Sentimen
Undefined (0%)
14 Des 2024 : 07.30
Informasi Tambahan

Grup Musik: iKON

Kab/Kota: Banyuwangi

Mbah Blendrang

14 Des 2024 : 07.30 Views 13

Espos.id Espos.id Jenis Media: Lifestyle

Mbah Blendrang

Ibu melempar semangkuk sayur ke teras dengan wajah memerah. Berkali-kali mulutnya berkomat-kamit, merapalkan cacian pada sayur yang menurutnya berisi racun mematikan itu. Sayur blendrang adalah sayur kegemarannya dulu. Dia mendapat resep dari ibunya yang kemudian diturunkan kepadaku.

“Resep rahasia keluarga,” bisiknya saat kami berkutat di dapur demi membuat satu panci besar sayur blendrang untuk pertemuan keluarga.

Pertemuan keluarga dari jalur Mbah Rukmini tidak akan lengkap tanpa sajian sayur blendrang. Itu pula yang menjadikan nama Mbah Rukmini, nenekku dari jalur ibu, berganti sebutan menjadi Mbah Blendrang.

Tidak ada seorang pun di kota ini yang tidak mengenal namanya. Apalagi sejak kabar Mbah Blendrang akan maju sebagai salah satu calon wakil bupati di kotaku semakin santer terdengar.

Meski sudah berusia 60 tahun, Mbah Blendrang bertubuh sehat dan sanggup mengayuh sepeda yang sudah dilengkapi gerobak dari rumahnya menuju pasar yang jaraknya sekitar tiga kilometer. Dia diusung tiga partai besar dan digadang-gadang akan mewakili suara wong cilik.

Sebagai ASN, kabar nenekku akan maju sebagai calon wakil bupati tentu membuatku resah. Pegawai daerah sepertiku ini sangat rentan kena imbas apabila diketahui mendukung salah satu sangan calon. Apalagi pasangan calon bupati dan wakil bupati lawan adalah bupati incumbent.

Berkali-kali aku sampaikan fakta itu kepada ibu dan saudara-saudaranya yang lain untuk mencegah nenekku maju sebagai calon wakil bupati berpasangan dengan salah satu ketua umum partai berwarna biru itu.

Semua keluargaku tahu aku menentang keputusan mereka mendukung nenekku maju ke pentas politik. Bagiku, nenek semestinya tetap di dapur, berjualan sayur blendrang seperti yang selama ini dia lakukan. Tentu saja sikapku ini menyebabkan aku dikucilkan di acara-acara keluarga. Nenekku bahkan tak mau lagi memberiku sayur blendrang buatannya yang menjadi kegemaranku.

“Aku ini ASN, Bu. Aku harus netral,” ucapku gelisah saat ibu membujukku untuk ikut berkampanye.

“Kalau nenekmu menjadi wakil bupati, kamu tak perlu lagi jadi ASN. Jadi anggota dewan saja. Atau mau sekalian diangkat jadi pejabat?” tanya ibu sambil mendelik ke arahku.

Aku melengos dan tak menyahuti perkataan Ibu. Pasti kalian bingung ya, kenapa aku sangat menentang nenekku maju sebagai calon wakil bupati. Apa kalian sama seperti keluargaku yang menganggp aku sudah gila karena menentang upaya nenekku menaikkan harkat dan martabat keluarga?

Baiklah, mari kuceritakan fakta-fakta terkait nenek kesayanganku itu.

Fakta Pertama…

Sejak aku masih kecil, nenek sudah dikenal sebagai penjual sayur nget-ngetan nomor satu di kotaku. Setiap hari, nenek harus menyiapkan lebih dari tiga panci besar sayur nget-ngetan atau sayur blendrang itu. Karena rasanya yang enak, sayur yang dijual dengan harga murah itu pun semakin terkenal. Pelanggannya tidak hanya tetangga sekitar, tetapi nyaris seluruh penjuru kota.

Dinas Pariwisata memasukkan warung Mbah Blendrang sebagai ikon kota yang membuat warung itu semakin ramai setiap hari. Tak lengkap rasanya jika mengunjungi kotaku tanpa membeli sayur blendrang yang sudah legendaris itu. Nama Mbah Blendrang telah menjadi bagian dari kehidupan warga di kotaku.

Fakta Kedua…

Mbah Blendrang hanya lulusan sekolah dasar. Salah satu persyaratan menjadi calon wakil bupati setidaknya memiliki ijazah SMA atau setara SMA. Kondisi ini tak menyurutkan niat partai yang meminangnya. Nenekku akhirnya mendapatkan ijazah yang dibutuhkan melalui jalur persamaan atau paket C.

Menakjubkan, di usianya yang tak lagi muda, nenek bisa tamat dan resmi mendapat ijazah tanpa perlu bersusah payah. Aku berulang kali bertanya kepada nenek bagaimana caranya mendapatkan ijazah itu. Dia tidak pernah mau menjawab dan hanya menjitak kepalaku lalu berlalu menjauh.

“Ah, siapa peduli. Anggota Dewan yang pinter dengan gelar master dan doktor juga banyak, tapi hasilnya mana? Tidak ada perubahan,” sahut ibu dengan ketus saat kuungkapkan kepadanya bahwa nenek tidak memiliki kapasitas menjadi pemimpin daerah.

Fakta Ketiga…

Sebagai pendatang, nenek harus menghadapi banyak tantangan. Dia datang ke Kalimantan saat usianya masih 16 tahun tanpa keterampilan apa-apa dan meninggalkan segunung utang di kampung halamannya.

Nenek sebenarnya memiliki suami, tetapi terpaksa berpisah karena sama-sama bekerja untuk melunasi utang-utang mereka.  Awalnya, nenek hanya tukang pijat yang berkeliling dari satu kampung transmigrasi ke kampung transmigrasi yang lain.

Dia menjalani pekerjaannya dengan sabar hingga bertahun-tahun lamanya. Pekerjaan itu akhirnya mengantarnya mengenal banyak orang. Banyak dari pelanggannya yang berasal dari kalangan pejabat dan orang-orang kaya.

Sedikit demi sedikit, uang hasil bekerja dia gunakan untuk membayar utang dan mengumpulkan modal. Ketika kakinya sudah lelah berjalan dari kampung ke kampung, dia memutuskan membuka warung sayur di depan rumahnya. Pelanggan pijatnya mulai beralih menjadi pelanggan sayur nget-ngetan yang dibuatnya. Dan sejak itulah dia dikenal dengan nama Blendrang.

Dari fakta ketiga ini, memang terlihat bahwa nenekku seorang pekerja keras. Akan tetapi, apakah fakta itu cukup untuk menunjang profilnya sebagai calon wakil bupati?

Fakta  Keempat…

Suami Mbah Blendrang yang masih di Jawa akhirnya diketahui menikah lagi dan menggunakan uang kiriman dari Kalimantan untuk menghidupi istri barunya. Waktu merantau ke Kalimantan, nenekku baru berusia 16 tahun dan sudah memiliki anak pertama, yaitu ibuku yang berusia dua tahun.

Nenek harus menelan kenyataan bahwa anak-anaknya masih di Jawa dan tidak diizinkan untuk dibawa ke Kalimantan. Nenek harus hidup sendirian di tanah rantau. Pengkhianatan itu menjadi kompor yang membakar semangat juangnya. Bukan untuk membuktikan sesuatu kepada mantan suaminya, dia hanya bermaksud melupakan kejadian menyedihkan yang dialaminya dengan bekerja.

Nenek kemudian melanjutkan hidup dan menikah lagi hingga punya dua anak. Setelah berusia sepuluh tahun, ibu menyusul nenek ke Kalimantan. Dari ibu, aku tahu bahwa nenek adalah orang sederhana. Hasil kerja kerasnya dia wujudkan dalam bentuk tanah yang dia siapkan untuk bekal pendidikan anak-anaknya.

Di antara ketiga putrinya, hanya ibukulah yang lulusan sekolah menengah pertama. Kedua adik ibu lulusan sarjana dan telah menjadi pengusaha. Karena merasa bersalah telah meninggalkan ibu di Banyuwangi, nenek menebusnya dengan menyekolahkanku hingga aku bergelar insinyur.

Aku begitu menyayangi nenek. Bagiku, dia telah bekerja sangat keras di sepanjang hidupnya. Pada masa tuanya, apa masih wajar kami membiarkan dia bekerja keras, sementara anak cucunya sudah menjalani hidup yang lebih baik?

Satu bulan menjelang pemilihan kepala daerah, aku hanya bisa menatap bingung foto-foto nenek yang mulai tersebar di pinggir jalan, dipaku pada pohon-pohon besar, ditempel di dinding pagar, gedung, dan kaca rumah maupun mobil. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain berdoa untuk keselamatannya. Berkali-kali aku berusaha menenangkan diri bahwa panggung politik tak akan membuat nenek celaka.

Sialnya, firasatku benar. Satu minggu menjelang pemilihan, nenek ditemukan meninggal di dapur. Mangkuk dan tumpahan sayur blendrang buatan ibu berserakan di samping tubuhnya yang kaku. Seluruh keluarga juga para pelanggan yang telah menjadi pendukung nenek amat berduka, terutama ibu. Aku bahkan tak sempat bersedih karena harus mengurus ibu yang tak henti meraung-raung saat jasad nenek dimasukkan ke liang lahat.

“Harusnya Mbah Blendrang tak perlu menuruti bujuk rayu para politikus yang hanya memanfaatkan kepopulerannya untuk meraih suara. Harusnya dia jadi legenda, sebagai pedagang sayur nget-ngetan saja.” Aku mendengar seseorang berkata dari kerumunan pada peziarah.

Meski pemakaman nenek dihadiri ribuan orang dan dibanjiri puluhan karangan bunga, aku tidak merasa bangga. Mungkin itu juga yang dirasakan ibu dan adik-adiknya. Andai nenek tak masuk panggung politik, mungkin dia tak perlu merasakan kematian akibat racun yang dicampurkan diam-diam di sayur blendrang buatan ibuku.

 

Sentimen: neutral (0%)