Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Institusi: Oxford
Kab/Kota: Yogyakarta
Tokoh Terkait
Pengaruh Post-Truth Kian Nyata
Espos.id Jenis Media: Kolom
Selama masa pemilihan kepala daerah serenrak 2024 hingga sesudahnya, bahkan hingga hari ini, informasi mengenai pasangan kandidat kepala daerah dan kandidat wakil kepala daerah tak henti menjadi perhatian publik.
Sebagai suatu siasat politik, berbagai hal mengenai citra politik, rekam jejak, hingga relasi dalam masyarakat menjadi kabar yang paling diburu masyarakat. Atensi tersebut dapat dibuktikan dengan masifnya pembicaraan tentang pilkada di berbagai media sosial semacam X (dulu Twitter), Instagram dan Tiktok.
Hal ini menjadi gambaran penyebaran informasi di yang sangat cepat dan menyeluruh. Fenomena ini menjadi gambaran suatu demokrasi yang sedang berjalan bisa saja menjadi dialektika publik yang positif, namun juga sebaliknya, justru terjebak dalam dialog solipsistik yang egologi dan manipulatif.
Masalahnya dalam kondisi demikian sebagian besar warganet Indonesia kesulitan melakukan validasi atas informasi yang beredar. Kalaupun ada yang mampu, terbatas pada upaya pencarian sumber rujukan di Internet semacam Google atau hanya berita yang sama-sama beredar di media sosial.
Sedangkan, seperti yang kita ketahui, berbagai rujukan tersebut belum tentu menyediakan objektivitas kebenaran. Dengan demikian, setiap informasi yang beredar berpotensi menyajikan informasi yang keliru, ujaran kebencian, bahkan berita palsu, tanpa upaya yang strategis untuk menangkal.
Masifnya digitalisasi dan pesatnya peningkatan akses ke media sosial membuat semakin banyak argumen bahwa berita palsu efektif memengaruhi politik. Terdapat satire yang menyatakan jika bukan karena berita palsu, Donald Trump tidak akan terpilih sebagai presiden Amerika Serikat.
Begitu pula pada pemilihan presiden 2017 di Prancis dan pemilihan umum di Kenya. Keduanya juga sangat dipengaruhi oleh konten berita palsu di Facebook dan platform digital lainnya. Mengingat semua argumen ini, klaim bahwa konten palsu yang diproduksi di platform berbasis Internet memengaruhi preferensi politik dan pemilihan kepala daerah semakin menguat.
Melalui contoh-contoh tersebut menjadi jelas bahwa ruang politik acapkali diarahkan melalui media sosial dan sejauh mana demokrasi telah dirusak oleh penggunaan media sosial.
Kemajuan teknologi telah membawa konsekuensi yang besar. Kecepatan dengan akses holistik terhadap berbagai hal menjadikan penyebaran informasi di ruang Internet kian tak terkendali. Di antara tingginya intensitas itu, dampak-dampak lain juga bermunculan.
Semakin banyak informasi yang beredar, semakin sempit waktu untuk mengecek terhadap korespondensi kebenaran. Alhasil, semakin sering kekeliruan dan distorsi terjadi. Inilah situasi yang disebut Lee McIntyre sebagai post-truth atau pasca-kebenaran.
Dalam buku Post-Truth (2018), dengan mengutip Oxford Dictionary, McIntyre mengawali penjabaran bahwa post-truth danggap berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan ketika fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada daya tarik terhadap emosi dan keyakinan pribadi.
Para peramu definisi menggarisbawahi bahwa awalan "pasca" untuk menunjukkan bukan hanya gagasan bahwa kita adalah kebenaran "masa lalu" dalam arti temporal (seperti dalam "pascaperang") tetapi dalam arti bahwa kebenaran telah dikalahkan.
Untuk itulah, McIntyre menegaskan bahwa pasca-kebenaran bukan hanya tentang kebohongan dan sekadar pemutarbalikan fakta politik. Sebagaimana konstruksi Stephen Colbert mengenai istilah "kebenaran" yang didefinisikan sebagai diyakinkan oleh apakah sesuatu terasa benar, bahkan jika itu tidak selalu didukung oleh fakta.
Misalnya, kampanye yang sebagian besar tidak berdasarkan fakta mengenai Brexit di Inggris Raya. Saat itu ratusan unit bus mengiklankan statistik palsu bahwa Inggris mengirimkan 350 juta euro seminggu ke Uni Eropa.
Peningkatan penggunaan kampanye disinformasi oleh politikus terhadap rakyat mereka sendiri di Hungaria, Rusia, dan Turki, menunjukkan pasca-kebenaran sebagai bagian tren internasional yang berkembang.
Beberapa orang dengan kekuasaan besar merasa berani membelokkan kenyataan agar sesuai dengan pendapat mereka, bukan sebaliknya. Demikianlah, pada perkembangan terkini, khususnya di Indonesia, kita dapat dengan mudah menemukan berbagai hal yang serupa sebagaimana yang dijabarkan McIntyre.
Mulai dari berbagai data yang ditampilkan lembaga survei dan klaim kemenangan saat pemilihan presiden, informasi di media sosial yang sering kali parsial dan manipulatif, dan isu-isu yang disebarkan secara masif untuk kepentingan segelintir orang telah menjadi makanan sehari-hari.
Kita paham bahwa post-truth menjadi masalah besar ketika seseorang, bahkan publik, tidak melakukan validasi terhadap informasi. Pertanyaan fundamental yang menyusul adalah ketika seseorang telah melakukan validasi, tetapi fakta yang muncul tidak seperti keinginannya, apakah orang itu akan percaya pada kebenaran itu?
Dalam politik praktis di Indonesia, tengok misalnya, ketika berbagai lembaga survei mulai merilis pemenang pilkada melalui quick count, sedangkan secara kolektif, beberapa lembaga tersebut ternyata memenangkan pasangan calon yang bukan pilihan Si A, lantas yang terjadi, orang itu tidak percaya meskipun hasilnya dapat divalidasi.
Dapat dipastikan bahwa Si A tidak mampu memakai peranti-peranti rasionalisme dan empirisme, sebaliknya, ia dibelenggu naluri dan keyakinan egologinya. Dengan demikian, masalah sebenarnya di sini, menurut McIntyre, adanya gagasan bahwa kebenaran seolah tergantung pada apa yang ingin kita yakini.
Artinya, perasaan keyakinan dan emosional lebih penting daripada fakta objektif. Inilah poin penting dampak dan subtansi post-truth. Di titik inilah, kesadaran untuk melepaskan ”keyakinan emosional” dan ketelitian terhadap berbagai informasi yang beredar menjadi urgen.
Untuk itulah, tidak bisa dibantah, bahwa siapa pun harus aktif membaca untuk melakukan validasi terhadap informasi yang didapatkan. Dalam upaya melawan post-truth, McIntyre memang tidak menyediakan peranti yang spesifik.
Mau tak mau publik harus mengadopsi skema dalam jurnalistik untuk menemukan kualitas suatu informasi dan berita. Seperti pandangan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism, esensi dari jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
Presiden Chicago Innocence Project, David Protess, dalam The Essentials of Journalism (Tom Rosenstiel) menjelaskan disiplin verifikasi dapat dikombinasikan dengan metode verifikasi dalam tiga lingkaran.
Dalam tulisan tersebut, Protess menjabarkan melalui gambar serangkaian lingkaran yang berpusat di papan tulis. Di lingkaran terluar terdapat dokumen sumber sekunder, seperti laporan pers atau hasil penelitian.
Lingkaran berikutnya adalah dokumen sumber primer, dokumen persidangan seperti kesaksian dan pernyataan. Lingkaran terdalam adalah orang-orang atau aktor yang terlibat langsung, para saksi atau yang terlibat
Melalui tiga domain lingkaran tersebut, seseorang perlu melihat apakah semua hal yang ada di dalamnya linier dan relevan. Dengan kata lain, prosesnya tentu saja dengan memeriksa lingkar sumber dan memverifikasi data yang didapatkan. Inilah langkah penting dalam menghadapi ledakan informasi, lebih-lebih pada masa post-truth seperti saat ini.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Desember 2024. Penulis adalah dosen di Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)
Sentimen: neutral (0%)