julianus.

Manuver serupa juga dilakukan Severus untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang juga berpotensi menjadi kaisar. Publik menganggap Severus licik. 

Menurut Machiavelli, Severus mampu menjadikan dirinya ditakuti semua orang dan dihormati pimpinan militer. Tak peduli rakyat menderita atas kekejamannya, yang penting dia mampu mengamankan kekuasaan dengan sokongan kelompok elite.

Penghormatan terhadap Severus adalah salah satu sisi paling gelap dari pandangan politik Machiavelli. Sebagian orang bisa jadi ingin muntah melihat keculasan politikus yang menghalalkan segala cara. 

Praktik machiavellianisme lazim bermunculan dalam dunia politik modern, termasuk di negara demokrasi besar sekalipun. Salah satu kuncinya adalah memainkan narasi.

Kisah Severus menunjukkan seorang penguasa meraih kekuasaan dengan memanipulasi opini publik. Dalam praktik negara modern, narasi memainkan peran krusial membentuk opini publik. 

Narasi yang berhasil bisa membentuk pandangan publik, menghimpun dukungan, menghimpun penolakan, memanipulasi opini, hingga menutupi masalah yang sebenarnya. 

Narasi bisa dibangun dengan cacat logika yang disengaja, meski menghasilkan narasi yang tidak logis. Logis atau tidak sebuah narasi tidak menjadi soal. 

Bagi Machiavelli, opini rakyat yang labil bisa dibentuk (baca dimanipulasi). Selama publik percaya, berhasil pula tujuan narasi itu.

Di Indonesia, orang yang pernah mencicipi dekade terakhir Orde Baru tentu pernah mendengar narasi seorang presiden harus berpengalaman. 

Kala itu, orang yang kritis pasti paham narasi itu dibuat untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto. Saat itu tidak ada tokoh yang berpengalaman selain Soeharto.

Selama Orde Baru, di bawah Departemen Penerangan, pemerintah kerap membuat narasi terstruktur untuk memuluskan proyek tertentu. 

Narasi “kepentingan negara” di atas “kepentingan pribadi dan golongan” kerap dipakai untuk meredam protes warga yang terdampak proyek.

Keputusan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membubarkan Departemen Penerangan sejalan dengan arus demokratisasi pascagerakan reformasi 1998. 

Di bawah pemerintahan Soeharto, departemen itu berperan mengontrol pers, media massa, media penyiaran, dan informasi. Institusi itu juga berperan memberedel berbagai media massa nasional.

Kini, fungsi-fungsi kontrol atas informasi tidak dilakukan oleh satu lembaga negara khusus, melainkan bisa dilakukan oleh berbagai entitas termasuk individu. 

Ini terlihat saat para pejabat publik menyampaikan narasi-narasi mereka saat hendak merumuskan sebuah keputusan kontroversial agar seolah-olah tak berdampak apa-apa.

Termutakhir saat pemerintah menyebut tarif baru pajak pertambahan nilai (PPN) 12% hanya dikenakan pada barang-barang mewah. 

Faktanya, barang mewah sudah terkena jenis pajak lain, yakni pajak penjualan barang mewah (PPNBM). Selain itu, justru sejumlah jenis barang mewah justru mendapatkan berbagai insentif.

Contoh insentif itu adalah rencana PPN yang ditanggung pemerintah (DTP) untuk pembelian rumah seharga maksimal Rp5 miliar dengan dasar pengenaan pajak Rp2 miliar. 

Barang-barang otomotif juga mendapat insentif, khususnya kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (kendaraan listrik).

Belakangan, barang/jasa yang telah menjadi kebutuhan umum seperti pakaian, sepatu, kosmetik, jajanan, hingga layanan streaming (Netflix, Spotify, dan sejenisnya) akan tetap kena PPN 12%. 

Tidak salah publik menilai PPN 12% bukan cuma untuk barang mewah seperti narasi pemerintah. Jenis barang yang akan dikenai PPN bisa jadi bertambah, jauh berbeda daripada narasi para pejabat.

Saat masyarakat kelas menengah dikhawatirkan kian tertekan akibat kenaikan tarif PPN, pemerintah sudah mempersiapkan.

Ada bantalan berupa bantuan langsung tunai (BLT) atau insentif bagi masyarakat berpenghasilan rendah. 

Masyarakat kelas atas mendapatkan berbagai kemudahan, seperti insentif pajak mobil listrik dan rumah mewah hingga kemungkinan pengampunan pajak.

Bagaimana nasib kelas menengah? Itu tidak terlalu penting karena narasi insentif untuk warga kelas bawah dan atas sudah dianggap solusi.

Dalam konteks pembangunan narasi, insentif bagi kelas atas ini mirip dengan jaminan kemakmuran bagi kaum elite pada era Severus. 

Kaum kelas menengah menjadi satu-satunya kelompok yang tidak puas, berisik, dan tak perlu didengar jika “tak terlalu penting” seperti saran Machiavelli.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Desember 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)