Sentimen
Undefined (0%)
19 Des 2024 : 13.50

Siapa Ibu Budi?

19 Des 2024 : 13.50 Views 5

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Siapa Ibu Budi?

Dibandingkan metode belajar membaca saat ini, narasi keluarga Budi dalam pelajaran Bahasa Indonesia untuk generasi yang duduk di kelas I sekolah dasar pada era 1980 hingga 1990 saya rasa jauh lebih baik. 

Metode itu bukan hanya mengajak siswa mengenal huruf, namun metode ini juga membawa elemen atmosferik sebuah keluarga yang membuat kita berimajinasi perihal keluarga bahagia –cikal bakal keluarga Cemara–sebuah keluarga imajinatif produk budaya populer.

Pada satu sisi, saya sepakat dengan pendapat tersebut mengingat begitu keringnya metode belajar membaca saat ini. Benarkah narasi keluarga Budi tidak punya catatan dan benar-benar bebas nilai? Pertanyaan yang paling mengusik benak saya muncul kemudian: benarkah narasi ini hanya tentang pelajaran membaca?

Serbuan pertanyaan lain menyusul di benak saya. Pertama, benarkah narasi keluarga Budi sudah mencerminkan keluarga ideal? Apa itu ideal dan di mata siapakah ideal itu? Kedua, sudahkah teks keluarga Budi menggambarkan representasi anggota keluarga secara adil? Seberapa jauh pesan narasi ini membentuk konsensus kita (generasi milenial khususnya) tentang identitas anggota keluarga? 

Pertanyaan beruntun itu muncul di kepala saya dan sebenarnya mereka semua adalah ketidaksengajaan sepenuhnya. Kesemuanya muncul ketika saya sedang menyusun materi perihal berpikir kritis untuk para guru di sekolah menengah kejuruan (SMK) dan kemudian mencoba memasukkan isu kesetaraan gender di dalamya.

Pada akhirnya saya menyerah pada suara berisik perihal keluarga Budi di kepala dan mulai mencari narasi serta gambar-gambar mereka di peramban. Sebuah keluarga yang bahagia–begitu kesan pertama saya sejak dulu sampai sekarang begitu melihat gambar Budi dan keluarganya. 

Tidak ada yang salah, begitu susul suara lain, namun benarkah seperti itu? Kenapa terasa ada sesuatu yang mengganggu? Saya terus menatap gambar keluarga Budi dan merasakan kejanggalan yang makin intensif walau saya belum tahu apa itu. Saya berharap bisa melangkah lebih jauh.

Keluarga Budi dalam bayangan saya, sekali lagi, seperti pendahulu keluarga Cemara yang merupakan penggambaran situasi keluarga pada masa itu sekaligus impian representasi peran masing-masing anggota.

Seorang ayah yang bekerja; seorang ibu rumah tangga penuh waktu yang mengurus semua keperluan anggota keluarga; dan anak-anak yang membantu orang tua sesuai konsensus peran gender. Budi membantu ayah, Wati (si sulung) membantu ibu, sementara si bungsu belum jelas perannya.

Budi adalah pusat dari narasi keluarga ini. Mari kita ingat teksnya: ”Ini Budi” yang kemudian berlanjut ”Ini Bapak Budi”; ”Ini Ibu Budi”; ”Ini kakak Budi”; dan ”Ini adik Budi”. Wati adalah kakak Budi, namun ingatan saya perihal nama adik Budi mulai samar–walau seingat saya namanya adalah Iwan. 

Seingat saya lagi, walau juga lebih samar, bapak si Budi namanya Pak Madi sedangkan ibunya adalah Bu Madi. Pekerjaan saya belum selesai. Saya belum menemukan nama ibu si Budi selain nama Bu Madi. Jadi, siapa nama perempuan yang selalu berkebaya ini? 

Kenapa semua anggota keluarga punya nama, sementara dia justru tidak? Kenapa anak bungsu yang tidak berperan apa pun di rumah itu malah sudah punya identitas, sementara si ibu tidak? 

Kenapa pusat keluarga ini adalah Budi, si anak tengah, bukan justru Wati yang merupakan anak sulung dengan lebih banyak tanggung jawab di pundaknya dibandingkan kedua adiknya?

Meski belum mendapat jawaban perihal nama ibu Budi, saya lega memperoleh pertanyaan yang tepat. Saya lega karena saya mulai mempertanyakan nama ibu Budi dan mengapa pemusatan narasi ada pada Budi, bukannya pada Wati. 

Bagi saya, pertanyaan tepat sangat berarti dalam menentukan cara pandang selanjutnya perihal pengabaian identitas tentang ibu Budi sekaligus Wati. 

Jejak. Setiap teks selalu punya jejak, begitu kata filsuf Prancis, Roland Barthes, ketika dia mengalami momen janggal dengan teks gambar di sebuah barbershop. Saat itu, dia melihat majalah dengan foto tentara kulit hitam menghormat pada bendera Prancis.

Di permukaan, Barthes menangkap ada promosi kesetaraan dalam foto tersebut, namun jejak-jejak di lapisan pemaknaan kedua justru menunjukkan situasi berlainan dan itu adalah praksis mengenai penaklukan dan penjajahan yang dilakukan Prancis.

Mencoba berpikir seperti Barthes, saya kini mulai memahami dengan sangat jelas apa yang Barthes rasakan di barbershop. Ketika melihat gambar keluarga Budi sekali lagi, di permukaan saya menangkap perihal citra keluarga yang bahagia, namun di lapis pemaknaan kedua, tempat ideologi dan mitos-mitos bersembunyi, saya justru mendapatkan hal yang tidak saya duga. 

Pesannya jelas, itu adalah promosi tentang subordinasi perempuan–sebuah bentuk pengabaian perempuan yang sangat nyata pada zaman itu dan sayangnya bertahan sampai sekarang. Wati, sebagai contoh, tetap punya identitas personal karena gadis ini belum menikah, namun begitu Wati menikah, dia akan kehilangan identitas seperti juga ibunya. 

Identitas Wati akan menyesuaikan nama suaminya. Beginilah ideologi diskriminasi bekerja dalam teks dominan hingga membuat saya kesulitan menangkap keanehannya karena sudah menjadi bagian internal alam bawah sadar saya–normalisasi perihal bias representasi (pengakuan yang minim penghormatan terhadap perempuan) yang diwariskan antargenerasi dalam bentuk ideologi patriarki.

Dampak normalisasi ini, yang membuat saya cemas, tidak sesederhana tentang hilangnya nama, melainkan juga hilangnya keamanan secara keseluruhan. Ini adalah jawaban kenapa kekerasan terhadap perempuan lebih sering terjadi di rumah tangga, bukannya di ruang publik atau instansi.

Saya pikir argumentasi tentang sifat rumah tangga yang internal/tertutup terlalu menyederhanakan masalah karena era Internet adalah era keterbukaan radikal—semua anggota keluarga bisa menyampaikan pendapatnya dan mengabarkan kondisinya. 

Kenapa kekerasan terhadap perempuan di rumah tangga makin banyak terjadi? Jawabannya kembali lagi pada ideologi bias representasi. Menjadi istri benar-benar membuat identitas perempuan hilang—tak lebih dari sekadar properti. 

Membuka kepada publik perihal perlakuan buruk suami hanya akan menyerang perempuan sendiri perihal ketidakmampuan dalam menjaga karakter suami, tidak bisa melayani secara benar sehingga menimbulkan ketidakpuasan dari anggota keluarga yang lain, juga eksistensinya yang lemah.

Kesadaran ini sangat menyesakkan, membuat saya bertanya-tanya adakah kesempatan untuk mengubah ideologi ini dan kapankah itu terjadi? Bisakah pada masa depan nanti teks tersebut berubah menjadi ”Ini Wati”; ”Ini Pak Madi”; ”Ini Bu Siti”; ”Ini Budi”; ”Ini Iwan”. Mereka saling menghormati.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Desember 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)