Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Boyolali, Gunung
Deteksi Dini HIV/AIDS, Komunitas Sehati Boyolali Tes 960 Orang per Tahun
Espos.id Jenis Media: Solopos
Esposin, BOYOLALI -- Komunitas Sehati Boyolali (KSB) yang merupakan kumpulan dari transpuan dan lelaki seks dengan lelaki (LSL) mengetes sedikitnya 960 orang berisiko tinggi terkena HIV/AIDS per tahunnya. Hal tersebut dilakukan sebagai langkah deteksi dini HIV/AIDS di Boyolali.
Ketua KSB, Uwik, menyampaikan tim penjangkau dari komunitasnya aktif menjangkau para orang dengan risiko tinggi. Penjangkauan dilakukan lewat media sosial, bertemu langsung, hingga dari informasi jejaring.
“Setelah kami data, kami berkenalan, kami adakan sosialisasi dan kami adakan tes [VCT untuk mengecek HIV/AIDS] rutin tiga bulan atau enam bulan sekali,” kata dia kepada Espos, Minggu (8/12/2024).
Ia mengatakan KSB memiliki dua penjangkau lapangan, masing-masing memiliki target 40 orang dan harus tercapai setiap bulan. Uwik mengatakan semua target tersebut telah tercapai. Sehingga ada 960 orang yang telah mendapatkan sosialisasi dan tes.
Hal tersebut dilakukan untuk memastikan transpuan dan LSL menjalani aktivitas seks yang aman. Lalu, ketika terdeteksi HIV bisa langsung diobati. Ia menyebut lima tahun terakhir ini anggota komunitas LSL dan transgender rutin menjalani tes deteksi HIV/AIDS dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Boyolali.
Sedangkan untuk KSB baru dua tahun berjalan mengadakan tes gratis dengan bantuan pembiayaan dari yayasan nonpemerintah dari luar negeri.
“Minatnya tinggi sekali karena kami menyosialisasikan lewat berbagai media. Seperti TikTok, Instagram, dan media sosial lain soal HIV/AIDS. Kami sisipkan video media sosial, bahkan misal videonya mengarah ke LSL, mereka suka yang ganteng, kami berikan model yang ganteng agar informasi terserap. Berbagai macam strategi kami keluarga agar efektif,” kata dia.
Menghapus Stigma
Uwik menyebut jumlah LSL di Boyolali cukup banyak baik yang terbuka maupun yang masih menutup diri. Sehingga tes VCT terus digalakkan. Ia mengatakan masih ada anggapan atau stigma penyebab tingginya kasus HIV/AIDS di Indonesia karena lelaki seks dengan lelaki. Uwik menyayangkan adanya anggapan hal tersebut karena menyudutkan anggota komunitasnya.
“Sebenarnya yang harus ditekankan itu perilakunya, bukan orientasi seksualnya. Ketika orang heteroseksual yang memiliki istri tapi masih gonta-ganti pasangan, tidak menggunakan kondom, itu juga berisiko,” kata dia.
Ia khawatir dengan masih adanya anggapan angka HIV/AIDS tinggi karena LSL, akan membuat mereka yang menjalani masa pengobatan jadi malu. Ketika anggapan tersebut tersebar, maka laki-laki kemayu yang datang ke fasilitas kesehatan [faskes] akan mendapatkan stigma dari masyarakat.
Uwik mengatakan bahkan anggota komunitas LSL sudah sadar akan kesehatan hingga rutin menggunakan kondom saat beraktivitas seksual. “Kami juga rutin memberikan kondom, sehari banyak sekali permintaannya. Itu menandakan teman-teman [LSL] sudah sangat safety sex. Untuk hetero yang masih suka jajan dan tidak memakai kondom, itu yang perlu diwaspadai,” kata dia.
Dinkes Boyolali mencatat hingga Oktober 2024 ada 763 ODHA di Boyolali. Sebanyak 455 di antaranya sedang dalam pengobatan ARV, meliputi 281 laki-laki dan 174 perempuan. Dinkes juga mencatat selama periode yang sama, jumlah pengidap HIV/AIDS di Boyolali bertambah 149 kasus.
Para penderita baru HIV/AIDS tersebut terdiri atas 97 laki-laki dan 52 perempuan. “Dapat temuan kasus baru itu enggak masalah karena lebih baik tahu sekarang daripada tidak. HIV/AIDS kan seperti fenomena gunung es, kelihatan sedikit di permukaan tapi di bawahnya kan masih banyak,” kata Kepala Dinkes Boyolali, Puji Astuti, kepada Espos, Kamis (5/12/2024).
Sentimen: neutral (0%)