Sentimen
Negatif (100%)
9 Des 2024 : 05.17
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Institusi: MUI

Kab/Kota: Banjarnegara, Mataram

Menelisik Asal Muasal Panggilan Gus

9 Des 2024 : 05.17 Views 31

Harianjogja.com Harianjogja.com Jenis Media: News

Menelisik Asal Muasal Panggilan Gus

Harianjogja.com, JOGJA—Blunder ucapan Miftah Maulana Habiburrahman atau biasa dipanggil Gus Miftah ramai menjadi bahasan warganet. Pembahasan kemudian mengarah pada panggilan ‘Gus’, yang dianggap tidak cocok untuk Miftah atas kelakuannya.

Sebelumnya, Miftah melontarkan kata-kata ‘goblok’ dan bercandaan yang dianggap keterlaluan pada pedagang es teh. Potongan video acara ceramah tersebut kemudian tersebar di banyak platform media sosial. Banyak yang kemudian menghujat Miftah.

Setelah ramai menjadi perbincangan, Miftah meminta maaf karena mengolok-olok atau menghina penjual es teh. Miftah mengatakan bahwa dia terbiasa bercanda dengan semua orang. Namun, ia sadar harus meminta maaf atas bercandaannya kepada sang penjual es teh.

"Saya Miftah Maulana Habiburrahman menanggapi yang viral hari ini, yang pertama dengan kerendahan hati, saya meminta maaf atas kekhilafan saya," kata Miftah, Rabu (4/12/2024).

Pembahasan kemudian melebar menjadi panggilan Miftah yang sering diawali dengan kata ‘Gus’. Dalam pemahaman umum, ‘Gus’ sering dipahami sebagai panggilan untuk anak kyai. Namun sebenarnya dari mana panggilan itu berasal?

Asal-usul panggilan 'Gus'

Panggilan 'Gus' memiliki akar sejarah yang panjang dan penuh makna, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Asal-usul panggilan 'Gus' awalnya digunakan sebagai sapaan kehormatan bagi putra raja di lingkungan kraton, terutama pada masa Kesultanan Mataram Islam.

Dalam beberapa sumber, panggilan 'Gus' berasal dari kata 'Bagus', yang dalam bahasa Jawa bermakna 'anak laki-laki dengan kedudukan tinggi.' Seiring berjalannya waktu, sapaan ini meluas ke kalangan pesantren dan menjadi gelar yang disematkan kepada putra para kiai, terutama di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).

Sapaan ini bermula pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820), yang dikenal sebagai raja sekaligus santri. Istilah 'Gusti' atau 'Den Bagus' digunakan untuk menyapa putra raja, mencerminkan status mereka sebagai pewaris nilai-nilai kepemimpinan yang berakar pada ajaran Islam. Tradisi ini kemudian diadopsi oleh para ulama dan kiai di luar lingkungan keraton. Mereka menyapa putranya dengan panggilan 'Gus' yang melambangkan harapan besar agar anak tersebut melanjutkan peran ayahnya sebagai pemimpin spiritual.

Menurut Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa (1939), 'Gus' juga digunakan sebagai gelar yang diberikan karena faktor keturunan (ascribed status) atau pencapaian individu dalam masyarakat (achieved status). Hal ini menjelaskan bahwa panggilan 'Gus' tidak hanya disematkan kepada putra kiai, tetapi juga kepada mereka yang memiliki pengetahuan agama mendalam dan dihormati karena perjuangan spiritualnya.

Di sisi lain, putra Pengasuh Pesantren Al Falah Ploso, Kautsar, pernah menegaskan bahwa panggilan 'Gus' adalah bentuk penghormatan terhadap jasa orang tua, bukan pencapaian pribadi. Dia mengingatkan bahwa mereka yang dipanggil 'Gus' harus memikul tanggung jawab moral yang besar. Orang tersebut perlu berusaha memantaskan diri dengan sikap rendah hati dan kontribusi nyata bagi masyarakat.

Pengingat Untuk Berhati-Hati

Setiap orang, terutama pendakwah, perlu berhati-hati dalam bertutur kata. Hal ini disampaikan Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis dalam menanggapi kasus Miftah Maulana Habiburrahman yang menghina penjual es di sebuah pengajian.

Kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pendakwah. Cholil mengatakan meski Miftah sudah minta maaf, ucapan penghinaan itu tidak patut ditiru. Terlebih Miftah juga berstatus sebagai pejabat negara, dalam hal ini sebagai utusan khusus presiden.

"Menjadi pelajaran kepada dia dan kita semua agar tidak mudah menyampaikan kata-kata yang buruk apalagi di depan publik, (untuk) pejabat publik dan penceramah," kata Cholil, Rabu (4/12/2024).

Pedagang es teh yang dihina, lanjut Cholil, adalah orang yang sedang mencari rezeki yang halal. Sehingga dia tidak patut untuk dihina. Cholil menyebut ucapan Miftah sebagai salah satu tanda orang yang tidak belajar etika.

"Orang jualan teh itu sedang mencari rezeki dengan kasab yang halal. Tentu sesuai dengan kapasitas masing-masing orang mencari rezeki. Yang (Ngustadz) kayak begitu jangan ditiru ya dek. Goblok-goblokin orang jualan itu tanda tidak belajar etika. Apalagi di depan umum saat pengajian. Astagfirullah," katanya.

Gaya Komunikasi yang Membangun

Pakar hukum dan politik, Amstrong Sembiring, mengatakan seorang tokoh publik seharusnya memiliki gaya komunikasi yang membangun. Amstrong berpendapat kasus yang terjadi kepada Miftah karena dia bisa menggunakan bahasa santai dan akrab. Namun hal tersebut malah membawa petaka baginya.

"Bahasa santun tidak hanya mencerminkan kepribadian, tapi juga dapat menciptakan suasana lebih harmonis dalam masyarakat," kata Amstrong, Selasa (3/12/2024).

Bagi Amstron, wajah publik kesal terhadap Miftah, karena kata umpatan yang dilontarkannya membuat kecewa tidak saja si penjual es, tapi juga orang yang mendengar. "Penggunaan kata goblok yang ditunjukkan kepada orang lain, apalagi di ruang publik, dapat dianggap tidak baik, karena berpotensi menyakiti perasaan atau merendahkan martabat orang," katanya.

Tanggung Jawab Atas Suatu Panggilan

Belum selesai dengan bahasan panggilan ‘Gus’, warganet kemudian membahas lagi sematan kata Habib. Keduanya dianggap sering menjadi legitimasi orang untuk menyalahgunakan kewenangannya.

Habib merujuk pada orang-orang yang dianggap memiliki keturunan langsung dengan Nabi Muhammad SAW, meski sudah cukup jauh secara generasinya. Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarnegara, Jawa Tengah, Hanafi Slamet Sugiarto, mengatakan tidak jarang oknum-oknum yang mengatasnamakan ‘habib’ menjadi contoh nyata bahwasannya pemikiran, ucapan, dan tindakannya tersebut merugikan para keturunan Nabi Muhammad SAW yang telah istiqomah dalam menjalankan syiar Rasulullah.

Habib (dan juga Gus) seringkali memiliki pengikut yang jumlahnya besar. Para pengikut seringkali patuh dengan perintah ‘Habib’ dan ‘Gus’ lantaran ingin mendapat berkah dari yang bersangkutan. Dalam beberapa kasus, ‘Habib’ dan ‘Gus’ menggunakan kewenangannya untuk tindakan yang dianggap tidak benar, misal demo, kepentingan ekonomi, hingga pernikahan di bawah umur.

“Munculnya pihak-pihak yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tetapi tidak sesuai dengan akhlak beliau, justru sering kali membawa mudarat atau kegaduhan yang dapat mengancam kerukunan di masyarakat membuat beberapa pihak untuk memberikan reaksi,” tulis Hanafi, dikutip dari NU Online.

Quraish Shihab mengatakan apabila ditinjau dari terminology, kata ‘habib’ yang terdiri atas makna ‘Yang Mencintai’ dan ‘Dicintai’. Gelar habib disematkan masyarakat, bukan dia yang minta diakui dan dimuliakan. Justru saat seseorang memaksakan diri untuk dipanggil ‘Habib’ (atau Gus), hal tersebut justru mempermalukan diri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sentimen: negatif (100%)