Sentimen
Undefined (0%)
3 Des 2024 : 14.45
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Yogyakarta

Desentralisasi Asimetris Total

3 Des 2024 : 14.45 Views 6

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Desentralisasi Asimetris Total

Penyelenggaraan pemerintahan berbasis asimetris di Indonesia terbukti gagal menciptakan kesejahteraan yang merata bagi rakyat. Praktik di tingkat daerah didominasi kepentingan politik lokal.

Praktik ini lebih mengutamakan pengakuan historis daripada keadilan sosial dan mengakibatkan daerah-daerah dengan status keistimewaan terjebak dalam kemiskinan dan ketimpangan. Tujuan utama desentralisasi asimetris semestinya menjadi akselerator pembangunan daerah-daerah tertinggal.

Fakta problematik ini menunjukkan instrumen konstitusional sering digunakan untuk meredam konflik, bukan untuk menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan. Kerangka asimetris ini harus diubah secara fundamental dengan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran ontologis. 

Revisi terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bisa menjadi momentum penting untuk merealisasikan desentralisasi asimetris yang lebih inklusif dan sesuai dengan kapasitas masing-masing daerah.

Secara etimologis, desentralisasi berasal dari gabungan kata "de" dan "sentralisasi" yang merujuk pada distribusi fungsi kekuasaan. Esensi utama desentralisasi pada proses penyerahan yang melibatkan pihak yang memberikan dan yang menerima wewenang tersebut. 

Konsep asimetris mengacu pada adanya perbedaan. Desentralisasi asimetris mengedepankan penyerahan fungsi kekuasaan dengan cara yang tidak seragam. Pada awal era desentralisasi, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan pentingnya otonomi daerah untuk mendorong demokratisasi, pemerataan, keadilan, serta menghargai keberagaman dan potensi daerah. 

Seiring berjalannya waktu, sejumlah daerah diberi status khusus berdasarkan pertimbangan historis dan stabilitas keamanan. Dalam prakrik, pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua lebih terfokus pada dinamika politik dan pembagian dana otonomi khusus (otsus), sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta, keistimewaan hanya berfungsi sebagai pengakuan historis dan gagal mengurangi ketimpangan.

Implementasi otsus di daerah-daerah tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan semangat desentralisasi, melainkan menjadi instrumen transaksional. Penetapan status khusus oleh pemerintah pusat lebih sering dilihat sebagai pengakuan tanpa upaya konkret menerapkan desentralisasi secara substansial. 

Akibatnya praktik otsus ini berakhir menjadi rutinitas administratif yang semakin menjauh dari tujuan. Masalah mendasar terletak pada pemahaman yang keliru mengenai desentralisasi asimetris yang lebih dipandang sebagai alat untuk memberikan pengakuan daripada hasil niat baik pemerintah pusat. 

Hal ini tercermin dalam ketidakseriusan pusat memberdayakan daerah yang memperoleh otsus. Pelimpahan urusan pemerintahan justru dilakukan secara simetris melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. 

Esensi skema ini tidak dipahami dengan baik oleh penyelenggara negara sehingga yang tercapai hanyalah stabilitas yang jauh dari cita-cita desentralisasi. Jika mengacu pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika, tampak jelas ada ketidaksesuaian antara semangat yang digagas oleh para founding fathers dengan implementasi pemerintahan saat ini. 

Pemerintah pusat, dengan pendekatan birokratis yang sentralistis dan cenderung menghindari kompleksitas, memperlakukan daerah-daerah dengan perbedaan secara seragam. 

Seharusnya jika desentralisasi berlandaskan pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika, terdapat kesinambungan yang kuat antara nilai-nilai founding fathers dan pelaksanaan desentralisasi saat ini.

Pendekatan 

Penyerahan fungsi kekuasaan secara simetris telah berlangsung hampir 25 tahun pascareformasi. Saat ini, Indonesia berada dalam kondisi pseudo-desentralisasi. Desentralisasi yang diterapkan hanya berupa tampilan luar yang semakin sentralistis dalam praktik.

Tidak ada perubahan berarti dalam output dengan ketimpangan antarwilayah yang terus tinggi dan daya saing antardaerah yang masih timpang. Diskursus otonomi sering terperangkap dalam upaya membenarkan skema simetris yang jelas gagal, tanpa mempertimbangkan alternatif lain, yaitu desentralisasi asimetris total.

Konsep desentralisasi asimetris bukanlah penyimpangan dari prinsip besar desentralisasi, melainkan sebuah instrumen untuk memperkuat desentralisasi di daerah. Gagasan ini sejalan dengan konstitusi. Pasal 18A ayat (1) UUD 1945 menyebut hubungan pusat dan daerah harus memperhatikan kekhususan serta keberagaman daerah. 

Dalam praktik kita cenderung lebih fokus pada pengakuan kekhususan tanpa mengakomodasi keragaman daerah secara optimal. Desentralisasi asimetris memegang peran vital menjawab tantangan keberagaman di Indonesia.

Pemerintah selama ini terlalu terfokus pada urusan kekhususan tanpa memperhatikan keragaman daerah. Pendekatan administratif yang berbeda, seperti antara wilayah daratan dan lautan, kawasan perhutanan dan perkotaan, serta barat dan timur, seharusnya tercermin dalam cara penyerahan urusan pemerintahan. 

Ukuran besar kecilnya urusan yang diserahkan harus didasarkan pada kondisi dan kapabilitas daerah. Instrumen evaluasi bertahap dapat digunakan untuk menilai kelayakan daerah dalam mengelola urusan pemerintahan. 

Pemilahan urusan berdasarkan kategori dasar—maju, berkembang, dan tertinggal—memungkinkan pemerintah pusat melakukan intervensi lebih intensif di daerah yang tertinggal, sementara daerah maju diberi lebih banyak kepercayaan. 

Indikator yang dapat digunakan meliputi kapasitas fiskal, daya saing daerah, kualitas lingkungan, ketimpangan, dan kinerja tata kelola pemerintahan. Praktik di Makedonia menunjukkan desentralisasi fiskal asimetris dapat diterapkan secara bersyarat dengan transfer yang diberikan secara bertahap sesuai kapasitas daerah. 

Jika diterapkan di Indonesia, ini akan mendorong daerah berkembang dan bersaing guna mencapai tingkat yang lebih tinggi. Keberhasilan desentralisasi asimetris memerlukan komunikasi koordinatif antara pihak yang menyerahkan wewenang (pusat) dan pihak yang menerima (daerah). 

Komunikasi ini sangat penting karena desentralisasi di Indonesia tidak dilaksanakan dengan kapasitas dan kekuatan pemerintah daerah yang simetris. Oleh karena itu, diperlukan komunikasi intensif berbasis kluster agar setiap daerah menerima porsi asistensi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. 

Dengan demikian, skema ini dapat berjalan efektif dan menjawab tantangan keberagaman di Indonesia. Wacana pemerintah pusat yang berencana merevisi lagi Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah seharusnya menjadi momentum untuk refleksi ontologis dan substantif terhadap otonomi daerah. 

Pembahasan ulang undang-undang ini harus kembali ke prinsip dasar otonomi, bukan menjadi alat untuk memperkuat sentralisasi. Proses desentralisasi asimetris ini harus fokus pada empat dimensi: administrasi, ekonomi, fiskal, dan politik, bukan hanya satu dimensi seperti yang terjadi saat ini.

Desentralisasi asimetris pada akhirnya merupakan suatu keniscayaan karena setiap daerah memiliki kondisi dan kapabilitas yang berbeda. Asimetrisme total adalah bentuk pertobatan ontologis atas kesalahan pemikiran dan pelaksanaan pemerintahan pusat dalam memperlakukan daerah secara simetris. 

Oleh karena itu, Bhinneka Tunggal Ika seharusnya bukan sekadar semboyan yang dihafal dalam pendidikan dasar, tetapi harus diwujudkan dalam praktik tata laksana desentralisasi di Indonesia.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 November 2024. Penulis adalah analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD))

Sentimen: neutral (0%)