Sentimen
Positif (100%)
15 Des 2024 : 09.39
Informasi Tambahan

Brand/Merek: Adidas, Apple

BUMN: TransJakarta

Event: Asian Games

Institusi: IPB, Universitas Indonesia

Kab/Kota: Bogor, Denpasar, Depok, Malang, New York, Palmerah, Senayan, Tegal, Yogyakarta

Kasus: covid-19

Tokoh Terkait

Aku Lari, Maka Aku Ada

15 Des 2024 : 09.39 Views 29

Tirto.id Tirto.id Jenis Media: News

Aku Lari, Maka Aku Ada

tirto.id - Berlari merupakan separuh rute antara ritual dan impuls bagiku, panggilan yang aku harus selalu tanggap, masa bodoh betapa tak sedianya diriku – Larissa Pham

Kuyu menjerat tubuh Ahmad Bayhaqi setelah hampir sepekan gejala COVID-19 menyerang. Awal 2021, pandemi mengganas di setiap sudut kota. Saat itu, Bayhaqi salah satu dari jutaan manusia yang terdampak virus Corona. Beruntung, hanya perlu tiga hari sampai hasil tes usap menegaskan pria asal Kota Bogor itu sudah negatif. Namun lemas tak juga luntur dari badannya.

Hingga pada suatu pagi, Bayhaqi memfungsikan kembali sepatu olahraga lawas miliknya. Jersey bola klub kesayangannya sudah rapi terpakai. Celana training hitam agak kebesaran tak luput melengkapi setelannya. Bayhaqi mulai berlari. Memaksa tubuhnya untuk bergerak lebih aktif, merasa hidup kembali. Ia terus berlari.

Tak terasa lima kilometer ditempuh. Diselingi banyak jalan kaki tentu saja. Namun ia merasa segar. Napasnya mampu membenam lebih dalam. Kepalanya terasa enteng. Keringat yang bercucuran di tubuhnya, selaiknya hujan pada gurun yang gersang. Tubuhnya seperti baru disetel ulang. Pagi itu, di area kampus IPB Bogor yang penuh pepohonan rindang dan trek lari yang ciamik. Bayhaqi jatuh hati pada olahraga lari.

“Dibandingkan olahraga lain, ya lari itu gua pilih karena simpel aja gitu. Lu enggak butuh orang lain buat mainnya. Kayak minimal bulutangkis, kan, butuh dua orang, tetapi kalau lari bisa langsung,” ujar pria berusia 26 tahun itu kepada Tirto, Selasa (11/12/2024) malam.

Sejak momen itu, Bayhaqi semakin rutin menggeluti olahraga lari. Dalam sepekan, ia empat hari setidaknya meluangkan waktu untuk lari. Rute andalannya ada tiga: kompleks kampus IPB, Kebun Raya Bogor, dan area kampus Universitas Indonesia, Depok.

Lari, kata Bayhaqi, sudah menjadi metode eskapisme diri agar tak terjatuh dalam kemalasan dan tubuh yang loyo. Hingga hari ini, pria yang bekerja sebagai konsultan bisnis itu masih menyempatkan berlari di tengah kesibukannya. Pagi hari, sebelum ia bertatap muka dengan laptop yang penuh tuntutan tugas, Bayhaqi akan berlari jika cuaca tengah cerah. Ia merasa harinya dimulai dengan kemenangan jika mampu beranjak dari dipan dan turun ke jalan.

“Sejak 2021 gua pilih lari karena bisa refresh pikiran gua dan menghindari kontra-produktif tidur di pagi hari sih. Jadi ya udah gue lari terus,” kata Bayhaqi.

Lari pada hakekatnya merupakan induk dari berbagai macam olahraga. Olahraga lari seperti menemukan daya lentingnya hari ini. Di wilayah perkotaan atau urban, tak sulit menemukan orang memakai singlet atau kaos olahraga di tengah orang-orang lain yang berdandan rapi dengan kemeja atau blazer. Orang berlari, bahkan pada hari kerja. Bisanya langsung, usai pekerjaan rampung dan hasrat berolahraga menggunung.

Olahraga lari memang menemukan tanah suburnya di kalangan kelas menengah urban. Tak heran, sebab lari bukan lagi sekadar olahraga an sich, namun telah berevolusi menjadi gaya hidup. Maka amat mudah menemukan seseorang dalam daftar kawan daring di media sosial pribadi kita, yang pasti rajin mengunggah aktivitasnya berolahraga lari.

Olahraga lari hari ini sudah sepaket dengan hasrat dan tuntutan menebalkan eksistensi diri. Lewat klub atau komunitas lari misalnya, terjadi ikatan sosial yang terasa lebih hidup. Hal ini jadi semacam oase bagi manusia-manusia kota yang jenuh akan tuntutan hidup super cepat dan ikatan sosial yang terus luntur menjadi maya.

Bayhaqi misalnya, merasakan ada sederet hal positif dari eksistensi klub atau komunitas lari meskipun belum sempat bergabung secara resmi. Ia nyaman membangun relasi bersama orang dengan hobi yang sama. Itulah mengapa, kata dia, acara lomba lari seperti event fun running atau ajang maraton adalah tempat terbaik mencari kawan.

Di sisi lain, Bayhaqi tak merasa bahwa pelari yang sering mengunggah capaiannya di media sosial sebagai hal yang negatif. Sebaliknya, ia mengaku lebih banyak kecipratan sisi positif akibat fenomena itu. Bayhaqi merasa lebih terpelatuk untuk meningkatkan produktivitas dan aktivitas olahraganya jika melihat kawan di media sosial memamerkan capaian larinya.

“Dalam konteks ini, lari, itu gua jadi terpacu untuk lari juga. Apalagi ditambah weekend gua tidur atau ketiduran, dan pas lihat di HP orang sudah lari jauh, dan gua jadi merasa menyesal,” ucap Bayhaqi.

Ilustrasi Run Test. foto/istockphoto

Rayhan Fadillah justru merasa sebaliknya. Pria asal Kota Malang tersebut menasbihkan diri sebagai pelari soliter. Ia lebih kerasan jika berlari sendiri. Alasannya, lebih fleksibel dan tidak harus mengikuti standar dan dorongan orang lain. Rayhan juga tak begitu minat bergabung dalam klub/komunitas lari.

“Kalau ikut komunitas, kan, otomatis menyesuaikan jadwal orang lain ya. Jadi kalau sendiri sih, kalau enggak ikutan sih bisa fleksibel bisa sendiri atau paling misal ajak 1-2 orang teman aja gitu, jadi enggak terlalu ada masa yang banyak,” ucap Rayhan yang sekarang ini tinggal di Jakarta karena bekerja di salah satu perusahaan swasta di kawasan Palmerah.

Rayhan sendiri setuju bahwa perkembangan olahraga lari hari ini begitu pesat. Pria berusia 24 tahun itu memang sudah rutin menggeluti olahraga lari sejak di bangku SMA. Semenjak tinggal di Jakarta, ia semakin rajin mengikuti beberapa acara lomba lari. Saat ini, area GBK dan Senayan adalah rute lari favoritnya. Ia rutin berlari di hari Minggu sekali dalam sepekan.

Dari kacamatanya, perkembangan olahraga lari pada kalangan kelas menengah urban tidak selalu membawa sisi positif. Misalnya, ungkap dia, sekarang olahraga lari semakin berubah menjadi olahraga mahal. Perlengkapan lari dari jenama internasional beken membuat orang tak hanya mencari kebugaran dan manfaat kesehatan olahraga, namun juga ajang bergaya.

Tidak jadi masalah, kata dia, bila memang individu tersebut mampu dan merasa perlengkapan lari dengan harga mahal akan membuatnya semakin produktif. Namun, Rayhan cenderung melihat kebanyakan justru bermuara sebaliknya. Tuntutan komunitas/klub seakan-akan jadi membebani pelari untuk mengejar standar yang sama dengan pelari lain.

“Soal performa lari gitu kan karena status orang beda-beda ya. Kemudian fisik beda-beda. Itu [harusnya] jadi ruang buat masing-masing orang improve gitu bukan malah apa namanya menyamakan standar,” ucap Rayhan.

Olahraga Lari Tumbuh Pesat

Olahraga lari di kalangan kelas menengah urban memang menggandeng fenomena sosial anyar. Tak hanya tuntutan untuk mengunggah aktivitas dan perlengkapan lari di media sosial, namun juga turut mengubah kebiasaan pelari.

Kiwari muncul berbagai aplikasi kebugaran dan alat yang mampu mencatat capaian kebugaran seperti jam pintar (smartwatch). Aplikasi seperti Strava, Adidas Running, Runkeeper, hingga jam pintar macam Garmin sampai Apple Watch, membantu aktivitas fisik menjadi lebih terpersonalisasi. Di sisi lain, berjamurnya alat pengukur kebugaran juga membuat olahraga lari semakin menarik dan kompetitif.

Penggiat lari, Agus Hermawan atau yang akrab disapa Abah Ush, memandang olahraga lari di Indonesia mencapai puncaknya hari ini. Meski begitu, Abah Ush melihat geliat olahraga lari di Indonesia mulai tumbuh subur sejak 2012 sampai 2013 silam. Kala itu, muncul berbagai komunitas lari yang menjadi pemantik tren olahraga lari di masyarakat semakin menjamur.

“Kebetulan juga waktu itu ada satu movement atau gerakan dari teman-teman IndoRunners. Sehingga lari itu semakin berkembang, berkembang terus sampai bahkan sempat booming itu sebelum COVID,” kata Abah Ush kepada reporter Tirto, Rabu (11/12/2024).

Abah Ush yang juga penulis buku tentang olahraga lari bagi pemula bertajuk Enggak Lari, Enggak Keren (2024) itu, menilai berlari bukan lagi menjadi sebuah tren. Saat ini, ucap Ush, olahraga lari adalah gaya hidup sehat yang digandrungi berbagai lapisan masyarakat. Gaya hidup sehat di kalangan masyarakat kelas menengah dinilai terus menguat usai pandemi.

Perkembangan pesat pelari aktif di Indonesia misalnya terekam oleh data Garmin Connect. Dilansir The Iconomics, produsen jam pintar asal Amerika Serikat itu merekam adanya tiga kali lipat peningkatan pelari aktif pada 2024. Dari Januari hingga Mei 2024, Garmin mencatat ada sebanyak 80 ribu pengguna yang aktif berolahraga lari di Indonesia. Terjadi peningkatan yang signifikan pada periode yang sama di tahun lalu yang hanya mencapai 35 ribu pelari.

Di sisi lain, peningkatan peminat lari juga terjadi secara global. Garmin Fitness Report 2023 mencatat bahwa lari menjadi aktivitas olahraga teratas yang dilakoni pengguna. Adapun di posisi kedua hingga kelima secara berurutan: berjalan, bersepeda, latihan kekuatan, hingga kardio dalam ruangan menjadi aktivitas favorit lainnya.

Masih dalam laporan sama, tipe olahraga lari trek menjadi yang paling banyak berkembang dengan persentase pelari bertambah 76 persen. Diikuti peningkatan aktivitas jenis treadmill (16%), lari indoor (15%), lari trail (11%), dan lari luar ruangan (5%).

Abah Ush menyatakan bahwa memang terjadi perubahan di lanskap usia para pelari. Dulu, kata dia, para pelari yang mampu mengikuti acara balap (race) atau maraton hanya mereka yang mapan. Pasalnya, orang-orang belum rela mengeluarkan uang cukup besar untuk ikut perlombaan atau kegiatan olahraga lari. Maka, hanya kalangan mapan dan punya pekerjaan stabil yang biasanya mampu registrasi lomba lari.

"Umurnya itu di atas 35 ke atas, kenapa? Karena untuk ikut race itu kan mahal-mahal. Nah jadi, baru orang-orang yang sudah kerja yang bisa mengikuti race mereka yang bisa membeli uang registrasi,” jelas Ush.

Sementara itu, dulu para pemuda atau anak-anak cenderung lebih menyukai olahraga yang bertipe permainan seperti sepakbola atau basket. Namun hari ini, ungkap Abah Ush, situasi tersebut berubah 180 derajat. Menurut Abah Ush, pelari di Indonesia saat ini justru semakin ‘memuda’.

Tak hanya lebih muda, pelari saat ini semakin merata di berbagai kalangan. Meskipun ia tak membantah bahwa perkembangan pesat terjadi di kelompok kelas menengah urban. Situasi ini menandakan perkembangan olahraga lari semakin berkembang menjadi gaya hidup.

“Sekarang itu sudah merata, semua sudah suka lari,” tutur Ush.

Pengamatan Abah Ush senada dengan laporan Indeks Pembangunan Olahraga (IPO) 2023 yang dirilis oleh Kemenpora. Jenis olahraga atletik yang meliputi lari, menempati posisi kedua dalam jenis olahraga yang paling banyak dilakoni remaja Indonesia. Pada kelompok pemuda, partisipasi olahraga sepakbola berada di posisi puncak sebanyak 24,5 persen atau setara dengan 14,3 juta pemuda di Indonesia.

Adapun olahraga atletik sebesar 21,3 persen atau setara dengan 12,4 juta pemuda di posisi kedua. Selain itu, ada olahraga bola voli sebesar 18,8 persen atau setara dengan 10,9 juta pemuda, serta bulutangkis sebesar 9,1 persen atau setara dengan 5,3 juta pemuda.

Dari aspek tujuan atau motivasi, Laporan IPO 2023 turut mencatat, pada kelompok pemuda, olahraga untuk tujuan nonprestasi mencapai sebesar 96 persen. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan olahraga untuk tujuan prestasi yang hanya sebesar 4 persen. Sementara itu, olahraga untuk tujuan kesehatan di kalangan pemuda mencapai 69,1 persen.

Media sosial dinilai punya peranan signifikan menggaet para pelari baru. Abah Ush menilai, pelari hari ini memang tidak bisa dipisahkan dengan hasrat untuk membuat konten maupun mengunggah aktivitas larinya ke media sosial. Ush menilai fenomena ini justru lebih banyak menghasilkan pengaruh positif karena memasyarakatkan olahraga lari di semua kalangan.

Abah Ush menilai efek samping yang mungkin muncul adalah fear of missing out (FOMO) di kalangan pelari pemula. Namun, kata dia, pamer gaya hidup sehat memang sudah menjadi satu kesatuan dengan berolahraga itu sendiri. Merebaknya postingan olahraga lari di media sosial akan membuat olahraga lari semakin pamor dan keren.

“Jadi itu hal yang positif saya lihat, harus diakui, media sosial tuh luar biasa kekuatan untuk memasyarakatkan lari menjadi seperti sekarang,” ujar Ush.

Kendati demikian, Ush menyoroti pula sikap FOMO pelari pemula yang berpotensi membuat mereka justru tak menikmati olahraga lari. Misalnya, fenomena joki untuk aplikasi maupun alat pencatat aktivitas kebugaran.

Dalam konteks ini, joki berlari seraya dititipi alat/aplikasi pencatat aktivitas fisik milik kliennya. Hal ini agar pemilik asli alat atau aplikasi tersebut tidak perlu bersusah-payah berlari jarak jauh. Menurut Ush, sebetulnya fenomena ini bukanlah hal baru dan memang bermula dari keisengan belaka.

Selain itu, Abah Ush juga menyoroti pelari pemula yang terlalu berfokus pada tampilan dan alat-alat lari alih-alih berlari dengan konsisten dan benar. Ush menegaskan bahwa berlari merupakan olahraga paling murah, simpel, dan mudah. Terlebih, sudah banyak produk lokal yang tak kalah bagus dengan harga yang kompetitif. Salah fokus pelari anyar ini membuat olahraga lari seakan-akan menjadi olahraga yang mahal dan eksklusif.

“Karena orang mulai harus memperhatikan penampilan kan? Gaya lah. Sepatu harus yang terbaru, jersey baru, jam harus brand apa, seri apa. Padahal saya bilang, lari itu olahraga yang murah, yang mahal itu gaya lo,” ucap Abah Ush.

Peserta berlari saat mengikuti event lari Jakarta Sky Fun Run 2024 di jalan layang Trans Jakarta koridor 13 Tegal Mampang - Ciledug di Jakarta, Minggu (26/5/2024). Kegiatan yang diikuti oleh ribuan peserta ini, diadakan dalam rangka menyambut hari jadi Kota Jakarta yang ke- 497. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.

Penggiat lari sekaligus pendiri Running Rage, Adystra Bimo, menilai fenomena pelari yang berfokus pada peralatan mahal memang tak selamanya buruk. Ada kalanya, peralatan lari itu memang dibutuhkan sesuai dengan kondisi masing-masing pelari. Terlebih, kata dia, ada tipe pelari yang memang fokus pada kebugaran tubuh dan ada yang mencari aktualisasi diri.

“Jadi balik lagi ke motivasi orang sih. [Jika untuk sehat] membangun disiplin itu yang paling penting,” ucap Bimo kepada reporter Tirto, Rabu (11/12/2024).

Ia memandang, olahraga lari menemukan momentumnya setelah Asian Games 2018 yang dihelat di Indonesia. Saat itu, terjadi pemugaran infrastruktur olahraga besar-besaran. Hal ini membuat masyarakat semakin tertarik olahraga. Setelah itu, lari mencapai titik lentingnya di 2021 saat masa pandemi COVID-19. Acara atau lomba lari jadi semakin pesat bertumbuh.

Sementara itu, Bimo melihat pula bahwa berlari secara berkelompok atau ikut komunitas lari juga mampu menggenjot pelari pemula. Komunitas membuat pelari baru menemukan wadah untuk mencari informasi dan pengetahuan seputar olahraga lari. Tidak hanya itu, komunitas lari akan membangun motivasi karena terjadi ikatan sosial antaranggota. Bimo memandang optimistis ke depan, lari akan semakin pesat di kalangan masyarakat yang melek kesehatan.

“Olahraga lari pasti bukan jadi tren sesaat. Tetapi akan jadi gaya hidup orang Indonesia kebanyakan. Karena ini paling mudah diakses. Jalanan enggak perlu sewa, tinggal modal sepatu lari,” terang Bimo.

Keinginan pelari untuk bergabung dalam kelompok atau komunitas juga tergambar di dalam laporan Strava Year In Sport: Trend Report 2024. Laporan Strava menunjukkan peningkatan minat yang besar terhadap klub lari dan aktivitas berkelompok untuk bersosialisasi. Hal itu terungkap sebagai pendorong utama orang untuk berolahraga. Partisipasi dalam klub lari di seluruh dunia pada 2024 naik 59 persen. Di Indonesia sendiri, jumlahnya meningkat hingga 83 persen.

Menggenjot Kesenangan, bukan Beban

Strava mencatat, rata-rata jarak berlari, bersepeda, dan mendaki secara berkelompok atau dalam aktivitas lebih dari 10 orang meningkat 40 persen dibandingkan aktivitas sendirian. Di Indonesia, terjadi peningkatan rata-rata yang lebih signifikan, yakni hingga 95 persen. Data ini dihimpun dari data aktivitas dari komunitas global Strava yang meliputi lebih dari 135 juta orang di lebih dari 190 negara, termasuk Indonesia.

Menurut data global Strava, perkembangan aktivitas fisik secara beramai-ramai paling pesat terjadi di Jakarta Selatan, Indonesia, dengan persentase 78 persen. Jakarta Selatan unggul dari kota-kota besar lain di dunia semisal Fortaleza di Brazil, Lyon di Prancis, bahkan New York di Amerika Serikat. Data ini menunjukkan bahwa aktivitas olahraga secara komunitas di Indonesia terus bertumbuh dengan pesat.

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menjelaskan bergabung ke klub atau komunitas lari dapat dilihat sebagai bentuk pencarian identitas sosial dan kebutuhan akan afiliasi. Dalam kehidupan perkotaan yang padat dan sering kali penuh tekanan, klub lari menyediakan ruang sosial yang positif dan mendukung. Individu dapat merasa terhubung dengan orang lain yang memiliki minat serupa.

Selain itu, klub lari sering kali menjadi sarana membangun status sosial. Pelari menunjukkan bahwa mereka peduli pada gaya hidup yang sehat, dan sering diasosiasikan dengan kelas menengah perkotaan. Jadi, kata Wawan, ada proses penguatan identitas yang terbentuk.

“Teori stress buffering juga relevan di sini, karena interaksi sosial yang sehat dapat membantu individu mengurangi stres akibat rutinitas,” kata Wawan kepada reporter Tirto.

Namun, Wawan menjelaskan, ketika olahraga bergeser menjadi sarana mencari eksistensi atau pamer, motivasi intrinsik menjaga kesehatan dapat tergantikan motivasi ekstrinsik. Hal itu berupa validasi sosial, yang membuat aktivitas olahraga – dalam hal ini berlari – jadi kurang memuaskan.

Aplikasi kebugaran seperti Strava, Wawan mencontohkan, dapat memicu perbandingan sosial yang akan menyebabkan kecemasan, perasaan tidak cukup baik, atau bahkan burnout akibat tekanan untuk terus meningkatkan performa.

Selain itu, dorongan untuk menjaga citra melalui self-presentation dapat membuat individu memanipulasi pencapaian mereka. Dampaknya akan menciptakan tekanan emosional untuk mempertahankan gambaran yang ideal di mata orang lain. Ada juga tekanan normatif dari anggota klub, kata Wawan, yang mungkin secara implisit menciptakan standar penampilan tertentu.

“Hal ini berkaitan dengan teori disonansi kognitif, di mana individu yang menginvestasikan uang untuk peralatan mahal merasa terdorong untuk tampil seolah-olah mereka benar-benar serius dalam berlari, meskipun mungkin itu bukan prioritas utama mereka,” jelas Wawan.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Olahraga dari Universitas Negeri Yogyakarta, Djoko Pekik Irianto, mengingatkan bahwa berolahraga itu seperti minum obat, yakni setiap individu butuh dosis yang pas. Memaksakan standar kemampuan dengan orang lain justru berpotensi abai tujuan dari olahraga untuk mempertahankan kebugaran tubuh. Pada prinsipnya, kata dia, olahraga lari merupakan aktivitas paling murah dan bisa dilakukan siapa saja.

Di zaman digitalisasi, kata Djoko, membuat konten olahraga bukan menjadi suatu masalah. Asal prinsip berolahraga tetap dilakukan dengan betul dan sesuai takaran masing-masing. Olahraga minimal tiga sampai lima kali dalam sepekan. Tidak perlu terpaku pada peralatan yang mahal sehingga membuat aktivitas olahraga menjadi beban.

“Jadi prinsip silakan saja olahraga sambil bergaya untuk berkonten medsos. Yang penting prinsip berlatih berolahraga dipenuhi agar tidak sekadar show atau pamer,” kata Djoko kepada reporter Tirto, Rabu (11/12/2024).

Kita mungkin membayangkan, jika saja filosof Rene Descartes hidup di zaman ini, berkarier di tengah hutan beton Kota Jakarta, memiliki sepasang sepatu olahraga disertai singlet belel, barangkali ia akan berkata: Aku lari, maka aku ada.

Peserta berlari saat mengikuti Level 21 Mall Indoor Run 2024 di Denpasar, Bali, Sabtu (12/10/2024). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nz

Sentimen: positif (100%)