Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Institusi: ISESS
Tokoh Terkait
Potensi Politisasi Polri Sudah Diprediksi Sejak Lampau
Kompas.com Jenis Media: Nasional
Potensi Politisasi Polri Sudah Diprediksi Sejak Lampau
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
- Kekhawatiran tentang dugaan politisasi Kepolisian Republik Indonesia (
Polri
) kembali menjadi isu yang hangat diperbincangkan.
Sorotan ini mengemuka di tengah tudingan netralitas Polri dalam pesta demokrasi seperti
Pemilu
, Pilpres, Pileg, dan Pilkada.
Sejarah mencatat, pada 1959, Kapolri pertama, Jenderal Raden Said Soekanto, memilih mundur dari jabatannya saat Polri dimasukkan ke dalam struktur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
"RS Soekanto sangat menyadari potensi besar kepolisian untuk dijadikan alat politik kekuasaan saat itu," kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, saat dihubungi
Kompas.com
, Minggu (1/12/2024).
Era reformasi, kata Bambang, membawa harapan besar terhadap netralitas dan profesionalisme Polri. Setelah pemisahan TNI dan Polri serta pencabutan Dwi Fungsi ABRI, Polri diharapkan semakin profesional dan menjauh dari
politik praktis
.
Polri, sebagai institusi sipil, seharusnya tunduk pada aturan hukum yang berlaku, berbeda dengan militer yang memiliki kultur dan fungsi yang berbeda.
Bambang menilai, gagasan menempatkan Polri di bawah Panglima TNI justru merupakan langkah mundur dari semangat reformasi.
"Sebaliknya menempatkan kepolisian di bawah panglima TNI, itu kemunduran dari semangat reformasi.
Polisi
bukan militer, dia harus tunduk pada aturan hukum sipil," ujar Bambang.
Akan tetapi, justru menjadi ironi ketika peran Polri dalam politik dirasakan semakin signifikan selepas reformasi.
Menurut Bambang, keberadaan Polri yang langsung berada di bawah presiden memberikan ruang lebih besar bagi politisasi kekuasaan. Wacana menempatkan Polri di bawah kementerian dianggap menjadi salah satu langkah untuk membatasi keterlibatan Polri dalam politik praktis.
"Wacana penempatan Polri di bawah kementerian adalah upaya membatasi kepolisian secara langsung dari upaya politisasi kekuasaan," ucap Bambang.
Sebelumnya diberitakan, isu politisasi Polri semakin memanas setelah tudingan Polri disebut sebagai "
Partai Coklat
" atau "Parcok." Istilah ini pertama kali diungkapkan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto, yang menyoroti dugaan pengerahan aparat dalam Pilkada Serentak 2024.
"Di Jawa Timur relatif kondusif, tetapi tetap kami mewaspadai pergerakan
partai coklat
ya, sama dengan di Sumatera Utara juga," ujar Hasto di kediaman Megawati Soekarnoputri, Rabu (27/11/2024).
Pernyataan ini kemudian menyudutkan Polri yang dianggap tidak netral dalam pelaksanaan
pemilu
.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menanggapi tudingan ini dengan menyebutnya sebagai kabar bohong atau hoaks.
"Apa yang disampaikan oleh segelintir orang terkait parcok dan lain sebagainya itu, kami kategorikan sebagai hoaks," ujar Habiburokhman dalam rapat Komisi III DPR RI, Jumat (29/11/2024).
Ia juga menambahkan, anggota DPR yang melontarkan tuduhan serupa telah dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Wacana ini membawa kembali usulan untuk menempatkan Polri di bawah kementerian atau bahkan TNI.
Ketua DPP PDI-P, Deddy Yevri Sitorus, mengusulkan Polri ditempatkan di bawah Panglima TNI atau Kementerian Dalam Negeri. Menurut Deddy, kekalahan PDI-P di sejumlah wilayah dalam Pilkada Serentak 2024 diduga dipengaruhi oleh pengerahan aparat kepolisian.
"Kami sedang mendalami kemungkinan agar Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali di bawah kendali Panglima TNI atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri," ungkap Deddy dalam konferensi pers, Kamis (28/11/2024).
Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (95.5%)