Sentimen
Positif (66%)
18 Des 2024 : 19.53
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Institusi: Universitas Indonesia, UNPAD

Kab/Kota: Bangka, Solo

Partai Terkait

Kenapa PDIP Baru Pecat Jokowi & Parpol Harus Tegas ke Kader?

18 Des 2024 : 19.53 Views 26

Tirto.id Tirto.id Jenis Media: News

Kenapa PDIP Baru Pecat Jokowi & Parpol Harus Tegas ke Kader?

tirto.id - Pemecatan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) beserta keluarga oleh PDIP merupakan momentum tepat bagi pembenahan kompas moral partai politik di Indonesia. Parpol tidak boleh segan dan pragmatis dalam menegakkan etika politik serta tunduk pada hukum dan konstitusi. Siapapun kader yang cacat secara hukum dan etika, mesti mendapat sanksi keras karena akan mendegradasi citra parpol di mata publik.

Selain Jokowi, PDIP juga memecat Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Wali Kota Medan, Bobby Nasution. Pemecatan keluarga Jokowi tertuang dalam Surat Keputusan (SK) nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024; SK nomor 1650/KPTS/DPP/XII/2024 dan SK nomor 1651/KPTS/DPP/XII/2024. Semua SK bertarikh 4 Desember 2024 dan dilengkapi tanda tangan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

PDIP juga memecat 24 kader lain akibat tak sejalan dengan kode etik dan disiplin partai. Pelanggaran puluhan kader PDIP itu terkait pemilihan kepala daerah serentak atau Pilkada 2024. Beberapa dipecat karena memilih maju di pilkada dengan parpol lain. Selain itu, juga ada yang melanggar etik karena tidak mendukung calon yang diusung PDIP.

Terkait pemecatan tersebut, Gibran Rakabuming Raka mengaku menghormati keputusan partai.

“Kami menghargai dan menghormati keputusan partai, untuk saat ini saya pribadi akan lebih fokus untuk membantu Bapak Presiden Prabowo,” kata Gibran di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur (Selasa/17/2024).

Gibran pun enggan mengungkapkan apakah hendak masuk partai lain.

“Tunggu saja,” ungkap Gibran.

Hal senada juga diungkapkan Jokowi. Ia mengaku tak masalah dipecat sebagai kader partai berlambang banteng tersebut.

"Saya menghormati itu," kata Jokowi usai bertemu organ Relawan BaraJP di kediamannya, di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Selasa (17/12/2024).

Jokowi juga enggan membela diri usai dipecat dari parpol yang telah mengantarkannya menjadi wali kota hingga presiden dua periode itu.

"Saya tidak dalam posisi untuk membela atau memberikan penilaian karena keputusan itu sudah terjadi," kata dia.

Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Mensesneg Pratikono sebelum memimpin rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/8/2024).ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Spt.

Mengapa PDIP Baru Pecat Jokowi dan Gibran?

Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, dalam keterangannya, Senin (16/12/2024), menyatakan alasan partai berlogo banteng moncong putih baru memecat Jokowi sebab hendak menjaga martabatnya sebagai presiden RI. Selain itu, usai Pemilu 2024, PDIP juga masih harus fokus memanaskan mesin untuk pilkada serentak sehingga baru dapat mengevaluasi kader-kader yang melanggar AD/ART partai sekarang ini.

“Bukan khusus hanya soal Jokowi dan keluarga, tetapi kader-kader di seluruh Indonesia,” kata Dedy.

Jokowi dipecat salah satunya sebab intervensi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan penggunaan instrumen negara demi kepentingan keluarga. Manuver Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai presiden, telah menimbulkan dampak yang sistemik. Langkah politik Jokowi menjadi awal rusaknya sistem demokrasi, hukum dan moral etika berbangsa dan bernegara.

Sementara Gibran dan Bobby dipecat karena tidak sejalan dengan haluan politik PDIP saat pilpres dan Pilkada 2024. Gibran juga disebut memanfaatkan intervensi MK yang dilakukan ayahnya, yakni Jokowi, untuk maju sebagai calon wakil presiden di pilpres.

Momentum pemecatan keluarga Jokowi dan puluhan kader PDIP mencerminkan pentingnya ketegasan parpol tunduk pada aturan konstitusi. AD/ART parpol wajib dilakoni dengan terus sejalan terhadap penghormatan hukum dan etika berpolitik. Keropos demokrasi jelas timbul ketika parpol –dari para elite hingga kader-kadernya– melangkahi konstitusi dan terjatuh ke lembah pragmatisme politik tanpa adab.

Ahli hukum kepemiluan dan pengajar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menilai, partai politik semestinya memang tunduk pada kode etik yang ditegakkan konsisten dan akuntabel. Ketegasan itu harus berlaku kepada seluruh anggota parpol, tidak terkecuali para elite partai. Kode etik tersebut menggambarkan nilai dan prinsip yang dianut oleh partai politik.

“Sehingga siapapun yang melanggar akan dilakukan penegakan secara adil dan setara,” kata Titi kepada reporter Tirto, Selasa (17/12/2024).

Selain itu, kata Titi, untuk menghadirkan perlakuan yang adil dan inklusif, maka penegakan etika para kader parpol harus dilakukan Mahkamah partai dengan terbuka, transparan, dan akuntabel. Hal ini dilakukan untuk menghindari perlakuan yang sewenang-wenang ataupun diskriminatif.

Menurut dia, idealnya parpol adalah organisasi kepentingan berbasis ideologi. Maka wajar bila hadir mekanisme penegakan disiplin organisasi yang ketat bagi mereka yang melanggar kode etik, hukum dan konstitusi negara, serta ideologi partai.

“Mestinya penegakan disiplin dilakukan secara konsisten terhadap semua kader maupun elite partai dengan mekanisme yang juga diberlakukan adil dan setara,” terang Titi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, melihat aras politik di Indonesia saat ini membuat ⁠partai ideologis tidak terlampau menjanjikan. Wajar jika saat ini sikap politik parpol cenderung pragmatis dengan orientasi utamanya hanya berkutat pada keuntungan elektoral. Hanya segelintir parpol, kata Adi, yang terlihat masih memelihara komitmen ideologis seperti PDIP dan PKS. Itu pun terkadang masih saja hitam-putih dalam menerapkan garis ideologinya.

“Pelembagaan partai di kita lemah. Efeknya mudah saja orang ke luar masuk partai sesuka hati. Di kita yang kuat entitas personal, semacam identitas personal lebih kuat dibanding identitas kepartaian,” jelas Adi kepada reporter Tirto, Selasa (17/12/2024).

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berpidato usai memberikan dukungan kepada sejumlah bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang akan diusung dalam Pilkada 2024 di Jakarta, Kamis (22/8/2024). PDI Perjuangan resmi memberikan dukungan kepada 169 bakal calon kepala daerah termasuk enam bakal calon gubernur untuk daerah Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bali, Papua Tengah dan Papua Selatan pada Pilkada 2024. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wpa.

Tantangan Masa Depan Parpol

Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, memandang parpol secara moral memang memiliki kewajiban menjaga muruah politik. Kendati begitu, faktanya selama ini parpol justru cenderung memikirkan kekuasaan secara pragmatis. Sikap ini pula, kata dia, menjadi penyebab Jokowi dicintai elite politik yang kecipratan manfaat pengaruhya.

Dedi memandang substansi pemecatan Jokowi dan keluarga oleh PDIP juga masih terjebak dari hitung-hitungan politis. Langkah PDIP dinilai tidak juga menunjukkan ketegasan karena Jokowi melanggar etika berpolitik dengan menyalahgunakan kekuasaan.

“Terbukti pemecatan dilakukan saat seluruh kontestasi politik usai, artinya ini soal PDIP tidak lagi memerlukan Jokowi dan memang Jokowi membangkang, tidak terkait idealisme partai,” kata Dedi kepada reporter Tirto.

Kekacauan praktik politik di Indonesia lebih banyak disebabkan karena tingkah parpol dan para elite partai yang korup dan pragmatis. Parpol sudah gagal berperan sebagai perantara kesejahteraan dan ketertiban politik di Indonesia. Utamanya menjaga marwah konstitusi dan teguh berpihak pada kepentingan umum.

Kekhawatiran serupa juga diungkapkan Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo. Menurut Kunto, pelanggaran etika politik dan penyalahgunaan kuasa memang menjadi alasan ideal bagi parpol memecat kader bermasalah. Namun, jangan sampai parpol hanya bersikap tegas ketika situasi politik tidak menguntungkan bagi mereka. Hal ini sama saja dengan berlagak tegas namun tetap terjebak pada pragmatisme yang sama.

“Parpol ini baru menghukum kadernya ketika dia tidak diuntungkan dan membiarkan saja saat dia diuntungkan. Kan itu masalahnya di sini selama ini,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Selasa (17/12/2024).

Menurut Kunto, parpol harus tetap tunduk pada etika politik dan konstitusi meskipun tidak memiliki garis ideologis yang kuat. Saat ini terjadi krisis kompas moral parpol-parpol di Indonesia. Parpol terjebak pada moralitas yang mendahulukan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan publik.

“Parpol yang berfungsi ideal adalah modal demokrasi yang kuat,” ujar Kunto.

Sentimen: positif (66.7%)