Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Gunung, Semarang, Solo, Temanggung
Kasus: HAM
Sang Periwayat Semarang
Espos.id
Jenis Media: Kolom
![Sang Periwayat Semarang](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2021/05/Ariyanto-Mahardika.jpg?quality=60)
Meneruskan usaha orang tua bukan pilihan Liem Thian Joe. Dia membanting setir ke jurnalistik, bidang yang dia sukai. Buku Riwajat Semarang menjadi karya puncak jurnalis kelahiran Parakan, Temanggung, Jawa Tengah tersebut.
“...Sedeng di kota Semarang tersiar kabar bahoewa oeang kertas tida lakoe lagi. Ini kabar angin, tentoe sadja membikin orang jang tiada mangarti djadi iboek, toekang-toekang waroeng merasa sangsi boeat trima pembajaran dengen oeang kertas....”
Kabar yang ternyata hoaks belaka itu termuat di artikel Riwajat: Penduduk Tionghoa di Semarang Sampe Djemannja Kong Koan yang dimuat Djawa Tengah Review pada Januari 1933.
Penulisnya Liem Thian Joe, jurnalis yang menjadi kontributor sejumlah media ternama saat itu. Tulisan itu merupakan artikel ke-13 yang terbit pada edisi khusus tahun baru majalah bulanan tersebut.
Selain kisah tentang Semarang, pada edisi itu ada beberapa artikel lain. Khwee Sing ditulis seseorang berinisial L. Penulis yang sama juga menyusun Asal-oeosoelnja familie Liem. Asal-Oesoelnya Goenoeng Goentoer ditulis seseorang yang menyebut diri sebagai Anak Kedoe. Kaadaanja Astana Adiningrat di Djocjakarta ditulis oleh Han Djin Nio.
Djawa Tengah adalah harian, edisi majalahnya adalah Djawa Tengah Review yang terbit setiap akhir bulan. Itu sebagaimana ditulis pada lembar kaver, ”Diterbitken saben boentoet boelan”.
Harga langganan per kuartal 1,50 gulden. Berkala yang kali pertama terbit di Kota Semarang pada 1909 itu menampilkan cerita, legenda, mitos, namun tak jarang menyingkap hal yang kontroversial.
“Bulanan Djawa Tengah, yaitu Djawa Tengah Review, sering memperbincangkan persoalan Tionghoa di Indonesia yang menimbulkan polemik,” tulis Abdurrahman Surjomihardjo dan Leo Suryadinata lewat Pers Melayu-Tionghoa dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, tebitan Buku Kompas pada 2002.
Di majalah yang jajaran redaksinya dipimpin K.C. Chan ini Thian Joe menempati posisi sebagai editor. Sebelumnya, jurnalis yang lahir pada 1895 tersebut mengawali karier pada 1920-an di harian Warna Warta.
Ini koran resmi perhimpunan perantauan Tionghoa, Hoa Kiauw Toan The Hwe. Harian terbitan Semarang itu meluncur ke khalayak pada 1909. Dalam perkembangannya, Warna Warta beralih pemilik sehingga namanya diubah menjadi Djiet Po.
Pada saat bekerja di Warna Warta, Liem Thian Joe juga menulis untuk harian Perniagaan yang diterbitkan di Jakarta. Surat kabar ini kelanjutan dari Kabar Perniagaan yang memulai debut pada 1903.
Penulis buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia menyebut harian itu disokong opsir Tionghoa yang mendukung kaum konservatif China.
Bekerja sebagai jurnalis merupakan pilihan Thian Joe karena merasa tidak cocok berdagang, sebagaimana orang Tionghoa pada umumnya.
Buku Orang-Orang Tionghoa Jang Terkemoeka di Java (Who’s Who) yang diterbitkan Biograpical Publishing Center menyebut semula dia bersekolah bercorak Melayu-Jawa, lalu meneruskan di sekolah China Hokkian hingga sepuluh tahun.
Setelah itu, dia melanjutkan pendidikan di Tiong Hoa Hak Tong (THHT), sekolah yang didirikan Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) di Ngadirejo, kota kecil yang berjarak delapan kilometer dari Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.
Dia juga mengikuti kursus bahasa Belanda meski tak lama. Sejak di sekolah, Thian Joe tertarik menjadi penulis dan bakatnya kian terasah. Dia mampu meyakinkan diri bahwa menulis bisa menjadi lahan penghidupan.
Pada kemudian hari, ketekunan mendalami jurnalisme itu dituangkan dalam buku Journalistiek Tionghoa Melajoe.
“Kemoedian dari kalangan dagang ia lontjat ka Semarang masoek bekerdja sama Warna Warta iang itoe waktoe telah berada dalem tangannja toean Law Kong Hoei,” demikian keterangan pada buku yang terbit di Solo pada 1935 itu.
Liem Thian Joe kemudian berpindah ke Djawa Tengah Review pada 1930. Setahun kemudian, ketika Kongkoan Semarang hendak ditutup, sebagaimana ditulis dalam kata pengantar bukunya, dia iseng-iseng mendatangi gudang arsip dan mendapati tumpukan dokumen yang terserak.
Informasi dari dokumen itu lalu dipilah. Hal yang bersifat pribadi atau kelompok disisihkan dan tidak akan menjadi bagian dari naskah artikelnya.
“Semua kejadian yang tidak senonoh atau tidak selayaknya, baik yang dilakukan oleh seorang, satu famili atau satu golongan, sengaja saya singkirkan, karena dalam buku ini bukan maksud saya untuk membuat sakit hati orang atau membongkar lagi masalah-masalah yang oleh dunia barangkali sudah dilupakan,” tulis Liem Thian Joe dalam Riwayat Semarang yang kembali diterbitkan Hasta Wahana pada 2004.
Tulisan Thian Joe tak sekadar berdasar arsip, tapi juga diperkaya informasi dari perkumpulan organisasi, surat kabar, juga majalah. Dalam prolog buku itu, Myra Sidharta menulis Liem Thian Joe menambahkan data dari History of Java besutan Thomas Stanford Raffles, warta dari De Locomotief, dan sumber informasi lainnya.
“Kemudian ia menyoroti sejarah Semarang, misalnya gedung bergaya Tionghoa yang pertama didirikan, dan terakhir, asal mulanya nama-nama jalan atau wilayah tertentu,” tulis Myra Sidharta.
Buku yang kali pertama diterbitkan Prakata itu menjadi rujukan bagi mereka yang ingin mempelajari Semarang atau Jawa Tengah. Walau begitu, buku setebal 300-an halaman ini mempunyai sejumlah catatan, antara lain, cakupan pembahasan sempit, dianggap kurang analitis, serta penulisan informasi pendukung kurang terperinci.
“Keasyikan meneliti sejarah orang-orang China Semarang sangat dihargai penulis sosiologi yang besar mengenai masyarakat tersebut, Donald Willmott, yang mempersembahkan bukunya The Chinese of Semarang ‘Kepada Liem Thian Joe, sejarawan Semarang, wartawan dan kawan yang telah meletakkan fondasi masa lalu kepada penelitian ini’,” tulis Charles A. Coppel.
Pendapat Charles A. Coppel itu tertuang dalam artikel tulisan Liem Thian Joe Tentang Sejarah Kian Guan yang Tidak Diterbitkan yang dimuat buku Konglomerat Oei Tiong Ham, Kerajaan Bisnis Pertama di Asia Tenggara yang disunting Yoshihara Kunio, terbitan Grafiti pada 1991.
Setelah delapan tahunan menulis untuk Djawa Tengah Review, Thian Joe kemudian menjadi kontributor tetap di Sin Po, penerbitan yang dikelola kelompok nasionalis. Dia juga menjadi editor bulanan sastra terbitan Semarang, Mimbar Melajoe.
Di situ, Thian Joe menulis cerita pendek, cerita bersambung, serta menerjemahkan novel berlatar sejarah China. Tong Tjioe Liat Kok, terjemahan dari cerita klasik, diterbitkan bersambung di Pewarta Soerabaja.
Di samping Riwajat Semarang dan Journalistiek Tionghoa Melajoe, Liem Thian Joe juga menulis sejumlah buku, antara lain, Boekoe Peringetan, 1907-1937, Tiong Hwa Siang Hwee Semarang, Poesaka Tionghwa, serta tulisan tentang perjalanan Kian Gwan (Oei Tiong Ham Concern) yang urung diterbitkan karena situasi politik kala itu.
Jurnalis yang lahir di kaki Gunung Sindoro dan Sumbing ini meninggal di Kota Semarang pada 1963.
Sentimen: neutral (0%)