Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Boyolali, Gunung
Kasus: kekerasan seksual
Warisan Luka di Balik Dinding Rumah
Espos.id
Jenis Media: Kolom
![Warisan Luka di Balik Dinding Rumah](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2022/09/Moh_Khodiq_Duhri.jpg?quality=60)
Di balik dinding rumah yang seharusnya tempat aman untuk berlindung, tak jarang tersembunyi kisah pilu. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman, terkadang justru menjadi sumber luka mendalam.
Seorang gadis remaja di Kabupaten Boyolali menjadi potret nyata kerapuhan keluarga sebagai tempat berlindung. Dalam usia yang baru 15 tahun, ia menghadapi kenyataan pahit. Saat masih duduk di bangku kelas V SD, ia menjadi korban tindak kekerasan seksual oleh kakeknya.
Trauma itu belum sembuh betul, ia mengalami perlakuan serupa lagi. Kali ini, pelakunya tak lain ayah kandungnya. Saat kejadian nahas itu terungkap, kondisi gadis itu hamil tujuh bulan akibat tindakan ayahnya.
Sebagai bagian keluarga, dua orang pelaku tindak kekerasan seksual itu semestinya menjadi pelindung, bukan malah bertindak yang kelewat batas. Kini keduanya menghadapi proses hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
Sementara bagi sang gadis, perjuangan untuk pulih dari luka fisik dan psikis baru saja dimulai. Urie Bronfenbrenner, seorang psikolog asal Amerika Serikat, mengemukakan keluarga berada di lapisan mikrosistem yang memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan anak.
Keluarga seharusnya menjadi benteng perlindungan, tempat setiap anak merasa aman, dihargai, dan dilindungi. Keluarga merupakan sistem emosional yang saling terkait. Masalah individu yang muncul kerap kali mencerminkan disfungsi dalam hubungan keluarga.
Disfungsi bisa mengakibatkan kegagalan sistemik di tingkat keluarga. Hal ini terjadi ketika dinamika keluarga tidak berjalan seimbang. Kegagalan sistemik di tingkat keluarga merujuk pada situasi keluarga gagal menjalankan fungsi utama, yaitu lingkungan yang aman, suportif, dan sehat bagi semua anggota.
Kekerasan dalam keluarga sering kali disebabkan ketidakseimbangan dinamika kekuasaan, kurangnya komunikasi sehat, dan kegagalan sistemik. Pada beberapa kasus pola ini menjadi "kenormalan" yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Banyak keluarga memandang kekerasan, terutama kekerasan verbal atau fisik, sebagai bentuk pendisiplinan atau ketegasan. Anggapan ini membuat tindak kekerasan tidak terlihat sebagai masalah serius.
Dalam kasus tertentu, normalisasi kekerasan semacam ini berasal dari pola asuh yang keras pada generasi sebelumnya hingga tercipta siklus kekerasan yang terus berlanjut.mKurangnya edukasi seksual di keluarga juga berkontribusi.
Seksualitas sering dianggap tabu untuk dibahas bersama anak. Kondisi itu membuat anak-anak tidak memahami batasan sehat dalam hubungan keluarga. Dalam situasi seperti ini, anak sering kali merasa takut melapor atau berbicara tentang apa yang mereka alami.
Hal ini diperburuk isolasi sosial. Anak yang hidup dalam keluarga tertutup tidak memiliki cukup akses untuk mencari bantuan. Ketakutan terhadap ancaman, stigma oleh masyarakat, atau tekanan keluarga membuat mereka memilih diam.
Fenomena Gunung Es
Kasus kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan seksual, sering kali seperti gunung es karena hanya sebagian kecil yang terungkap. Demi menjaga nama baik keluarga, banyak pihak memilih menyelesaikan masalah ini secara internal, alih-alih menyelesaikan secara hukum.
Pola semacam ini justru melindungi pelaku dan membuat penderitaan korban semakin menjadi-jadi. Masyarakat juga kerap memandang kekerasan seksual sebagai aib keluarga sehingga akses informasi ditutup rapat.
Persepsi keliru ini tentu memperparah kondisi korban. Saat itulah korban kehilangan dukungan dan kepercayaan diri untuk berbicara. Luka emosional yang tidak disembuhkan pada masa kecil bisa berbahaya untuk masa depan anak.
Psikolog Alice Miller menjelaskan trauma masa kecil dapat berdampak pada perilaku dan hubungan seseorang pada masa depan. Luka pada masa kecil yang tidak tertangani dengan serius berisiko menciptakan pola kekerasan baru dan menjebak generasi berikutnya dalam lingkaran yang sama.
Rantai ini bukan tidak bisa diputus atau dihentikan. Dari kisah tragis yang dialami gadis remaja di Kabupaten Boyolali itu kita belajar pentingnya membangun kesadaran tentang edukasi seksual sejak dini. Kita juga harus belajar membangun sistem perlindungan yang kuat bagi anak-anak di lingkup keluarga.
Kisah tragis yang dialami gadis remaja di Kabupaten Boyolali itu adalah alarm bagi kita semua untuk tidak lagi menutup mata. Kekerasan dalam keluarga bukanlah rahasia yang harus dijaga.
Kekerasan seksual dalam keluarga adalah masalah serius yang harus diungkap dan diselesaikan secara hukum, bukan secara kekeluargaan. Setiap orang memiliki peran. Edukasi tentang batasan sehat dalam hubungan keluarga perlu ditanamkan sejak dini.
Masyarakat harus mendukung korban, bukan menyalahkan. Pelaku harus dimintai pertanggungjawaban di meja hukum. Rumah seharusnya menjadi tempat yang penuh kehangatan dan memberi rasa aman bagi anak. Mari bergerak bersama mewujudkan rumah yang benar-benar menjadi tempat berlindung yang aman bagi anak-anak.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 29 November 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)