Sentimen
Undefined (0%)
4 Des 2024 : 19.24
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Kab/Kota: Semarang

Berjualan Sentimen Beragama

4 Des 2024 : 19.24 Views 22

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Berjualan Sentimen Beragama

Jualan agama adalah hal yang paling laku di Indonesia. Kata-kata itu kerap muncul dalam diskusi politik sebagai kritik terhadap penggunaan agama dalam ranah publik, khususnya dalam konteks pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). 

Kritik itu terlontar dari seorang teman saat berbincang dengan saya di sebuah warung kopi beberapa waktu lalu. Diskusi itu muncul untuk menanggapi isu agama dalam kontestasi pilkada di salah satu daerah Jawa Tengah

Isu tentang agama itu kian masif menjelang pemungutan suara pada pilkada serentak yang digelar 27 November 2024. Sepekan menjelang pemungutan suara, masyarakat di daerah tersebut menerima pesan melalui short message service (SMS) tentang agama yang dianut salah satu kandidat kepala daerah. 

Pesan itu intinya mengajak warga tidak memberikan suara kepada calon kepala daerah yang beragama minoritas. Pesan itu juga menyatakan bahwa calon kepala daerah yang beragama minoritas itu telah bertindak intoleran dengan memaksakan agama yang dianut kepada calon anggota keluarga.

Munculnya surat edaran dari sebuah lembaga keagamaan agar memilih kandidat yang seiman turut memperkeruh suasana. Untungnya, berbagai fenomena itu tidak membuat suasana dan kondisi masyarakat bergejolak. Hingga pemungutan suara atau coblosan berakhir, kondisi Jawa Tengah aman dan terkendali. 

Isu agama yang coba digulirkan seolah-olah tidak efektif. Hal ini dibuktikan dengan tetap unggulnya calon yang beragama minoritas itu dalam proses penghitungan cepat maupun real count pilkada.

Munculnya isu agama atau politik identitas berlatar belakang agama sebenarnya bukan fenomena yang baru dalam kontestasi politik di negeri ini. Sebagai negara dengan populasi beragama terbesar di dunia, Indonesia kerap dihadapkan pada dinamika ketika agama digunakan sebagai alat politik. 

Dalam berbagai kasus, agama menjadi faktor yang memengaruhi pilihan pemilih, retorika kampanye, bahkan strategi pemenangan kandidat. Strategi ini tidak hanya mencerminkan tingginya pengaruh agama dalam kehidupan sosial masyarakat, tapi juga menunjukkan agama memiliki daya tarik electoral yang besar. 

Meski demikian, pendekatan ini tidak selalu positif. Kandidat yang berlatar belakang agama minoritas kerap menjadi target kampanye negatif atau black campaign berbasis isu agama. 

Hal ini menunjukkan agama bisa menjadi alat untuk polarisasi, membelah masyarakat berdasarkan identitas agama. Politisasi agama ini pun dapat menimbulkan efek negatif. 

Pertama, penggunaan isu agama sering kali mengorbankan kualitas demokrasi. Kampanye yang berbasis agama cenderung mengabaikan substansi program kerja dan lebih fokus pada identitas kandidat. 

Akibatnya, pemilih tidak mendapat informasi yang memadai tentang visi dan misi kandidat. Jika kandidat itu menyampaikan visi dan misi yang terkesan usang tanpa ada gagasan baru, pemilih seolah-olah tidak peduli. Mereka tetap akan memilih kandidat berdasarkan identitas agama yang seiman. 

Kedua, isu agama juga berpotensi meningkatkan tensi sosial. Ketika agama digunakan untuk membedakan atau mendiskreditkan kandidat tertentu, masyarakat bisa terpecah belah. Polarisasi bisa memicu konflik horizontal, terutama di daerah dengan keberagaman tinggi. 

Pemerintah sebenarnya sudah berupaya mengantisipasi terjadi politisasi agama ini. Undang-undang Pemilu di Indonesia dengan tegas melarang kampanye yang mengandung unsur sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA. 

Meski demikian, masih saja dijumpai strategi politik identitas berbasis agama dalam kontestasi politik di Indonesia. Narasi agama itu disampaikan secara halus atau melalui jalur informal, seperti media sosial, pengajian, hingga acara silaturahmi. 

Oleh karena itu, penting edukasi politik kepada masyarakat. Pemilih harus diberdayakan untuk memilih berdasarkan kompetensi dan program kerja kandidat, bukan identitas agama. 

Selain itu, para kandidat atau tim pemenangan harus lebih cerdas dalam mengolah isu untuk meraih simpati pemilih. Jangan melulu mencari kekurangan lawan secara personal maupun identitas rival  untuk menaikan elektabilitas.

Toh, politik identitas berbasis agama tidak selamanya menjadi strategi jitu dalam meraup pemilih. Dalam beberapa kasus, kandidat yang beragama minoritas mampu meraih kemenangan dalam kontestasi pilkada, seperti di Kota Semarang. 

Kandidat yang unggul itu memang sempat mendapat serangan black campaign berbasis agama. Pilkada seharusnya bisa menjadi ajang memperkuat persatuan dan kebinekaan Indonesia. 

Sebagai negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia perlu memastikan proses demokrasi tidak menjadi alat untuk memecah belah masyarakat. 

Tokoh agama, media, dan lembaga masyarakat sipil memiliki peran penting dalam menciptakan narasi yang inklusif dan mendorong harmoni. Jika dikelola dengan baik, agama bisa menjadi sumber nilai-nilai positif, seperti keadilan, kepedulian, dan integritas.

Jika disalahgunakan, agama berpotensi menciptakan perpecahan. Oleh karena itu, perlu komitmen bersama dari semua pihak untuk menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 Desember 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)