Sentimen
Undefined (0%)
12 Des 2024 : 19.43
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Kab/Kota: Solo

Tokoh Terkait

Populisme dan Kekuasaan

12 Des 2024 : 19.43 Views 8

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Populisme dan Kekuasaan

Pemungutan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024 telah rampung. Hasil perhitungan sementara sementara telah disebarluaskan dan mendapatkan legitimasi. Masyarakat tinggal menanti hasil resmi versi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dinamika pilkada 2024 menyimpan kisah yang begitu kompleks. Bukan hanya tentang perebutan kekuasaan di tingkat lokal, tetapi juga cerminan dinamika politik nasional yang lebih besar. 

Pada saat yang sama, kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2024 memberikan pelajaran penting tentang politik populisme, kekuatan narasi, dan strategi distribusi kekuasaan membentuk lanskap demokrasi modern. 

Dua peristiwa ini, meski terjadi di negara yang berbeda, memiliki benang merah yang saling terkait dalam konteks distribusi kekuasaan dan kualitas demokrasi. Hasil pilkada 2024 menunjukkan politik lokal masih menjadi arena penting bagi partai-partai politik memperkuat cengkeraman mereka atas kekuasaan nasional. 

Pilkada bukan hanya soal perebutan kursi kepala daerah, melainkan refleksi strategi politik untuk membangun legitimasi di tingkat pusat. Dalam konteks pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, pilkada berfungsi mengamankan basis dukungan dan menilai kekuatan jaringan politik di akar rumput. 

Calon-calon yang berhasil menang, terutama yang berasal dari partai koalisi pendukung Prabowo, memiliki peluang besar mendapat akses ke pusat kekuasaan, termasuk dalam kabinet atau jabatan strategis lainnya.

Strategi ini mengingatkan kita pada pola yang sama di politik global, terutama kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat. Trump memenangi pemilu dengan membangun aliansi kuat di tingkat lokal melalui narasi populis yang mengakar. 

Kemenangan Trump pada pemilihan presiden Amerika Serikat 2024 menggambarkan kekuatan politik populis yang mampu memobilisasi emosi massa. Narasi ”America First” ala Trump tidak hanya menarik pemilih konservatif, tetapi juga menciptakan polarisasi yang memperkuat loyalitas basis pendukung.

Hal serupa bisa kita lihat dalam strategi politik Prabowo. Dengan menonjolkan narasi stabilitas, nasionalisme, dan harmoni, mereka berhasil memobilisasi dukungan yang luas, terutama dari berbagai lapisan masyarakat yang merasa terpinggirkan oleh elite politik lama.

Kemenangan populis semacam ini selalu memunculkan tantangan besar. Bagaimana mengelola distribusi kekuasaan agar tidak hanya menjadi alat politik balas budi, tetapi juga memastikan keberlanjutan demokrasi yang sehat? 

Di Amerika Serikat, kabinet Trump periode sebelumnya kerap dikritik karena mengutamakan loyalitas politik dibandingkan kompetensi. Jika pola ini diadopsi pemerintahan Prabowo, risiko serupa bisa terjadi.

 

Trump maupun Prabowo menunjukkan narasi dan strategi lokal memiliki dampak besar dalam membangun kekuasaan nasional. Pilkada 2024, seperti pemilu lokal di Amerika Serikat, menjadi ujian bagi demokrasi untuk menunjukkan apakah distribusi kekuasaan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat atau justru menjadi alat memperkuat elite politik tertentu.

Kemenangan Trump mengajarkan bahwa populisme jika tidak diimbangi dengan tata kelola yang baik dapat menyebabkan polarisasi yang mendalam di masyarakat. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi Prabowo dalam mengelola pemerintahan. 

Distribusi kekuasaan adalah bagian tak terhindarkan dari politik demokrasi, namun keberhasilan bergantung pada bagaimana proses tersebut dilakukan. Pilkada 2024 dan kemenangan Trump menunjukkan politik lokal tidak bisa dipisahkan dari narasi nasional.

Keduanya saling berkelindan membentuk lanskap kekuasaan, baik di Indonesia maupun Amerika Serikat. Kabinet gemuk yang dibangun untuk menopang pemerintahan Prabowo harus mampu mencerminkan kompetensi dan keberpihakan kepada rakyat, bukan sekadar menjadi ”hadiah” bagi aktor-aktor politik yang berperan dalam kemenangan mereka.

Harapan dan Tantangan

Pemerintahan Prabowo harus belajar dari dinamika. Mereka tidak hanya perlu mengakomodasi berbagai kepentingan politik dalam kabinet, tetapi juga memastikan distribusi kekuasaan berjalan secara transparan dan akuntabel. 

Harapan rakyat adalah kabinet yang tidak hanya gemuk secara kuantitas, tetapi juga gemuk dalam hal kompetensi dan integritas. Perbedaan mencolok antara kabinet Trump dan Prabowo memang terletak pada bangunan kabinet yang mereka rancang. 

Amerika Serikat memilih bertahan dengan kabinet yang ramping, hanya 15 departemen, padahal, luas wilayahnya mencapai lima kali lipat dari Indonesia. Sebagai negara federal, Amerika Serikat mengupayakan efisiensi kementerian dengan fokus pada pembagian peran pemerintahan pusat dan daerah. 

Negara-negara yang memilih kabinet ramping umumnya mengutamakan efisiensi kinerja, tanpa meninggalkan kekuatan birokrasi. Kendati hanya memiliki sedikit kementerian, negara tetap kuat ketika berhasil menempatkan orang-orang yang sangat kompeten di posisi strategis.

Era digital memungkinkan kebijakan berbasis data yang terintegrasi sehingga mendukung kinerja efisien dan terorganisasi dengan baik. Bagi Indonesia, konsep ini dapat diadopsi melalui penguatan otonomi daerah dalam skema desentralisasi.

Dari Amerika Serikat kita belajar bahwa jumlah kementerian bukan satu-satunya jalan mengelola negara. Banyak hal lain yang memengaruhi pengelolaan negara, seperti kekuatan birokrasi, kualitas kerja, sinergi pemerintah pusat dan daerah, serta pergerakan yang cepat dan efisien dalam menghadapi dinamika tantangan global. 

Indonesia memang bukan negara federal, tetapi desentralisasi yang diamanahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mampu menjembatani upaya memberikan pelayanan publik yang lebih responsif. Otonomi daerah memungkinkan daerah bersaing di kancah global.

Kini, Indonesia menanti kiprah kabinet gemuk Prabowo untuk menjawab tantangan efisiensi di tengah tantangan global sehingga menghindari tudingan kepentingan koalisi semata. Kabinet Indonesia harus tumbuh dengan mengutamakan efisiensi, koordinasi, dan fokus pada kepentingan nasional sebagai tujuan bersama. 

Pilkada 2024 dan kemenangan Trump memberikan pelajaran penting bagi demokrasi modern. Kedua peristiwa ini menunjukkan kekuasaan tidak hanya didistribusikan, tetapi juga dimobilisasi melalui narasi yang kuat dan strategi politik yang efektif. Tantangan global yang dihadapi masing-masing negara bergantung pada pemimpin yang telah dipilih sebagai simbol kekuatan populisme.

Di tengah kemenangan populisme dan politik akomodasi, demokrasi harus tetap dijaga agar tidak kehilangan esensi. Di Indonesia, pemerintahan Prabowo memiliki tanggung jawab besar memastikan distribusi kekuasaan benar-benar mencerminkan harapan rakyat, bukan sekadar pragmatisme politik. 

Masa depan demokrasi Indonesia kini bergantung pada sejauh mana kekuasaan dipegang erat untuk melayani rakyat, bukan untuk mempertahankan kekuasaan itu sendiri.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Desember 2024. Penulis adalah dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Slamet Riyadi, Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah)

Sentimen: neutral (0%)